Panglima TNI Izinkan Istri Prajurit Berpolitik

Sabtu, 18 April 2015 - 10:54 WIB
Panglima TNI Izinkan Istri Prajurit Berpolitik
Panglima TNI Izinkan Istri Prajurit Berpolitik
A A A
JAKARTA - Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko mengeluarkan kebijakan baru dengan memberikan izin dan mengembalikan hak politik bagi para istri prajurit TNI. Dengan demikian, mereka bisa menggunakan haknya untuk memilih dan dipilih.

Dalam Surat Telegram Panglima TNI Nomor: ST/1378/XI/ 2014 tanggal 24 November 2014 disebutkan, istri para prajurit TNI diperbolehkan untuk melakukan kegiatan politik sehingga nanti ada yang bisa menjadi bupati atau gubernur. ”Di dalam undang-undang, yang dilarang berpolitik praktis adalah prajurit TNI, sedangkan bagi istri prajurit TNI tidak ada larangan dan hal tersebut diperbolehkan,” tandas Moeldoko selaku Pembina Utama Dharma Pertiwi pada acara HUT ke-51 Dharma Pertiwi di Balai Sudirman, Jakarta, kemarin.

MenurutPanglima, halinisudah masuk dalam agenda program sekaligus mempertegas dan memperjelas posisi istri prajurit TNI dalam politik. Mantan KSAD ini menyampaikan, tugas pokok Panglima TNI adalah tugas komando, yakni menyiapkan pasukannya agar siap tempur, menjaga dan meningkatkan kesejahteraan, serta menjaga dan memelihara kesejahteraan prajurit dan keluarganya.

Kapuspen TNI Mayjen TNI Fuad Basya mengatakan, rencana pemberian izin kepada istri prajurit TNI untuk bisa memenuhi hak-hak politiknya seperti dipilih dan memilih dalam pemilu sudah lama menjadi bahan kajian di Mabes TNI. Namun, rencana itu baru terwujud pada masa kepemimpinan Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko. ”Rencana pemberian izin hak politik istri prajurit itu sudah ada sejak masa kepemimpinan Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso sekitar 2007 hingga 2010.

Namun karena berbagai pertimbangan, rencana tersebut belum juga terlaksana,” katanya. Pertimbangan utama pemberian izin itu, kata Fuad, sebagai warga negara biasa para istri prajurit sebenarnya memiliki hak untuk memilih dan dipilih serta terjun dalam politik praktis. Apalagi, tidak ada aturan perundang-undangan yang melarang keterlibatan istri prajurit dalam berpolitik seperti mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Fuad menjelaskan, pada UU TNI Nomor 34 Tahun 2014 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) hanya mengatur prajurit TNI yang tidak boleh terlibat dalam politik praktis. ”Sedangkan istri prajurit bukan tentara. Hak untuk memilih dan dipilih itu juga merupakan salah satu hak asasi yang dimiliki warga negara,” paparnya.

Jika istri prajurit dilarang dan tidak diberi kesempatan untuk terjun ke politik praktis, hal itu sangat berlebihan karena membatasi hak-hak konstitusional mereka sebagai warga negara. ”Pelarangan istri prajurit untuk ikut dalam politik praktis terjadi saat awal reformasi, di mana prajurit TNI menganjurkan kepada istri-istrinya untuk tidak menggunakan haknya dalam pemilu, sebab proses reformasi belum berjalan dengan baik karena adanya anggapan negatif terhadap TNI,” ujarnya.

Namun, Fuad menepis anggapan bahwa pemberian izin kepada istri prajurit untuk berpolitik praktis menjadi jalan bagi TNI untuk kembali masuk ke ranah politik dan mempraktikkan Dwifungsi seperti pada masa lalu. ”Tidak ada hubungannya istri prajurit dengan Dwifungsi. Kalau dulu kan Dwifungsi itu dilakukan prajurit TNI, bukan istri- istrinya. Jadi tidak ada hubungannya. TNI masih memegang teguh pada aturan prajurit tidak terlibat politik praktis,” tandasnya.

Sucipto
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5732 seconds (0.1#10.140)