Kehidupan Muslim Indonesia Tepis Anggapan Miring Tentang Islam
A
A
A
JAKARTA - Mainstream (pemikiran) umat Islam di Indonesia meyakini negerinya dirahmati Allah SWT sesuai dengan agama Islam sebagai rahmatan lil alamin atau agama membawa kedamaian dan rahmat kepada dunia.
Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PB NU) Slamet Effendi mengatakan, Kondisi kehidupan agama Islam di Indonesia bisa menepis anggapan miring tentang Islam yang dinilai sebagai agama radikal seperti di Timur Tengah.
"Di Indonesia, keislaman dan kenegaraan itu dipahami secara bersama. Jadi mereka (umat Islam) adalah orang Indonesia yang beragama Islam sekaligus orang beragama Islam di Indonesia. Itu tidak bisa dipisahkan, karena semangat keislaman itu sama dengan semangat kebangsaan," ujar Slamet, Jumat (24 April 2015).
Menurutnya umat Islam di Indonesia memahami keberadaan dirinya, tidak melepaskan diri dari lingkungan, khususnya terhadap keberadaan negara. Faktor itulah yang membuat Islam Indonesia bisa hidup rukun dan damai di negara yang terdiri dari beragam agama, suku, ras, dan sebagainya.
Namun, muncul kelompok-kelompok yang menafikkan doktrin-doktrin keislaman terutama dengan adanya kesultanan di Indonesia. Dia berpendapat, kelompok itu seolah-olah waton (negara) tidak ada, sehingga seolah-olah sebuah kekuasan berbau Islam itu harus bersifat global.
"Padahal umat Islam itu sudah sangat arif dan memahami hal tersebut. Buktinya Raja Jawa menyebut dirinya Sultan Hamengkubuwono atau khalifatullah ing tanah Jawi. Tapi dengan begitu tidak diartikan bhawa kekhalifahan itu harus tunduk ke pusat-pusat Islam dunia seperti Baghdad, Arab, dan lain-lain," jelasnya.
Dia menyebutkan, sekarang Timur Tengah terpecah antara satu sekte dengan sekte lain, antara satu negara dengan negara lain, sementara umat Islam di Indonesia bisa hidup dalam kedamaian.
"Kita bisa hidup dalam kampung kedamaian (darussalam) karena konteks kebangsaan kita sama dengan konteks keislaman," tukasnya.
Namun, mantan anggota DPR ini mengingatkan, harus diwaspadai munculnya kekuatan-kekuatan yang mengacu secara politik kepada model pemahaman Islam antar bangsa yang mengusung pemahaman Islam itu seolah-olah bersifat internasional.
"Tentunya untuk bisa membuat Islam yang damai dan moderat itu harus bisa menerima konsep secara kultural dengan baik terkait aspek sosial keagamaan juga aspek ekonomi yang bisa mengakat derajat dan ciri keislaman itu sendiri. Itu juga harus dikembangkan dengan cara menepis pemahaman islam yang transnasional," ucapnya.
Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PB NU) Slamet Effendi mengatakan, Kondisi kehidupan agama Islam di Indonesia bisa menepis anggapan miring tentang Islam yang dinilai sebagai agama radikal seperti di Timur Tengah.
"Di Indonesia, keislaman dan kenegaraan itu dipahami secara bersama. Jadi mereka (umat Islam) adalah orang Indonesia yang beragama Islam sekaligus orang beragama Islam di Indonesia. Itu tidak bisa dipisahkan, karena semangat keislaman itu sama dengan semangat kebangsaan," ujar Slamet, Jumat (24 April 2015).
Menurutnya umat Islam di Indonesia memahami keberadaan dirinya, tidak melepaskan diri dari lingkungan, khususnya terhadap keberadaan negara. Faktor itulah yang membuat Islam Indonesia bisa hidup rukun dan damai di negara yang terdiri dari beragam agama, suku, ras, dan sebagainya.
Namun, muncul kelompok-kelompok yang menafikkan doktrin-doktrin keislaman terutama dengan adanya kesultanan di Indonesia. Dia berpendapat, kelompok itu seolah-olah waton (negara) tidak ada, sehingga seolah-olah sebuah kekuasan berbau Islam itu harus bersifat global.
"Padahal umat Islam itu sudah sangat arif dan memahami hal tersebut. Buktinya Raja Jawa menyebut dirinya Sultan Hamengkubuwono atau khalifatullah ing tanah Jawi. Tapi dengan begitu tidak diartikan bhawa kekhalifahan itu harus tunduk ke pusat-pusat Islam dunia seperti Baghdad, Arab, dan lain-lain," jelasnya.
Dia menyebutkan, sekarang Timur Tengah terpecah antara satu sekte dengan sekte lain, antara satu negara dengan negara lain, sementara umat Islam di Indonesia bisa hidup dalam kedamaian.
"Kita bisa hidup dalam kampung kedamaian (darussalam) karena konteks kebangsaan kita sama dengan konteks keislaman," tukasnya.
Namun, mantan anggota DPR ini mengingatkan, harus diwaspadai munculnya kekuatan-kekuatan yang mengacu secara politik kepada model pemahaman Islam antar bangsa yang mengusung pemahaman Islam itu seolah-olah bersifat internasional.
"Tentunya untuk bisa membuat Islam yang damai dan moderat itu harus bisa menerima konsep secara kultural dengan baik terkait aspek sosial keagamaan juga aspek ekonomi yang bisa mengakat derajat dan ciri keislaman itu sendiri. Itu juga harus dikembangkan dengan cara menepis pemahaman islam yang transnasional," ucapnya.
(kur)