Tebarkan Dukungan pada Ibu Menyusui
A
A
A
Berawal dari pengalaman pribadi, Mia Sutanto menggagas pendirian Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI). Asosiasi yang didirikan sejak delapan tahun lalu ini belakangan berkembang dan menjadi wadah pembelajaran, sekaligus inspirasi bagi para ibu yang ingin sukses menyusui anak mereka dengan ASI eksklusif.
Ia pernah mengalami kesulitan ketika harus menyusui anak pertamanya, 11 tahun lalu. Hampir sama dengan banyak wanita lain, awalnya dia menganggap menyusui adalah hal yang alami tanpa perlu pembelajaran. Ternyata anggapan itu keliru. Dari “kesalahan” tersebut, Mia bersama beberapa teman lantas mendirikan AIMI, sebuah wadah untuk membantu para ibu yang kesulitan menyusui bayi mereka. Bagaimana Mia mengembangkan AIMI? Sejauh apa pula AIMI dapat memberikan manfaat kepada ibu menyusui? Berikut kutipan wawancara KORAN SINDO dengan wanita lulusan S-2 University of Leiden Belanda tersebut.
Bagaimana awalnya AIMI berdiri?
Saya pernah mengalami kesulitan ketika harus menyusui anak saya karena kurang edukasi tentang menyusui. Saya kira menyusui adalah hal yang mudah dan alami tanpa perlu dipelajari. Ternyata di situ letak kesalahan saya. Akibatnya anak saya kekurangan ASI. Saat di rumah sakit, anak saya sudah diberikan susu formula.
Kemudian saya jadi baby blue, dan banyak efek yang terjadi akibat kesalahan saya. Dari hal itu, saya merasa harus banyak belajar tentang menyusui agar tidak terjadi kesalahan yang sama pada anak kedua nanti. Akhirnya, saya ikut pelatihan konselor menyusui yang diadakan oleh Sentra Laktasi Indonesia pada 2007. Setelah itu, saya banyak membantu teman untuk menyebarkan informasi tentang menyusui. Kegiatan itu terus berlanjut.
Saya bergabung dengan milis ASI for Baby yang membuat saya dapat mendengarkan ibu-ibu yang saling curhat. Kemudian, saling berbagi pengalaman dan informasi tentang menyusui sehingga dari sekian banyak ibu yang tergabung dalam milis tersebut, akhirnya kami melakukan pertemuan langsung. Hasil dari pertemuan itu adalah pada 21 April 2007, AIMI resmi berdiri.
Apa saja kegiatan AIMI?
Kegiatan yang dilakukan cukup banyak, sebab AIMI tidak hanya di Jakarta, tetapi juga sudah memiliki cabang di 13 provinsi di Indonesia. Kegiatan rutin yang berjalan yaitu kelas edukasi menyusui, kelas makanan pendamping ASI, melakukan konseling kunjungan ke rumah sakit dan lingkungan dengan konselor menyusui.
Kemudian, ada kunjungan ke perkantoran, pabrik, puskesmas, dan posyandu untuk melakukan sosialisasi. Termasuk kegiatan advokasi ke pemerintah. Namun, ada tiga hal yang menjadi inti dari semua kegiatan AIMI. Pertama, memberikan edukasi dan informasi tentang menyusui yang masih sangat kurang dan minim. Edukasi ini belum merata serta menyentuh semua lapisan masyarakat.
Kedua, memberikan dukungan. Ibu menyusui sering tidak mendapatkan dukungan untuk menyusui. Entah itu dari keluarga seperti suami, keluarga, orang tua, atau mertua. Kemudian dari faktor lingkungan yaitu teman, tetangga, dan tempat kerja. Kendala juga datang dari tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan.
Ketiga, perlindungan hak-hak ibu untuk memberikan ASI. Hak di tempat kerja untuk tetap memberikan ASI eksklusif harus ada ruang menyusui, berhak untuk tidak diganggu oleh promosi-promosi susu formula secara berlebihan. Maka itu, perlu adanya kegiatan advokasi dari tingkat nasional hingga internasional.
Siapa saja yang memberikan dukungan kepada AIMI?
AIMI mendapatkan dukungan dari pemerintah, yaitu Kementerian Kesehatan, antara lain dalam penyusunan peraturan, ketika melakukan kampanye sosialisasi, melakukan perayaan pekan ASI dunia. AIMI juga bergabung dalam gerakan nasional kesehatan ibu dan anak yang terdiri dari semua NGO, baik lokal maupun internasional termasuk UNICEF dan Save the Children. Selain itu, AIMI mendapatkan dukungan dari organisasi internasional yang sudah menaungi AIMI, yaitu World Alliance for Breastfeeding Action (WABA) dan AIMI sudah menjadi memberdari International Baby Food Action Network (IBFAN).
