Thailand Berlakukan Aturan Agresif

Sabtu, 18 April 2015 - 11:20 WIB
Thailand Berlakukan...
Thailand Berlakukan Aturan Agresif
A A A
BANGKOK - Perdana Menteri (PM) Thailand Jenderal Prayuth Chan-ocha mendukung penetapan Pasal 44 konstitusi sementara yang ditujukan untuk mengganti darurat militer, kemarin.

Namun, dukungan itu menuai pro-kontra. Dalam wawancara dengan televisi Thailand, Prayuth mengatakan bahwa Thailand perlu memperbaiki mekanisme aturan hukum agar mampu keluar dari berbagai permasalahan yang terjadi saat ini. ”Terkadang, pemerintah juga perlu menggunakan jalan pintas saat menghadapi berbagai kendala yang mengganjal hukum itu,” ujarnya, dikutip Channel News Asia, kemarin.

Di bawah Pasal 44, pemerintah dan otoritas terkait Thailand memiliki hak khusus yang kontroversial. Militer misalnya, bisa menangkapdanmenahanwarga Thailand yang diduga mengancam dan merusak kedaulatan serta keamanan negara selama tujuh hari tanpa perlu pengajuan surat dakwaan resmi. Selain itu, perkumpulan warga di tempat umum dibatasi.

Jika ada kelompok yang terdiri dari minimal lima orang, mereka bisa saja dikenai hukuman jika dianggap ilegal. Pembatasan yang sama juga diterapkan kepada media. Setiap pemberitaan di media Thailand pun akan mendapatkan sensor dan pengawasan ketat. Prayuth menegaskan, pengetatan hukum itu ditujukan untuk pembenahan Thailand.

”Saya siap untuk menggunakan kekuatan khusus di bawah Pasal 44 tersebut demi Thailand yang lebih baik. Saat konstitusi itu disahkan, pemilu akan digelar. Saya tidak ingin berkuasa terlalu lama atau mewariskan beban kepada pemerintah berikutnya,” katanya, dilansir Bangkok Post. Menurut Prayuth, Thailand sedang berusaha mengembalikan perdamaian dan stabilitas yang sempat hilang karena adanya krisis politik pada tahun lalu.

”Beberapa orang mungkin menilai pemerintahan saya agresif. Tapi ini untuk kebaikan Thailand. Mohon dipahami, kami perlu menyelesaikan masalah kritis di negeri ini,” terangnya. Prayuth menambahkan, pemerintah tidak sembarangan dan terburu-buru dalam mengeluarkan kebijakan. Pemimpin yang mengudeta pemerintah terpilih Yingluck Shinawatra itu menyebut, setiap menteri bersumpah untuk membantu Thailand. ”Apa yang kami lakukan untuk Thailand,” katanya.

Prayuth sadar situasi politik Thailand saat ini belum stabil dan membuat komunitas internasional prihatin. Dia mempercayakan isu internal itu kepada bawahannya agar mereka menjelaskan situasi konkret di Thailand ke negara- negara bersangkutan. Rencananya, Thailand akan kembali ke pemerintahan sipil pada 2016.

”Kami telah menghadapi banyak masalah, baik dalam skala nasional ataupun internasional dalam enam bulan terakhir, tutur Prayuth. Saya menyayangkan media yang masih kurang lengkap dalam membuat informasi. Mereka mengkritisi pemerintahan Thailand tanpa memahami tujuannya atau tanpa bukti data,” sambungnya. Meski sedang memasuki tahap transisi, pertumbuhan ekonomi Thailand patut diacungi jempol.

Dalam tiga kuartal terakhir 2014, ekonomi Thailand meningkat 0,4%, 0,6%, dan 2,3%. Pemerintah berkomitmen mengembangkan infrastruktur, transportasi, konektivitas regional, proyek kerajaan, pengelolaan air, promosi investasi, dan zona ekonomi khusus. Thailand, kata Prayuth, memiliki masa depan yang cerah. Dia berharap, semua elemen masyarakat Thailand akan bahu membahu mencapai impian itu.

”Thailand sebaiknya bisa seperti Singapura. Kami juga harus sanggup menarik investor asing. Dukungan masyarakat sangat diperlukan,” terang Prayuth. Namun, beberapa pengamat mengkritisi sejumlah pasal yang mereka anggap tidak tidak demokratis.

”Selama insiden Mei 1992, warga berjuang hingga terjadi pertumpahan darah untukmenegakkandemokrasiagar bisa memiliki anggota parlemen yang mereka harapkan. Dan sekarang seolah-olah kita sudah melupakan semua itu dan membiarkan (pembajakan demokrasi) terjadi lagi. Bagi saya, ini adalah kemunduran,” ujar Siripan Ngsuan Sawasdee, pengamat politik dari Universitas Chulalongkorn.

Muh shamil
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7880 seconds (0.1#10.140)