Didik Purnomo Divonis 5 Tahun
A
A
A
JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan hukuman lima tahun penjara kepada mantan Wakil Kepala Korlantas Polri Brigjen Pol Didik Purnomo.
Majelis hakim yang terdiri atas Ibnu Basuki Widodo selaku ketua merangkap anggota dengan anggota Sinung Hermawan, Casmaya, Anwar, dan Ugo memastikan, mantan anak buah Irjen Pol Djoko Susilo ini terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi dengan cara menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi secara bersamasama dan berlanjut dalam pengadaan simulator kemudi R-2 dan R-4 tahun anggaran 2011.
Majelis juga memastikan unsur subjektif dan objektif pemidanaan sudah terpenuhi sehingga tidak ada alasan pemaaf atas perbuatan pidana yang dilakukan. Didik juga dihukum membayar denda Rp250 juta dengan ketentuan bila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.
Majelis juga menghukum Didik dengan pidana tambahan untuk membayar biaya pengganti sebesar Rp50 juta. Uang itu keuntunganyangdiperolehDidik dalam proyek simulator yang berasal dari Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) Sukotjo Sastronegoro Bambang.
Bila kewajiban uang pengganti tidak dibayar dalam satu bulan setelah putusaan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht), harta benda Didik akan disita oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ”Dalam hal terdakwa tidak punya harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, dipidana dengan pidana selama enam bulan,” tandas Ibnu di Pengadilan Tipikor Jakarta kemarin.
Ibnu membeberkan, dalam menyusun amar putusan, majelis mempertimbangkan hal memberatkan dan meringankan. Yang memberatkan, Didik merupakan penegak hukum yang tidak mendukung upaya pemerintah yang sedang gencar- gencarnya memberantas korupsi. Yang meringankan bagi Didik ada empat. Pertama, berperilaku sopan dalam persidangan.
Kedua, belum pernah dihukum. Ketiga, terdakwa telah memiliki prestasi yang mendapatkan penghargaan dari pemerintah atas jasanya. ”(Keempat) uang yang diperoleh terdakwa relatif kecil,” ujar Ibnu. Karena itu, majelis menilai perbuatan pidana Didik sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHAP sebagaimana dalam dakwaan kedua.
Hakim Ibnu melanjutkan, berdasarkan pertimbangan meringankan, majelis tidak sependapat dengan tuntutan JPU yang memohonkan pidana tambahan kepada Didik berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk dipilih dalam jabatan politik. ”Menurut majelis hakim, dengan telah dihukumnya terdakwa, telah memenuhi rasa keadilan bagi terdakwa sehingga tidak perlu lagi dilakukan atau dihukum pencabutan hak-hak tertentu dalam jabatan publik.
Ini akan diserahkan kepada masyarakat untuk menilai kelayakan pada terdakwa,” tuturnya. Putusan majelis hakim ini lebih ringan dari tuntutan yang diajukan JPU pada KPK. Sebelumnya JPU menuntut tujuh tahun pidana dan denda sebesar Rp250 juta subsider enam bulan, uang pengganti Rp50 juta atau penjara selama dua tahun, serta pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk dipilih dalam jabatan publik kepada Didik Purnomo.
Uang Rp50 juta diterima Didik setelah seluruh anggaran simulator R2 senilai Rp48,76 miliar dicairkan dan pemberian Rp30 miliar dalam empat dus untuk Djoko Susilo. Pemberian uang itu bermula saat Sukotjo datangkeKorlantasdanditanyakan oleh Ni Nyoman Suartini agar Didikdiperhatikan. Nyomansaat itu meminta Sukotjo, ”Kasihlah kaliber 50 atau 100”. Pernyataan ini diperkuat AKBP Heru.
Setelah putusan dibacakan, Didik diberikan kesempatan menanggapi dan berkonsultasi dengan tim penasihat hukum apakah akan menerima atau banding atau pikir-pikir. Begitu juga JPU. Selepas berkonsultasi, Didik tidak memberikan komentar. Sedangkan kuasa hukumnya, HarryPontoh, menyatakanpikirpikir.
”Kami dan terdakwa akan pikir-pikir dulu,” ujar Harry. Demikian juga dengan JPU. Selepas sidang ditutup, Harry Pontoh menuturkan, jika mendengar putusan itu, sebenarnya ada banyak fakta yang tidak menunjukkan keterlibatan kliennya. Misalnya, Didik tidak ikut rapat persiapan. Sebagai PPK, kliennya hanya disodorkan HPS yang sudah disiapkan dan sudah dikerjakan oleh tim.
