Legit-Manis Nasi Gudeg Bu Hani
A
A
A
Tidak perlu datang ke Yogyakarta hanya untuk mencicipi nasi gudeg yang populer. Mampir saja ke warung Nasi Gudeg Jogja Bu Hani yang juga sudah cukup terkenal. Rasa tidak mengecewakan, harganya pun amat terjangkau.
Aroma harum ayam opor yang tengah dimasak seketika menyeruak saat KORAN SINDO menghampiri dapur yang tak seberapa luas itu. Menggunakan wajan besar, puluhan potong ayam tengah digodok. Di sampingnya, wajan berisi telur pindang berwarna cokelat juga tengah dimatangkan.
Hawa panas begitu kental terasa. Pasalnya, ada beberapa kompor yang sedang digunakan untuk memasak, baik di panci maupun wajan. Namun demikian, dapur tersebut tetap terjaga kebersihannya. Terlihat ber-bagai bumbu yang digunakan untuk memasak tersusun rapi bersama dengan dua kantong besar kerupuk kulit untuk dibuat krecek.
”Sehari kira-kira masak 20 kilogram nangka dan ayam 10 ekor,” ungkap Surimin, tukang masak di Nasi Gudeg Jogja Bu Hani cabang Warung Buncit, samping SPBU Buncit Indah, tepat di depan gedung Inti Fauzi, Jakarta Selatan. Pria yang setahun belakangan bekerja di rumah makan tersebut mengatakan, telur pindang salah satu panganan yang paling laris disantap bersama gudeg.
”Mungkin karena harganya lebih murah,” sebutnya. Surimin hanya memasak untuk cabang Warung Buncit, tempatnya bekerja. Sementara untuk gudegnya tidak dimasak di cabang tersebut, melainkan di cabang Mampang Prapatan. Sebelum menginjakkan kaki ke cabang ini, sebetulnya KORAN SINDO sudah lebih dulu mampir ke Mampang. Sayang, penjualnya mengatakan stok nasi sudah habis dan ia menyarankan untuk ke cabang di Warung Buncit.
Jadilah demi nasi gudeg, KORAN SINDO berbalik arah pada sore hari itu, di tengah padatnya arus lalu lintas yang bertepatan dengan jam pulang kantor. Bagi yang pernah mencoba nasi gudeg di Yogyakarta atau bahkan tinggal di kota pelajar tersebut, nasi gudeg tentu membuat kangen. Di kota asalnya, gudeg banyak ditawarkan hingga di sudutsudut kota.
Berbeda dengan di Jakarta. Mungkin karena waktu memasaknya yang tidak sebentar, panganan ini bisa dibilang tidak terlalu banyak dijajakan di Ibu Kota. Atau kasarnya, tidak semudah mencari nasi padang. Ada berbagai varian gudeg, yakni gudeg kering, gudeg basah, dan gudeg solo. Yang dimaksud gudeg kering ialah gudeg yang disajikan dengan areh kental, jauh lebih kental daripada santan pada masakan Padang.
Sementara gudeg basah, justru disajikan dengan areh encer. Adapun gudeg solo, yaitu gudeg yang arehnya berwarna putih. Agaknya gudeg versi Bu Hani merupakan gudeg kering dengan areh kental. Lauknya tinggal pilih, ada opor ayam, opor ati ampela, krecek, telur pindang, daging rendang, tahu dan tempe bacem, kerupuk udang, emping, peyek, dan sambal terasi.
Tentu rendangnya tidak sama dengan rendang Padang. Rendang daging ini memiliki kuah kental berwarna kuning kemerahan dan rasanya manis gurih. Di lain pihak, nasi putih yang disajikan pulen dan masih hangat. Nangkanya berwarna cokelat legam dan terasa manis legit. Sementara kreceknya tidak pedas, namun tetap kenyal dan terasa bumbu.
Suap demi suap masuk ke mulut, tanpa sadar nasi gudeg di piring hampir habis tak bersisa. Meski dominan manis, sambal terasi yang diberikan justru pedas rasanya dan cukup menyeimbangkan rasa. Opor ayamnya manis dengan tekstur yang lunak. Rasanya lezat, pantas saja mengundang banyak orang untuk mampir makan siang.
