Hakim PN Jakarta Pusat Dinilai Ingkari Hukum Arbitrase
A
A
A
Pakar hukum arbitrase Frans Hendra Winata meyakini telah terjadi pengingkaran hukum arbitrase dalam kasus kepemilikan saham Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menangani sengketa antara PT Berkah Karya Bersama (PT Berkah) dan Siti Hardiyanti Rukmana tersebut, dinilainya tidak paham klausul dalam perjanjian arbitrase.
“Para hakim itu tidak paham klausul arbitrase,” kata Frans Hendra Winata kepada media menanggapi menanggapi putusan PN Jakarta Pusat yang menganulir putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) terkait sengketa TPI, Kamis (30/4/2015).
Dia mengatakan, putusan BANI bersifat final dan mengikat. Kedua pihak yang bersengketa dan sepakat menyelesaikannya di BANI, wajib menaati keputusan badan tersebut.
“Putusan lembaga arbitrase mengikat untuk kasus yang diajukan oleh dua pihak yang bersengketa. Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan, dan putusannya harus dihormati semua pihak,” tutur Frans.
Hal senada diungkapkan Asep Warlan Yusuf, pengamat hukum dari Universitas Parahyangan, Bandung. Menurut dia, pengadilan tidak berhak memutus sengketa yang ditangani BANI.
Keputusan PN Jakarta Pusat yang menganulir keputusan BANI terkait sengketa TPI dinilainya janggal. “Ini memang aneh, sama saja dengan pengingkaran hukum. Seharusnya semua pihak menghargai putusan BANI,” terang Asep.
Dia menambahkan, BANI adalah lembaga penyelesaian sengketa yang sah dan diakui Pemerintah Indonesia dan dunia bisnis internasional.
“Banyak kasus diselesaikan lewat BANI seperti sengketa pemerintah dengan Newmont. Jika sudah sepakat diselesaikan di BANI, pengadilan tak berwenang lagi memprosesnya,” tegas Asep.
Pada 12 Desember 2014 BANI memutuskan PT Berkah Karya Bersama berhak atas 75% saham TPI. Tutut diwajibkan membayar utang Rp510 miliar kepada PT Berkah. Tetapi PN Jakarta Pusat menganulir keputusan tersebut pada Rabu 29 April 2015.
Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menangani sengketa antara PT Berkah Karya Bersama (PT Berkah) dan Siti Hardiyanti Rukmana tersebut, dinilainya tidak paham klausul dalam perjanjian arbitrase.
“Para hakim itu tidak paham klausul arbitrase,” kata Frans Hendra Winata kepada media menanggapi menanggapi putusan PN Jakarta Pusat yang menganulir putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) terkait sengketa TPI, Kamis (30/4/2015).
Dia mengatakan, putusan BANI bersifat final dan mengikat. Kedua pihak yang bersengketa dan sepakat menyelesaikannya di BANI, wajib menaati keputusan badan tersebut.
“Putusan lembaga arbitrase mengikat untuk kasus yang diajukan oleh dua pihak yang bersengketa. Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan, dan putusannya harus dihormati semua pihak,” tutur Frans.
Hal senada diungkapkan Asep Warlan Yusuf, pengamat hukum dari Universitas Parahyangan, Bandung. Menurut dia, pengadilan tidak berhak memutus sengketa yang ditangani BANI.
Keputusan PN Jakarta Pusat yang menganulir keputusan BANI terkait sengketa TPI dinilainya janggal. “Ini memang aneh, sama saja dengan pengingkaran hukum. Seharusnya semua pihak menghargai putusan BANI,” terang Asep.
Dia menambahkan, BANI adalah lembaga penyelesaian sengketa yang sah dan diakui Pemerintah Indonesia dan dunia bisnis internasional.
“Banyak kasus diselesaikan lewat BANI seperti sengketa pemerintah dengan Newmont. Jika sudah sepakat diselesaikan di BANI, pengadilan tak berwenang lagi memprosesnya,” tegas Asep.
Pada 12 Desember 2014 BANI memutuskan PT Berkah Karya Bersama berhak atas 75% saham TPI. Tutut diwajibkan membayar utang Rp510 miliar kepada PT Berkah. Tetapi PN Jakarta Pusat menganulir keputusan tersebut pada Rabu 29 April 2015.
(dam)