PDIP: Menteri Sibuk Layani Pesan Sponsor

Jum'at, 01 Mei 2015 - 08:04 WIB
PDIP: Menteri Sibuk...
PDIP: Menteri Sibuk Layani Pesan Sponsor
A A A
JAKARTA - Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hendrawan Supratikno menilai, salah satu faktor penyebab tidak maksimalnya kinerja menteri Kabinet Kerja adalah banyaknya kepentingan ”sponsor” yang harus dipenuhi.

Karena terlalu sibuk melayani pesanan sponsor, langkahlangkah menteri tersebut untuk mewujudkan program Nawacita dan Trisakti jadi terhambat. ”Ada menteri yang sepak terjangnya dikendalikan konflik kepentingan, terlalu banyak pesan sponsor sehingga langkah- langkahnya untuk mengikuti Nawacita, Trisakti, agak kagok,” kata Hendrawan di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Mengenai siapa menteri yang disebut banyak melayani pesanan sponsor itu, Hendrawan menolak membeberkannya. Dia hanya mengingatkan bahwa waktu enam bulan ini sudah cukup bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengevaluasi kinerja para menterinya.

Dia mengusulkan reshuffle kabinet sebaiknya dilakukan selambatnya tahun ini. ”Sebenarnya enam bulan sudah cukup untuk menilai, tapi kadang-kadang seperti dokter, perlu second opinion. Jadi mungkin karena masih memberi waktu untuk second opinion , menterinya juga masih pemanasan. Tapi yang jelas mesti tahun ini,” katanya.

Hendrawan menilai menteri di bidang ekonomi, politik, dan hukum, layak untuk diganti. Beberapa indikasi menteri tidak bekerja maksimal bisa dilihat pada munculnya berbagai masalah, mulai dari konflik KPKPolri hingga terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Dia mengakui bahwa hak mengevaluasi ataupun mengangkat menteri merupakan hak prerogatif presiden. Tapi sebagai partai pengusung utama Jokowi, PDIP menilai sejumlah menteri salah penempatan sehingga kinerjanya tidak bisa bersinar. Menurutnya, ide perombakan Kabinet Kerja sudah pernah dibahas dalam rapat DPP PDIP, namun hasil rapat tersebut belum dijadikan sebagai bahan masukan ke Jokowi.

Hal yang pasti, kata dia, PDIP meminta Jokowi melakukan evaluasi secara komprehensif, tanpa perlu ada tendensi. Beberapa waktu lalu Wakil Sekjen DPP PDIP Bidang Pemerintahan Ahmad Basarah dan Ketua DPP PDIP Sukur Nababan juga menyatakan pendapat yang sama. Menurut keduanya, sudah saatnya Jokowi mengevaluasi jajaran menterinya yang tidak maksimal bekerja.

”Salah satu faktor tidak maksimalnya kinerja pemerintahan Jokowi adalah kinerja kabinet yang tidak optimal. Maka pilihan reshuffle kabinet memang sulit dihindari,” kata Ahmad Basarah. ”Kami punya kepentingan mengingatkan Jokowi. Di sini bedanya partai pengusung dan bukan. Kami mengkritisi untuk perbaikan kinerja,” timpal Sukur Nababan.

Dijelaskan, salah satu alasan mengapa Jokowi penting merombak kabinetnya karena hasil survei menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) dalam enam bulan terakhir makin merosot.

Berdasarkan hasil survei yang dirilis Poltracking, Minggu (19/4), 48,5% responden menyatakan tidak puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK, sedangkan yang menyatakan puas hanya 44%, dan mengaku tidak tahu atau tidak menjawab 7,5%. Untuk dapat memperbaiki kinerja pemerintah, salah satu yang diharapkan publik adalah Jokowi melakukan reshuffle kabinet. Sebanyak 41% responden mendukung dilakukan reshuffle , sedangkan yang tidak setuju 28%.

Pengamat ekonomi Dradjad Wibowo berpandangan, kinerja tim ekonomi Jokowi tidak maksimal. Menurutnya, para pembantu presiden, baik yang berada di Istana maupun di kabinet kurang berpengalaman sebagai tim ekonomi untuk sebuah negara yang cukup besar.

”Mungkin mereka doktor, lulusan luar negeri, lulusan universitas hebat, tapi ini Indonesia, Anda harus tahu jalanan, Anda harus mengerti lubanglubangnya, jalan tikusnya, semua harus Anda tahu,” kata Dradjad dalam diskusi bertajuk ”Penerimaan Negara Anjlok, Beranikah Jokowi Rombak Tim Ekonomi?” di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin.

Dradjad mengatakan, dia tidak dalam posisi untuk mengatakan apakah menteri Jokowi itu harus diganti. Dia hanya mengingatkan bahwa yang dipertaruhkan di sini adalah negara di mana kebijakan yang salah akan menimbulkan rentetan persoalan yang berdampak langsung kepada rakyat. Dradjad menjelaskan, penerimaan negara anjlok yang biasanya 20-25% menjadi 13% dan kondisi ini membuat Indonesia mudah digoyang pasar.

Hal ini dinilai sudah terbukti dengan munculnya beragam kesangsian pelaku pasar akan kemampuan pemerintahan Jokowi. ”Bahkan, pelaku pasar luar negeri menilai pemerintah tidak kompeten,” ujarnya.

Kiswondari
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6052 seconds (0.1#10.140)