Masyarakat Diminta Antisipasi Radikalisme Atasnamakan Agama
A
A
A
JAKARTA - Gerakan radikalisme harus terus diwaspadai, karena memiliki agenda terselubung bisa memecah belah bangsa Indonesia. Kondisi ini terjadi akibat adanya politisasi untuk menjadikan agama sebagai tameng demi simpatisan dan dukungan.
Staf Ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Wawan Purwanto mengingatkan, radikalisme yang mengatasnamakan agama menjadi ancaman bersama, baik negara maupun masyarakat Indonesia.
"Agama yang semestinya memberikan ajaran tentang perdamaian, karena penyalahgunaan tersebut akhirnya semua dengan seenaknya diputar balik. Seperti ayat-ayat kitab suci dipotong, sehingga tafsirannya menjadi macam-macam sesuai kepentingan politik mereka. Jadi semua itu karena ulah manusianya, bukan agama," ujar Wawan dalam siaran persnya yang diterima Sindonews, Rabu (29/4/2015).
Dia mengatakan, untuk mencegah terbawa irama gendang pembawa gerakan radikal, masyarakat harus memfilter isu yang berkembang. Salah satunya kata Wawan dengan berpegang pada asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) dalam mengartikan ayat-ayat kitab suci, khususnya Alquran.
Dia menambahkan, upaya memfilter lainnya adalah harus kritis dengan apa yang terjadi di masyarakat. Lanjutnya, jangan semua ditelan mentah-mentah tanpa menyaring lebih dulu. Dia menambahkan, wawasan dan networking luas juga penting, sehingga mereka tahu apa target dari gerakan tersebut.
"Yang terjadi ayat untuk perang tidak bisa diterapkan di medan damai. Tapi ini dipukul rata sehingga situasi menjadi panas, bahkan sampai terpolarisasi sehingga menimbulkan image baru, pandangan baru yang cenderung minor dan mendiskreditkan," ucapnya.
Senada dengan Wawan Purwanto. Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta, Amirsyah Tambunan berpendapat, tindakan radikalisme bersumber dari manusia, bukan agama dan diharamkan di agama manapun, termasuk agama Islam.
“Di Indonesia, Islam dinilai sebagai agama yang bisa menjunjung tinggi kebersamaan, kerukunan dan saling menghormati antaragama lain. Tidak ada kekerasan dalam Islam,” tandas Amirsyah.
Staf Ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Wawan Purwanto mengingatkan, radikalisme yang mengatasnamakan agama menjadi ancaman bersama, baik negara maupun masyarakat Indonesia.
"Agama yang semestinya memberikan ajaran tentang perdamaian, karena penyalahgunaan tersebut akhirnya semua dengan seenaknya diputar balik. Seperti ayat-ayat kitab suci dipotong, sehingga tafsirannya menjadi macam-macam sesuai kepentingan politik mereka. Jadi semua itu karena ulah manusianya, bukan agama," ujar Wawan dalam siaran persnya yang diterima Sindonews, Rabu (29/4/2015).
Dia mengatakan, untuk mencegah terbawa irama gendang pembawa gerakan radikal, masyarakat harus memfilter isu yang berkembang. Salah satunya kata Wawan dengan berpegang pada asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) dalam mengartikan ayat-ayat kitab suci, khususnya Alquran.
Dia menambahkan, upaya memfilter lainnya adalah harus kritis dengan apa yang terjadi di masyarakat. Lanjutnya, jangan semua ditelan mentah-mentah tanpa menyaring lebih dulu. Dia menambahkan, wawasan dan networking luas juga penting, sehingga mereka tahu apa target dari gerakan tersebut.
"Yang terjadi ayat untuk perang tidak bisa diterapkan di medan damai. Tapi ini dipukul rata sehingga situasi menjadi panas, bahkan sampai terpolarisasi sehingga menimbulkan image baru, pandangan baru yang cenderung minor dan mendiskreditkan," ucapnya.
Senada dengan Wawan Purwanto. Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta, Amirsyah Tambunan berpendapat, tindakan radikalisme bersumber dari manusia, bukan agama dan diharamkan di agama manapun, termasuk agama Islam.
“Di Indonesia, Islam dinilai sebagai agama yang bisa menjunjung tinggi kebersamaan, kerukunan dan saling menghormati antaragama lain. Tidak ada kekerasan dalam Islam,” tandas Amirsyah.
(kur)