Jokowi, Mana Revolusi Mental?
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat melekat dengan jargon andalannya "Revolusi Mental" pada setiap kampanyenya di Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 lalu. Namun, enam bulan pemerintahan Jokowi-JK berkuasa, belum ada satupun implementasi Revolusi Mental dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat.
"Jokowi belum mengelaborasi Revolusi Mental dan Nawa Cita dalam suatu perencanaan komprehensif," kata Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 13 April.
Menurut Fahri, sebagai jargon sakti yang selalu disuarakan dalam kampanye, Revolusi Mental dan Nawa Cita semestinya sudah masuk ke dalam perencanaan nasional. Namun, kedua hal itu belum terlihat nyata hingga hari ini.
"Mestinya di Menteri Negara Pembangunan Perencanaan Nasional (Meneg PPN), sudah ada. (Tapi) kita belum lihat itu," jelas Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP PKS itu.
Fahri berpandangan, Presiden Jokowi perlu menegaskan apakah Revolusi Mental itu masuk ke dalam visi pemerintahan, pondasi pemerintahan, program pemerintahan, dan bentuk implementasi lainnya dalam pemerintahan Jokowi ini.
"Jangan jadikan itu sekedar jargon. Harus ada batang tubuhnya dari Revolusi Mental, dan Nawa Cita," terang Fahri.
Adapun wacana Mendagri yang hendak mengimplementasikan Revolusi Mental di IPDN, Fahri menilai, IPDN itu birokrat teknis. Semestinya Revolusi Mental dimasukkan ke dalam suatu proposal yang solid, kemudian diturunkan dalam bentuk kebijakan dan juga anggaran.
Lebih dari itu, Fahri menambahkan, pada dasarnya implementasi Revolusi Mental dan Nawa Cita ini sangat ditunggu. Semestinya ide ini diramu oleh Menteri PPN, bukan Mnedagri. Sehingga, Revolusi Mental dan Nawa Cita akan tergambar dalam setiap departemen.
"Saya mengamati dari apa yang berkembang belum ada. Seharusnya Menteri PPN," tandas Fahri.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo hendak memasukkan ruh Revolusi Mental dalam kementeriannya dengan cara memasukan ajaran Revolusi Mental dalam birokrasi sejak di pendidikan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). "Revolusi Mental dimulai dari masa pendidikan dan IPDN harus mampu melahirkan Praja pelopor Revolusi Mental yang secara kualitas siap menjadi teladan di lingkungan sosial, keluarga, dan kerja di masing-masing instansi," kata Tjahjo dalam siaran persnya kemarin.
Tjahjo juga menjelaskan, pendidikan Revolusi Mental dalam IPDN ini mencakup sejumlah perubahan yang mendasar, cepat, dan berkesinambungan. Dasar-dasar ini dibagi ke dalam tiga segmen perubahan.
"Segmen satu dalam rekruitmen calon praja, segmen dua dalam pengajaran, pelatihan, dan pengasuhan (Jarlatsuh), dan segmen tiga dalam konsolidasi alumni. Seluruh proses harus dapat diawali pada tahun 2015 ini di seluruh kampus IPDN," terangnya.
Menurut Tjahjo, sebagai praja dan calon aparatur penyelenggara pemerintahan di seluruh sektor, maka di situ pula aktualisasi konsep Revolusi Mental harus diletakkan dalam konteks nation and character building (NCB). "Gerakan revolusi mental belum terlambat dan harus dimulai dari sekarang," pungkasnya.
"Jokowi belum mengelaborasi Revolusi Mental dan Nawa Cita dalam suatu perencanaan komprehensif," kata Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 13 April.
Menurut Fahri, sebagai jargon sakti yang selalu disuarakan dalam kampanye, Revolusi Mental dan Nawa Cita semestinya sudah masuk ke dalam perencanaan nasional. Namun, kedua hal itu belum terlihat nyata hingga hari ini.
"Mestinya di Menteri Negara Pembangunan Perencanaan Nasional (Meneg PPN), sudah ada. (Tapi) kita belum lihat itu," jelas Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP PKS itu.
Fahri berpandangan, Presiden Jokowi perlu menegaskan apakah Revolusi Mental itu masuk ke dalam visi pemerintahan, pondasi pemerintahan, program pemerintahan, dan bentuk implementasi lainnya dalam pemerintahan Jokowi ini.
"Jangan jadikan itu sekedar jargon. Harus ada batang tubuhnya dari Revolusi Mental, dan Nawa Cita," terang Fahri.
Adapun wacana Mendagri yang hendak mengimplementasikan Revolusi Mental di IPDN, Fahri menilai, IPDN itu birokrat teknis. Semestinya Revolusi Mental dimasukkan ke dalam suatu proposal yang solid, kemudian diturunkan dalam bentuk kebijakan dan juga anggaran.
Lebih dari itu, Fahri menambahkan, pada dasarnya implementasi Revolusi Mental dan Nawa Cita ini sangat ditunggu. Semestinya ide ini diramu oleh Menteri PPN, bukan Mnedagri. Sehingga, Revolusi Mental dan Nawa Cita akan tergambar dalam setiap departemen.
"Saya mengamati dari apa yang berkembang belum ada. Seharusnya Menteri PPN," tandas Fahri.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo hendak memasukkan ruh Revolusi Mental dalam kementeriannya dengan cara memasukan ajaran Revolusi Mental dalam birokrasi sejak di pendidikan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). "Revolusi Mental dimulai dari masa pendidikan dan IPDN harus mampu melahirkan Praja pelopor Revolusi Mental yang secara kualitas siap menjadi teladan di lingkungan sosial, keluarga, dan kerja di masing-masing instansi," kata Tjahjo dalam siaran persnya kemarin.
Tjahjo juga menjelaskan, pendidikan Revolusi Mental dalam IPDN ini mencakup sejumlah perubahan yang mendasar, cepat, dan berkesinambungan. Dasar-dasar ini dibagi ke dalam tiga segmen perubahan.
"Segmen satu dalam rekruitmen calon praja, segmen dua dalam pengajaran, pelatihan, dan pengasuhan (Jarlatsuh), dan segmen tiga dalam konsolidasi alumni. Seluruh proses harus dapat diawali pada tahun 2015 ini di seluruh kampus IPDN," terangnya.
Menurut Tjahjo, sebagai praja dan calon aparatur penyelenggara pemerintahan di seluruh sektor, maka di situ pula aktualisasi konsep Revolusi Mental harus diletakkan dalam konteks nation and character building (NCB). "Gerakan revolusi mental belum terlambat dan harus dimulai dari sekarang," pungkasnya.
(hyk)