Kendala apa yang dirasakan selama menjalankan AIMI?
Pada saat awal berdiri, kendalanya adalah persepsi orang terhadap AIMI. Mereka berpikir kenapa menyusui saja perlu dibangun organisasi segala. Tetapi seiring berjalannya waktu, AIMI mulai membuktikan kalau organisasi ini sangat dibutuhkan dan banyak memberikan manfaat dengan kegiatan yang sudah dilakukan. Masalah lain adalah sumber dana dan sumber daya manusia. Karena pengurus bersifat relawan, tidak ada ikatan, sehingga bergantung pada komitmen masing-masing. Bagaimana mempertahankan komitmen pengurus ini juga menjadi tantangan.
Dari mana sumber dana untuk AIMI?
Selama ini dana ada dari swadaya dan donasi para member.Dana juga bisa didapatkan berdasarkan project dari hasil kerja sama dengan NGO. Bahkan ada dari sponsor, misalnya jika AIMI mengadakan sebuah event. Selain itu, ada hasil dana dari penjualan merchandiseAIMI. Terkait sponsor dan kerja sama dengan pihak ketiga pun tidak bisa sembarangan karena kami punya kode etik.
Selain itu, ada beberapa program yang dikenakan biaya oleh AIMI, seperti bimbingan konselor, kelas edukasi, dan sosialisasi ke kantor. Pasalnya, AIMI adalah organisasi nirlaba, pengurusnya sukarelawan, dan nonprofit. Jadi, setiap ada pendapat yang masuk, itu murni untuk menjalankan kegiatan-kegiatan organisasi. Ada sistem subsidi silang. Kegiatan yang dikenakan biaya itu untuk mendanai kegiatan-kegiatan lain yang gratis.
Apa lagi target AIMI yang belum tercapai?
Saya ingin AIMI dapat hadir di seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Paling tidak ada di tingkat provinsi, kemudian bisa berkembang menjadi tingkat kabupaten dan kota madya. Harapan saya, setiap ibu menyusui di Indonesia mendapatkan akses dan informasi tentang menyusui. Selain itu, saya juga ingin AIMI menjadi organisasi yang bisa berjalan terus dan berkarya sehingga kehadirannya dapat terus dirasakan para ibu menyusui.
Dina Angelina
Ia pernah mengalami kesulitan ketika harus menyusui anak pertamanya, 11 tahun lalu. Hampir sama dengan banyak wanita lain, awalnya dia menganggap menyusui adalah hal yang alami tanpa perlu pembelajaran. Ternyata anggapan itu keliru. Dari “kesalahan” tersebut, Mia bersama beberapa teman lantas mendirikan AIMI, sebuah wadah untuk membantu para ibu yang kesulitan menyusui bayi mereka. Bagaimana Mia mengembangkan AIMI? Sejauh apa pula AIMI dapat memberikan manfaat kepada ibu menyusui? Berikut kutipan wawancara KORAN SINDO dengan wanita lulusan S-2 University of Leiden Belanda tersebut.
Bagaimana awalnya AIMI berdiri?
Saya pernah mengalami kesulitan ketika harus menyusui anak saya karena kurang edukasi tentang menyusui. Saya kira menyusui adalah hal yang mudah dan alami tanpa perlu dipelajari. Ternyata di situ letak kesalahan saya. Akibatnya anak saya kekurangan ASI. Saat di rumah sakit, anak saya sudah diberikan susu formula.
Kemudian saya jadi baby blue, dan banyak efek yang terjadi akibat kesalahan saya. Dari hal itu, saya merasa harus banyak belajar tentang menyusui agar tidak terjadi kesalahan yang sama pada anak kedua nanti. Akhirnya, saya ikut pelatihan konselor menyusui yang diadakan oleh Sentra Laktasi Indonesia pada 2007. Setelah itu, saya banyak membantu teman untuk menyebarkan informasi tentang menyusui. Kegiatan itu terus berlanjut.
Saya bergabung dengan milis ASI for Baby yang membuat saya dapat mendengarkan ibu-ibu yang saling curhat. Kemudian, saling berbagi pengalaman dan informasi tentang menyusui sehingga dari sekian banyak ibu yang tergabung dalam milis tersebut, akhirnya kami melakukan pertemuan langsung. Hasil dari pertemuan itu adalah pada 21 April 2007, AIMI resmi berdiri.
