Satu Tangan Memulai, Tangan Lain Meneruskan
A
A
A
Shei memberikan kasih sayang yang tulus serta pembelajaran kepada anak jalanan melalui berbagai kreativitas seperti mendongeng, bermain, sampai menyediakan rumah singgah buat anak-anak tersebut.
Lewat komunitas Save Street Child (SSC), Shei mengajak orang-orang yang memiliki kepedulian sosial untuk bergabung. “Saya mencoba membuat gerakan peduli pendidikan anak jalanan. Tidak ada alasan khusus untuk nama komunitas itu. Hanya untuk mempermudah branding,” ungkapnya.
Sejak awal SSC berdiri Shei mulai menyebarkan informasi mengenai komunitas ini melalui media sosial, yaitu Twitter dengan akun @savestreetchild. Pada 23 Mei 2011, gerakan ini berkembang menjadi sebuah organisasi independen untuk mempersiapkan anakanak marginal. Hal itu dilakukan demi memudahkan mereka mendapatkan akses pendidikan alternatif.
“Dengan demikian, mereka bisa menjadi generasi penerus bangsa karena mendapatkan bekal pendidikan yang memadai. Menurut saya, tugas manusia terdidik adalah mendidik manusia lain. Itulah yang menjadi salah satu tujuan SSC didirikan, agar juga menjadi wadah kaum muda saling berbagi,” tutur Shei. SSC mengelola kelas-kelas belajar gratis yang dijalankan oleh tim pengajar yang berdedikasi dan memiliki kepekaan dalam mendidik anak-anak dari kelompok marginal.
Shei menjelaskan, kelas-kelas tersebut telah melalui berbagai mekanisme seperti survei, pendekatan terhadap warga sekitar, dan perencanaan kecil sebelum akhirnya berjalan sebagai pusat belajar-mengajar. Tim pengajar juga telah dibekali pelatihan sederhana tentang karakteristik anak-anak serta cara mengajar yang berasaskan pertemanan, bukan hegemoni, sehingga peserta dapat belajar dengan nyaman dan berekspresi sesuai bakat mereka.
Dalam menjalankan SSC, Shei mendapatkan respons yang baik dari berbagai kalangan. Pekerja profesional, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga banyak yang bersedia bergabung dengan SSC. “Bersama mereka saya berdiskusi dan saling berbagi pendapat mengenai aktivitas kami serta program yang cocok untuk merangkul anak-anak jalanan dalam rangka memberikan akses pendidikan kepada mereka,” ujarnya.
Sejauh ini SSC sudah ada di 18 kota yang tersebar di Indonesia, di antaranya Jakarta, Depok, Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Jember, Blitar, Malang, Surabaya, Madura, Makassar, Medan, Lampung, Padang, Pasuruan, dan Batam. Menurut Shei, masing-masing wilayah memiliki program atau penggalangan dana sendiri sesuai dengan kebutuhan di wilayah mereka.
“Semua berawal dari media sosial seperti Twitter, kemudian menjadi gerakan yang masif. Hingga akhirnya teman-teman yang berada di daerah menawarkan diri untuk membuat gerakan serupa di tempat tinggal atau daerah mereka masing-masing,” katanya. Shei mengatakan, hanya bisa memulai dan tetap butuh yang lain untuk melanjutkan. Sebab, Shei yakin masih banyak pemuda di Indonesia yang memiliki dedikasi tinggi untuk saling berbagi.
“Saya coba menggagas program relawan pengajar dengan nama Pengajar Keren. Maksud saya membuat program ini adalah, agar pendidikan di kelas-kelas bisa berkesinambungan, kemudian saya buat per-batch bersama teman-teman,” tuturnya. Hanya, untuk bergabung sebagai Pengajar Keren, Shei membuat prosedur pendaftaran. Sebab, ia tidak menginginkanprograminigagal. Sehingga, dari proses itu dapat terlihat keseriusan mereka yang ingin bergabung dengan SSC.
Batch pertama Pengajar Keren dimulai pada akhir tahun 2011, yang resmi membuka kelas di Penjaringan, Jakarta Utara. Bahkan di tahun yang sama, penyaringan relawan Pengajar Keren dilakukan hingga tiga kali. “Dari sana mulailah kami menambah kelas-kelas belajar di Jabodetabek. Pernah juga kami membuka kelas di daerah Cawang, tetapi kelas tersebut harus kami bubarkan karena dirusak preman,” pungkasnya.