Sabir laluhu
Majelis hakim yang terdiri atas Ibnu Basuki Widodo selaku ketua merangkap anggota dengan anggota Sinung Hermawan, Casmaya, Anwar, dan Ugo memastikan, mantan anak buah Irjen Pol Djoko Susilo ini terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi dengan cara menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi secara bersamasama dan berlanjut dalam pengadaan simulator kemudi R-2 dan R-4 tahun anggaran 2011.
Majelis juga memastikan unsur subjektif dan objektif pemidanaan sudah terpenuhi sehingga tidak ada alasan pemaaf atas perbuatan pidana yang dilakukan. Didik juga dihukum membayar denda Rp250 juta dengan ketentuan bila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.
Majelis juga menghukum Didik dengan pidana tambahan untuk membayar biaya pengganti sebesar Rp50 juta. Uang itu keuntunganyangdiperolehDidik dalam proyek simulator yang berasal dari Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) Sukotjo Sastronegoro Bambang.
Bila kewajiban uang pengganti tidak dibayar dalam satu bulan setelah putusaan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht), harta benda Didik akan disita oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ”Dalam hal terdakwa tidak punya harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, dipidana dengan pidana selama enam bulan,” tandas Ibnu di Pengadilan Tipikor Jakarta kemarin.
Ibnu membeberkan, dalam menyusun amar putusan, majelis mempertimbangkan hal memberatkan dan meringankan. Yang memberatkan, Didik merupakan penegak hukum yang tidak mendukung upaya pemerintah yang sedang gencar- gencarnya memberantas korupsi. Yang meringankan bagi Didik ada empat. Pertama, berperilaku sopan dalam persidangan.
Kedua, belum pernah dihukum. Ketiga, terdakwa telah memiliki prestasi yang mendapatkan penghargaan dari pemerintah atas jasanya. ”(Keempat) uang yang diperoleh terdakwa relatif kecil,” ujar Ibnu. Karena itu, majelis menilai perbuatan pidana Didik sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHAP sebagaimana dalam dakwaan kedua.
Hakim Ibnu melanjutkan, berdasarkan pertimbangan meringankan, majelis tidak sependapat dengan tuntutan JPU yang memohonkan pidana tambahan kepada Didik berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk dipilih dalam jabatan politik. ”Menurut majelis hakim, dengan telah dihukumnya terdakwa, telah memenuhi rasa keadilan bagi terdakwa sehingga tidak perlu lagi dilakukan atau dihukum pencabutan hak-hak tertentu dalam jabatan publik.
Ini akan diserahkan kepada masyarakat untuk menilai kelayakan pada terdakwa,” tuturnya. Putusan majelis hakim ini lebih ringan dari tuntutan yang diajukan JPU pada KPK. Sebelumnya JPU menuntut tujuh tahun pidana dan denda sebesar Rp250 juta subsider enam bulan, uang pengganti Rp50 juta atau penjara selama dua tahun, serta pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk dipilih dalam jabatan publik kepada Didik Purnomo.
Uang Rp50 juta diterima Didik setelah seluruh anggaran simulator R2 senilai Rp48,76 miliar dicairkan dan pemberian Rp30 miliar dalam empat dus untuk Djoko Susilo. Pemberian uang itu bermula saat Sukotjo datangkeKorlantasdanditanyakan oleh Ni Nyoman Suartini agar Didikdiperhatikan. Nyomansaat itu meminta Sukotjo, ”Kasihlah kaliber 50 atau 100”. Pernyataan ini diperkuat AKBP Heru.
Setelah putusan dibacakan, Didik diberikan kesempatan menanggapi dan berkonsultasi dengan tim penasihat hukum apakah akan menerima atau banding atau pikir-pikir. Begitu juga JPU. Selepas berkonsultasi, Didik tidak memberikan komentar. Sedangkan kuasa hukumnya, HarryPontoh, menyatakanpikirpikir.
”Kami dan terdakwa akan pikir-pikir dulu,” ujar Harry. Demikian juga dengan JPU. Selepas sidang ditutup, Harry Pontoh menuturkan, jika mendengar putusan itu, sebenarnya ada banyak fakta yang tidak menunjukkan keterlibatan kliennya. Misalnya, Didik tidak ikut rapat persiapan. Sebagai PPK, kliennya hanya disodorkan HPS yang sudah disiapkan dan sudah dikerjakan oleh tim.
Sabir laluhu
(bbg)