Peringatan KAA Momentum Umumkan Indonesia Poros Maritim Dunia
A
A
A
JAKARTA - Di saat Soekarno menggagas Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955, dunia sedang terbelah dalam kekuatan bipolar: Blok Barat dan Blok Timur. Lewat KAA, Soekarno menggagas Aliansi Non-Blok. Meski Non-Blok, namun Soekarno sedang membangun kekuatan sendiri, poros ketiga dunia.
"Dengan cara itu Soekarno bebas mendayung diantara dua blok. KAA adalah strategi diplomasi Indonesia paling cemerlang," jelas Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia Grace Natalie lewat akun Twitterinya, @grace_net dengan tagar #SolidaritasDuniaBaru, Senin (20/4/2015).
Karena itu, muncul pertanyaan apakah peringatan KAA ke-60 sekarang ini masih relevan. Dunia tidak sama lagi secara geopolitik. "Asia tidak lagi terjajah, bahkan Asia adalah raksasa ekonomi yang ditopang dengan bonus populasi," ucapnya.
Dia menjelaskan, arus China dan India menghempas deras dari utara. Dari selatan, Australia telah merumuskan China adalah ancaman nasional dari utara. Di utara masih ada Korsel dan Taiwan. Juga Singapura dan Malaysia yang berbatasan langsung dengan Indonesia yang juga sedang maju.
"Sang Paman Sam meski sedang batuk dan berutang, namun masih punya kekuatan militer yang besar untuk menjaga (kepentingannya) di Asia-Pasifik," ungkapnya.
Meski begitu, dia menilai KAA tetap relevan jika Indonesia menggunakan momentum ini. Sebagai bentuk solidaritas dunia baru, Indonesia harus menjadikan peringatan KAA ke-60 menjadi pengikat rasa solidaritas Asia-Afrika, dengan memastikan pertumbuhan ekonomi di Asia akan dirasakan hingga ke Afrika sebagai mitra benua.
"Dari podium itu juga, atas mandat UUD 1945. Desakkan kemerdekaan Palestina sebagai wujud komitmen kita pada dunia," tegasnya.
Untuk Indonesia, dia mengingatkan, pemerintah harus mengumumkan pada dunia, tentang rencana Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Dan ini adalah "core national interest" yang harus dihormati bangsa-bangsa lain. Sebagaimana Soekarno dulu menjadikan KAA sebagai momentum untuk membangun poros ketiga dunia.
"Tanpa itu KAA hanyalah reuni tanpa makna. Kembali ke laut adalah kembali ke pangkuan IBU," demikian Grace Natalie menutup kultwitnya.
"Dengan cara itu Soekarno bebas mendayung diantara dua blok. KAA adalah strategi diplomasi Indonesia paling cemerlang," jelas Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia Grace Natalie lewat akun Twitterinya, @grace_net dengan tagar #SolidaritasDuniaBaru, Senin (20/4/2015).
Karena itu, muncul pertanyaan apakah peringatan KAA ke-60 sekarang ini masih relevan. Dunia tidak sama lagi secara geopolitik. "Asia tidak lagi terjajah, bahkan Asia adalah raksasa ekonomi yang ditopang dengan bonus populasi," ucapnya.
Dia menjelaskan, arus China dan India menghempas deras dari utara. Dari selatan, Australia telah merumuskan China adalah ancaman nasional dari utara. Di utara masih ada Korsel dan Taiwan. Juga Singapura dan Malaysia yang berbatasan langsung dengan Indonesia yang juga sedang maju.
"Sang Paman Sam meski sedang batuk dan berutang, namun masih punya kekuatan militer yang besar untuk menjaga (kepentingannya) di Asia-Pasifik," ungkapnya.
Meski begitu, dia menilai KAA tetap relevan jika Indonesia menggunakan momentum ini. Sebagai bentuk solidaritas dunia baru, Indonesia harus menjadikan peringatan KAA ke-60 menjadi pengikat rasa solidaritas Asia-Afrika, dengan memastikan pertumbuhan ekonomi di Asia akan dirasakan hingga ke Afrika sebagai mitra benua.
"Dari podium itu juga, atas mandat UUD 1945. Desakkan kemerdekaan Palestina sebagai wujud komitmen kita pada dunia," tegasnya.
Untuk Indonesia, dia mengingatkan, pemerintah harus mengumumkan pada dunia, tentang rencana Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Dan ini adalah "core national interest" yang harus dihormati bangsa-bangsa lain. Sebagaimana Soekarno dulu menjadikan KAA sebagai momentum untuk membangun poros ketiga dunia.
"Tanpa itu KAA hanyalah reuni tanpa makna. Kembali ke laut adalah kembali ke pangkuan IBU," demikian Grace Natalie menutup kultwitnya.
(kri)