Menanti Puisi di Jakarta

Minggu, 19 April 2015 - 10:12 WIB
Menanti Puisi di Jakarta
Menanti Puisi di Jakarta
A A A
Pada tahun 1954 Rendra menggubah puisi berjudul Bulan di Djakarta , mengisahkan ironi Jakarta: Bulan telah pingsan/ Mama, bulan telah pingsan./ Menusuk tikaman beratjun/ dari lampu-lampu kota Djakarta/ dan gedung-gedung tak berdarah/ berpaling dari bundanja . Jakarta adalah ”kota terang”.

Lampu mengalahkan sinar dan pesona bulan. Gedunggedung menjelaskan modernisasi di Jakarta. Gedung untuk perkantoran, perbelanjaan, pentas hiburan, dan hunian. Rendra menuduh ”gedunggedung tak berdarah” membuat kota merindukan keindahan. Di Solo, lelaki bernama Sukamdani Sahid Gitosardjono sedang menempuh pendidikan di SMEA. Tokoh kelahiran Sukoharjo, 14 Maret 1928, mulai meniti nasib sebagai siswa dan pegawai. Sukamdani bertemu pasangan hidup, bernama Juliah.

Sukamdani memutuskan pergi ke Jakarta, bekerja di perusahaan milik PGRI, 1952. Di Jakarta Sukamdani bertaruh nasib untuk mencari nafkah (Sejarah Perjalanan Hidup Sukamdani S.G. Wujud Sebuah Bakti, 2004). Di Jakarta Rendra memberi peringatan tentang arus modernisasi di Jakarta. Sukamdani justru mulai meronce ambisi-ambisi turut mengartikan Jakarta melalui pekerjaan. Sukamdani dan Juliah melangsungkan pernikahan pada 27 Mei 1953.

Di Jakarta, Sukamdani dan Juliah bermukim di rumah sederhana, beralamat di Jalan Sudirman No. 86. Pada tahun 1953, ambisi-ambisi perlahan diwujudkan di Jakarta dan Solo. Jakarta adalah kota idaman bagi orang-orang mencari peruntungan. Di kota besar mereka berharapan mendapat kerja, gaji tinggi, dan kemuliaan. Persaingan demi nafkah berlangsung di Jakarta. Kota semakin padat. Bangunan-bangunan baru bermunculan. Soekarno mulai menjalankan kebijakankebijakan pembangunan Jakarta berwujud patung, gedung, dan monumen.

Tahun demi tahun berlalu. Gedung-gedung tinggi alias ”gedung pencakar langit” berdiri megah dan elok. Di Jakarta, Sukamdani melihat peluang untuk berperan sebagai penentu makna. Pembuktian dimulai di Solo. Sukamdani membangun Hotel Sahid Sala, diresmikan pada 8 Juli 1965, bertepatan peringatan hari kelahiran Juliah, 8 Juli 1965. Ambisi berlanjut dengan pendirian Hotel Sahid Jaya di Jakarta.

Peresmian dilakukan oleh Soeharto dan Tien Soeharto pada 23 Maret 1974. Hotel itu termasuk tinggi: 17 lantai. Jakarta pun semakin sesak oleh bangunanbangunan tinggi. Masa lalu itu berganti capaian-capaian besar. Pada peringatan ulang tahun Sukamdani ke-87, 14 Maret 2015, Joko Widodo berkenan meresmikan gedung tertinggi bernama Gedung Sahid Sudirman Center di Jakarta.

Gedung ini memiliki ketinggian 225 meter dan 52 lantai. Kita tak perlu curiga jika Joko Widodo masih sanggup meluangkan waktu untuk meresmikan gedung pencakar langit. Sejak di Solo Joko Widodo berteman dengan Sukamdani, pemilik Sahid Group. Para pejabat juga turut hadir. Daftar gedung tertinggi bertambah. Jakarta perlahan meniru kota-kota di Amerika Serikat dan Eropa.

Peristiwa fantastis itu mengingatkan sejarah pendirian gedung pencakar langit di kotakota besar di Amerika Serikat. Paul Goldberger dalam buku berjudul Gedung Pencakar Langit (1994) memberi penjelasan sejarah dan perkembangan kota-kota di Amerika Serikat ditentukan jumlah dan pesona puluhan gedung pencakar langit. Ambisi menjadikan kota sebagai tempat pendirian bangunan tinggi dimulai sejak abad XIX. Theodore Starrett (1906) memiliki obsesi pembangunan gedung raksasa berlantai 100.

Gedung digunakan untuk industri, perdagangan, hotel, teater, pertokoan, taman rekreasi, dan kolam renang. Obsesi kota bergerak ke atas menuju langit. Kritik atas pembangunan gedung-gedung tinggi sudah diajukan oleh George B. Post (1894). Keberadaan puluhan gedung pencakar langit bakal mengakibatkan jalanan seperti lembah, gelap, suram, dan lembab. Sinisme itu tak laku.

Di pelbagai kota, gedung-gedung pencakar langit semakin bertambah. Pada masa 1930-an, kegandrungan gedung pencakar langit diwujudkan dalam pertunjukan balet berjudul Skyline New York . Para pemain mengenakan busana berbentuk gedung-gedung pencakar langit. Sekarang sejarah itu menular ke Indonesia.

Kota-kota besar mulai diartikan melalui gedung pencakar langit. Kota tampak megah beraroma fantasi. Kota cenderung berarti bangunan ketimbang manusia. Kepadatan penduduk bersaing kepadatan gedung-gedung tinggi. Hidup di kota bersama puluhan gedung pencakar langit semakin membuat orang merindukan untuk melihat bulan.

Barangkali kita masih menanti para pujangga menggubah puisi berkisah Jakarta, berbeda dari puisi gubahan Rendra. Puisi mengandung sinisme bisa menjadi acuan reflektif untuk mempertimbangkan nasib Jakarta. Kita menanti puisi, tak menanti pendirian gedung pencakar langit lagi.

Bandung Mawardi
Pengelola Jagat Abjad Solo
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4432 seconds (0.1#10.140)