Dilarang di Minimarket, Bertebaran di Tepi Jalan
A
A
A
Sekilas lapak kayu di tepi Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, itu tak ada bedanya dengan hari-hari lalu.
Mengandalkan penerang lampu neon, gerobak dorong itu memajang aneka rupa jamu, suplemen, dan obat-obatan yang diklaim sanggup meningkatkan kejantanan.
Berderet-deret sepanjang malam, mengandalkan para lelaki yang berselancar mencari hiburan. Sepintas memang sama, tetapi sejatinya ada yang beda. Beberapa lapak itu hari-hari belakangan ini tak cuma menjajakan pil vitalitas.
Barang dagangan mereka bertambah dengan dijualnya minuman beralkohol, bir dan sejenisnya. Tak semua penjual memang berdagang minuman memabukkan itu, melainkan hanya beberapa. Dan jangan harap menemukan botol-botol minuman beralkohol itu terpajang di etalase. ”Jualnya ngumpet-ngumpet aja. Pembelinya juga yang sudah dikenal, hanya untuk kalangan terbatas,” kata Rudi, salah satu pedagang, saat ditemui KORAN SINDO kemarin petang.
Pria 35 tahun ini mengaku baru berjualan minuman beralkohol sepekan terakhir memanfaatkan momen. ”Momen katanya bir sudah gak boleh dijual lagi di minimarket. Banyak yang cari-cari ke sini. Jadinya jualan,” katanya. Dalam berjualan minuman keras itu, Rudi dan sejumlah pedagang lain seolah berkamuflase. Tampak luar sebagai pedagang obat kuat dan alat-alat seksualitas, tetapi sebenarnya juga berjualan minuman beralkohol.
Fenomena itu tak hanya di Jalan Gajah Mada, tetapi juga marak di kawasan Hayam Wuruk, Taman Sari hingga Tanjung Duren Raya, Jakarta Barat. Seperti diketahui, mulai 16 April 2015, minimarket dilarang berjualan minuman keras. Minuman mengandung alkohol golongan A (berkadar alkohol di bawah 5%) hanya boleh dijual di supermarket atau hipermarket dan itu pun harus dikonsumsi di lokasi.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menegaskan, kebijakan itu diambil untuk melindungi generasi muda dari miras. Peraturan sering keras di kertas, tapi lecek di lapangan.
Menemukan minuman keras juga tak sulit di pinggiran Jalan Tanjung Duren Raya. Tak seperti di kawasan Gajah Mada, di area ini minuman keras diperdagangkan di warung-warung semipermanen. Pedagang pun berjualan secara sembunyi-sembunyi. Ucok, salah satu penjual, menempatkan minuman kerasnya di bawah jok sepeda motor matik yang diparkir jauh dari warungnya. Seperti Rudi, dia juga melayani pembeli dari orang-orang yang sudah dikenalnya.
”Stok tidak banyakbanyak, kalau habis ya tinggal ambil lagi ke rumah. Yang penting aman,” ujarnya enteng. Ucok mengaku sepekan terakhir permintaan meningkat tajam. Jika biasanya sehari satu dus ludes, kini bisa tiga dus. ”Tidak tahu apakah karena larangan itu, tapi yang jelas untung bertambah,” imbuhnya.
Terpisah, Salman, 22, penjaga salah satu minimarket di kawasan Kemanggisan Ilir, mengakui sepekan sebelum larangan penjualan minuman beralkohol diberlakukan, pelanggan menyusut tajam. ”Karena larangan itu remaja mulai sepi nongkrong di sini,” ujarnya.
Yan Yusuf
Jakarta
Mengandalkan penerang lampu neon, gerobak dorong itu memajang aneka rupa jamu, suplemen, dan obat-obatan yang diklaim sanggup meningkatkan kejantanan.
Berderet-deret sepanjang malam, mengandalkan para lelaki yang berselancar mencari hiburan. Sepintas memang sama, tetapi sejatinya ada yang beda. Beberapa lapak itu hari-hari belakangan ini tak cuma menjajakan pil vitalitas.
Barang dagangan mereka bertambah dengan dijualnya minuman beralkohol, bir dan sejenisnya. Tak semua penjual memang berdagang minuman memabukkan itu, melainkan hanya beberapa. Dan jangan harap menemukan botol-botol minuman beralkohol itu terpajang di etalase. ”Jualnya ngumpet-ngumpet aja. Pembelinya juga yang sudah dikenal, hanya untuk kalangan terbatas,” kata Rudi, salah satu pedagang, saat ditemui KORAN SINDO kemarin petang.
Pria 35 tahun ini mengaku baru berjualan minuman beralkohol sepekan terakhir memanfaatkan momen. ”Momen katanya bir sudah gak boleh dijual lagi di minimarket. Banyak yang cari-cari ke sini. Jadinya jualan,” katanya. Dalam berjualan minuman keras itu, Rudi dan sejumlah pedagang lain seolah berkamuflase. Tampak luar sebagai pedagang obat kuat dan alat-alat seksualitas, tetapi sebenarnya juga berjualan minuman beralkohol.
Fenomena itu tak hanya di Jalan Gajah Mada, tetapi juga marak di kawasan Hayam Wuruk, Taman Sari hingga Tanjung Duren Raya, Jakarta Barat. Seperti diketahui, mulai 16 April 2015, minimarket dilarang berjualan minuman keras. Minuman mengandung alkohol golongan A (berkadar alkohol di bawah 5%) hanya boleh dijual di supermarket atau hipermarket dan itu pun harus dikonsumsi di lokasi.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menegaskan, kebijakan itu diambil untuk melindungi generasi muda dari miras. Peraturan sering keras di kertas, tapi lecek di lapangan.
Menemukan minuman keras juga tak sulit di pinggiran Jalan Tanjung Duren Raya. Tak seperti di kawasan Gajah Mada, di area ini minuman keras diperdagangkan di warung-warung semipermanen. Pedagang pun berjualan secara sembunyi-sembunyi. Ucok, salah satu penjual, menempatkan minuman kerasnya di bawah jok sepeda motor matik yang diparkir jauh dari warungnya. Seperti Rudi, dia juga melayani pembeli dari orang-orang yang sudah dikenalnya.
”Stok tidak banyakbanyak, kalau habis ya tinggal ambil lagi ke rumah. Yang penting aman,” ujarnya enteng. Ucok mengaku sepekan terakhir permintaan meningkat tajam. Jika biasanya sehari satu dus ludes, kini bisa tiga dus. ”Tidak tahu apakah karena larangan itu, tapi yang jelas untung bertambah,” imbuhnya.
Terpisah, Salman, 22, penjaga salah satu minimarket di kawasan Kemanggisan Ilir, mengakui sepekan sebelum larangan penjualan minuman beralkohol diberlakukan, pelanggan menyusut tajam. ”Karena larangan itu remaja mulai sepi nongkrong di sini,” ujarnya.
Yan Yusuf
Jakarta
(ars)