Terlebih lokasinya berada di sekitar gedung perkantoran. Harga seporsi nasi gudeg ayam atau dengan daging rendang hanya Rp20.000, sedangkan dengan telur cukup bayar Rp17.000. Minumnya tehtawaratauesteh manis yang juga tidak seberapa harganya.
Sri noviarni
Aroma harum ayam opor yang tengah dimasak seketika menyeruak saat KORAN SINDO menghampiri dapur yang tak seberapa luas itu. Menggunakan wajan besar, puluhan potong ayam tengah digodok. Di sampingnya, wajan berisi telur pindang berwarna cokelat juga tengah dimatangkan.
Hawa panas begitu kental terasa. Pasalnya, ada beberapa kompor yang sedang digunakan untuk memasak, baik di panci maupun wajan. Namun demikian, dapur tersebut tetap terjaga kebersihannya. Terlihat ber-bagai bumbu yang digunakan untuk memasak tersusun rapi bersama dengan dua kantong besar kerupuk kulit untuk dibuat krecek.
”Sehari kira-kira masak 20 kilogram nangka dan ayam 10 ekor,” ungkap Surimin, tukang masak di Nasi Gudeg Jogja Bu Hani cabang Warung Buncit, samping SPBU Buncit Indah, tepat di depan gedung Inti Fauzi, Jakarta Selatan. Pria yang setahun belakangan bekerja di rumah makan tersebut mengatakan, telur pindang salah satu panganan yang paling laris disantap bersama gudeg.
”Mungkin karena harganya lebih murah,” sebutnya. Surimin hanya memasak untuk cabang Warung Buncit, tempatnya bekerja. Sementara untuk gudegnya tidak dimasak di cabang tersebut, melainkan di cabang Mampang Prapatan. Sebelum menginjakkan kaki ke cabang ini, sebetulnya KORAN SINDO sudah lebih dulu mampir ke Mampang. Sayang, penjualnya mengatakan stok nasi sudah habis dan ia menyarankan untuk ke cabang di Warung Buncit.
Jadilah demi nasi gudeg, KORAN SINDO berbalik arah pada sore hari itu, di tengah padatnya arus lalu lintas yang bertepatan dengan jam pulang kantor. Bagi yang pernah mencoba nasi gudeg di Yogyakarta atau bahkan tinggal di kota pelajar tersebut, nasi gudeg tentu membuat kangen. Di kota asalnya, gudeg banyak ditawarkan hingga di sudutsudut kota.
Berbeda dengan di Jakarta. Mungkin karena waktu memasaknya yang tidak sebentar, panganan ini bisa dibilang tidak terlalu banyak dijajakan di Ibu Kota. Atau kasarnya, tidak semudah mencari nasi padang. Ada berbagai varian gudeg, yakni gudeg kering, gudeg basah, dan gudeg solo. Yang dimaksud gudeg kering ialah gudeg yang disajikan dengan areh kental, jauh lebih kental daripada santan pada masakan Padang.
Sementara gudeg basah, justru disajikan dengan areh encer. Adapun gudeg solo, yaitu gudeg yang arehnya berwarna putih. Agaknya gudeg versi Bu Hani merupakan gudeg kering dengan areh kental. Lauknya tinggal pilih, ada opor ayam, opor ati ampela, krecek, telur pindang, daging rendang, tahu dan tempe bacem, kerupuk udang, emping, peyek, dan sambal terasi.
Tentu rendangnya tidak sama dengan rendang Padang. Rendang daging ini memiliki kuah kental berwarna kuning kemerahan dan rasanya manis gurih. Di lain pihak, nasi putih yang disajikan pulen dan masih hangat. Nangkanya berwarna cokelat legam dan terasa manis legit. Sementara kreceknya tidak pedas, namun tetap kenyal dan terasa bumbu.
Suap demi suap masuk ke mulut, tanpa sadar nasi gudeg di piring hampir habis tak bersisa. Meski dominan manis, sambal terasi yang diberikan justru pedas rasanya dan cukup menyeimbangkan rasa. Opor ayamnya manis dengan tekstur yang lunak. Rasanya lezat, pantas saja mengundang banyak orang untuk mampir makan siang.
Terlebih lokasinya berada di sekitar gedung perkantoran. Harga seporsi nasi gudeg ayam atau dengan daging rendang hanya Rp20.000, sedangkan dengan telur cukup bayar Rp17.000. Minumnya tehtawaratauesteh manis yang juga tidak seberapa harganya.
Sri noviarni
(bbg)