Apa saja kegiatan AIMI?
Kegiatan yang dilakukan cukup banyak, sebab AIMI tidak hanya di Jakarta, tetapi juga sudah memiliki cabang di 13 provinsi di Indonesia. Kegiatan rutin yang berjalan yaitu kelas edukasi menyusui, kelas makanan pendamping ASI, melakukan konseling kunjungan ke rumah sakit dan lingkungan dengan konselor menyusui.
Kemudian, ada kunjungan ke perkantoran, pabrik, puskesmas, dan posyandu untuk melakukan sosialisasi. Termasuk kegiatan advokasi ke pemerintah. Namun, ada tiga hal yang menjadi inti dari semua kegiatan AIMI. Pertama, memberikan edukasi dan informasi tentang menyusui yang masih sangat kurang dan minim. Edukasi ini belum merata serta menyentuh semua lapisan masyarakat.
Kedua, memberikan dukungan. Ibu menyusui sering tidak mendapatkan dukungan untuk menyusui. Entah itu dari keluarga seperti suami, keluarga, orang tua, atau mertua. Kemudian dari faktor lingkungan yaitu teman, tetangga, dan tempat kerja. Kendala juga datang dari tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan.
Ketiga, perlindungan hak-hak ibu untuk memberikan ASI. Hak di tempat kerja untuk tetap memberikan ASI eksklusif harus ada ruang menyusui, berhak untuk tidak diganggu oleh promosi-promosi susu formula secara berlebihan. Maka itu, perlu adanya kegiatan advokasi dari tingkat nasional hingga internasional.
Siapa saja yang memberikan dukungan kepada AIMI?
AIMI mendapatkan dukungan dari pemerintah, yaitu Kementerian Kesehatan, antara lain dalam penyusunan peraturan, ketika melakukan kampanye sosialisasi, melakukan perayaan pekan ASI dunia. AIMI juga bergabung dalam gerakan nasional kesehatan ibu dan anak yang terdiri dari semua NGO, baik lokal maupun internasional termasuk UNICEF dan Save the Children. Selain itu, AIMI mendapatkan dukungan dari organisasi internasional yang sudah menaungi AIMI, yaitu World Alliance for Breastfeeding Action (WABA) dan AIMI sudah menjadi memberdari International Baby Food Action Network (IBFAN).
Kendala apa yang dirasakan selama menjalankan AIMI?
Pada saat awal berdiri, kendalanya adalah persepsi orang terhadap AIMI. Mereka berpikir kenapa menyusui saja perlu dibangun organisasi segala. Tetapi seiring berjalannya waktu, AIMI mulai membuktikan kalau organisasi ini sangat dibutuhkan dan banyak memberikan manfaat dengan kegiatan yang sudah dilakukan. Masalah lain adalah sumber dana dan sumber daya manusia. Karena pengurus bersifat relawan, tidak ada ikatan, sehingga bergantung pada komitmen masing-masing. Bagaimana mempertahankan komitmen pengurus ini juga menjadi tantangan.
Dari mana sumber dana untuk AIMI?
Selama ini dana ada dari swadaya dan donasi para member.Dana juga bisa didapatkan berdasarkan project dari hasil kerja sama dengan NGO. Bahkan ada dari sponsor, misalnya jika AIMI mengadakan sebuah event. Selain itu, ada hasil dana dari penjualan merchandiseAIMI. Terkait sponsor dan kerja sama dengan pihak ketiga pun tidak bisa sembarangan karena kami punya kode etik.
Selain itu, ada beberapa program yang dikenakan biaya oleh AIMI, seperti bimbingan konselor, kelas edukasi, dan sosialisasi ke kantor. Pasalnya, AIMI adalah organisasi nirlaba, pengurusnya sukarelawan, dan nonprofit. Jadi, setiap ada pendapat yang masuk, itu murni untuk menjalankan kegiatan-kegiatan organisasi. Ada sistem subsidi silang. Kegiatan yang dikenakan biaya itu untuk mendanai kegiatan-kegiatan lain yang gratis.
Apa lagi target AIMI yang belum tercapai?
Saya ingin AIMI dapat hadir di seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Paling tidak ada di tingkat provinsi, kemudian bisa berkembang menjadi tingkat kabupaten dan kota madya. Harapan saya, setiap ibu menyusui di Indonesia mendapatkan akses dan informasi tentang menyusui. Selain itu, saya juga ingin AIMI menjadi organisasi yang bisa berjalan terus dan berkarya sehingga kehadirannya dapat terus dirasakan para ibu menyusui.
Dina Angelina
(bbg)