KPK Khawatir Gugatan Praperadilan Meluas

Kamis, 30 April 2015 - 10:10 WIB
KPK Khawatir Gugatan Praperadilan Meluas
KPK Khawatir Gugatan Praperadilan Meluas
A A A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) khawatir gelombang gugatan praperadilan dari para tersangka bakal meluas akibat dampak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memasukkan penetapan tersang- ka sebagai objek praperadilan.

Bukan KPK saja yang bakal menghadapi gelombang tuntutan itu, hal ini bisa dialami juga oleh kepolisian dan kejaksaan. ”Ke depan tentu akan semakin menguras tenaga dan pikiran (tidak hanya KPK), tapi juga ke kejaksaan dan kepolisian. (Karena MK memutuskan) seseorang menjadi tersangka dan penetapan tersangka jadi objek praperadilan. Sebelum putusan MK saja, gelombang praperadilan sudah dialami KPK,” ungkap Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi Sapto Pribowo saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, kemarin.

Meski demikian, ujar Johan, KPK tetap menghormati proses hukum yang ada termasuk upaya- upaya yang dilakukan tersangka sebelumnya ataupun nanti untuk melakukan praperadilan. KPK juga mempersilakan para tersangka melakukan langkah hukum apa saja bila menilai proses yang dilakukan penegak hukum tidak pas.

Sejak awal, ujarnya, KPK meyakini hakim itu independen. ”Bisa berbeda memutuskan praperadilan meski objeknya sama mengenai penetapan tersangka. Alasan penggugatan penetapan tersangka kan juga bedabeda,” paparnya.

Misalnya mantan Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali, mantan Menteri ESDM sekaligus mantan Menbudpar Jero Wacik, dan mantan Direktur Pengolahan Pertamina Suroso Atmomartoyo (kasus Innospec) sebelumnya mengajukan praperadilan. Putusan hakim semuanya menolak gugatan dari para tersangka itu.

Johan mengatakan, dengan munculnya putusan MK terkait Pasal 77 huruf a KUHAP yang bertentangan dengan UUD 1945, nanti akan ada persiapanpersiapan dari KPK. ”Jadi, yang perlu kami kuatkan adalah jajaran biro hukum untuk menghadapi praperadilan tersebutm karena putusan MK harus dihormati juga,” ujarnya.

Mantan deputi pencegahan ini berpandangan, putusan MK tersebut tidak boleh dimaknai sebagai bentuk kriminalisasi lain oleh pelaku tindak pidana dan pendukungnya. Sekali lagi, ujarnya, putusan MK harus dihargai semua pihak. Mengenai kondisi biro hukum dan potensi gelombang praperadilan, Johan mengatakan jika melihat beban pekerjaan ditambah juga dengan banyaknya praperadilan maka komposisi atau jumlah biro hukum KPK jauh dari ideal.

”Ada yang sudah di-BKOkan dari direktorat penuntutan ditaruh di biro hukum. Nanti apakah ditambah akan dibicarakan, tapi yang pasti kami sedang melakukan rekrutmen. Dan, saya mengajak teman-teman media kalau mau gabung melamar sesuai dengan kemampuan,” ujarnya.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Tony Tribagus Spontana yang dihubungi KORAN SINDO belum memberikan respons dan sikap kejaksaan atas putusan MK. Sebelumnya, MK memutuskan bahwa penetapan tersangka bisa masuk objek praperadilan jika tanpa disertai dua alat bukti.

Hal itu tertuang dalam putusan gugatan yang diajukan General Manager Sumatera Light South PT Chevron Pacific Indonesia Bachtiar Abdul Fatah atas Undang-Undang (UU) 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bachtiar mempersoalkan ketentuan penetapan tersangka yang tidak masuk dalam objek praperadilan.

Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan Bachtiar tersebut. ”Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD1945 sepanjang tidak dimaknai, termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan,” ungkap Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan.

MK menilai, dalam proses peradilan pidana, terdakwa dan terpidana wajib mendapatkan perlindungan terhadap pemenuhan hak asasi manusia walaupun telah diduga melakukan kesalahan. Karena itu, masuknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan diperlukan untuk check and balances system, sehingga MK memandang perlu adanya mekanisme pengujian atas keabsahan alat bukti.

Langkah ini harus dilakukan agar dalam menemukan alat bukti, aparat penegak hukum tidak melakukan kesewenangwenangan yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia. Menurut Arief, penetapan tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan dan dimungkinkan adanya kesewenangwenangan.

Dengan adanya alat bukti yang sah, penetapan tersangka pada seseorang menjadi lebih pasti dan tidak diragukan legitimasinya.

Sabir laluhu
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6220 seconds (0.1#10.140)