Robi ardianto/ dina angelina
Lewat komunitas Save Street Child (SSC), Shei mengajak orang-orang yang memiliki kepedulian sosial untuk bergabung. “Saya mencoba membuat gerakan peduli pendidikan anak jalanan. Tidak ada alasan khusus untuk nama komunitas itu. Hanya untuk mempermudah branding,” ungkapnya.
Sejak awal SSC berdiri Shei mulai menyebarkan informasi mengenai komunitas ini melalui media sosial, yaitu Twitter dengan akun @savestreetchild. Pada 23 Mei 2011, gerakan ini berkembang menjadi sebuah organisasi independen untuk mempersiapkan anakanak marginal. Hal itu dilakukan demi memudahkan mereka mendapatkan akses pendidikan alternatif.
“Dengan demikian, mereka bisa menjadi generasi penerus bangsa karena mendapatkan bekal pendidikan yang memadai. Menurut saya, tugas manusia terdidik adalah mendidik manusia lain. Itulah yang menjadi salah satu tujuan SSC didirikan, agar juga menjadi wadah kaum muda saling berbagi,” tutur Shei. SSC mengelola kelas-kelas belajar gratis yang dijalankan oleh tim pengajar yang berdedikasi dan memiliki kepekaan dalam mendidik anak-anak dari kelompok marginal.
Shei menjelaskan, kelas-kelas tersebut telah melalui berbagai mekanisme seperti survei, pendekatan terhadap warga sekitar, dan perencanaan kecil sebelum akhirnya berjalan sebagai pusat belajar-mengajar. Tim pengajar juga telah dibekali pelatihan sederhana tentang karakteristik anak-anak serta cara mengajar yang berasaskan pertemanan, bukan hegemoni, sehingga peserta dapat belajar dengan nyaman dan berekspresi sesuai bakat mereka.
Dalam menjalankan SSC, Shei mendapatkan respons yang baik dari berbagai kalangan. Pekerja profesional, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga banyak yang bersedia bergabung dengan SSC. “Bersama mereka saya berdiskusi dan saling berbagi pendapat mengenai aktivitas kami serta program yang cocok untuk merangkul anak-anak jalanan dalam rangka memberikan akses pendidikan kepada mereka,” ujarnya.
Sejauh ini SSC sudah ada di 18 kota yang tersebar di Indonesia, di antaranya Jakarta, Depok, Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Jember, Blitar, Malang, Surabaya, Madura, Makassar, Medan, Lampung, Padang, Pasuruan, dan Batam. Menurut Shei, masing-masing wilayah memiliki program atau penggalangan dana sendiri sesuai dengan kebutuhan di wilayah mereka.
“Semua berawal dari media sosial seperti Twitter, kemudian menjadi gerakan yang masif. Hingga akhirnya teman-teman yang berada di daerah menawarkan diri untuk membuat gerakan serupa di tempat tinggal atau daerah mereka masing-masing,” katanya. Shei mengatakan, hanya bisa memulai dan tetap butuh yang lain untuk melanjutkan. Sebab, Shei yakin masih banyak pemuda di Indonesia yang memiliki dedikasi tinggi untuk saling berbagi.
“Saya coba menggagas program relawan pengajar dengan nama Pengajar Keren. Maksud saya membuat program ini adalah, agar pendidikan di kelas-kelas bisa berkesinambungan, kemudian saya buat per-batch bersama teman-teman,” tuturnya. Hanya, untuk bergabung sebagai Pengajar Keren, Shei membuat prosedur pendaftaran. Sebab, ia tidak menginginkanprograminigagal. Sehingga, dari proses itu dapat terlihat keseriusan mereka yang ingin bergabung dengan SSC.
Batch pertama Pengajar Keren dimulai pada akhir tahun 2011, yang resmi membuka kelas di Penjaringan, Jakarta Utara. Bahkan di tahun yang sama, penyaringan relawan Pengajar Keren dilakukan hingga tiga kali. “Dari sana mulailah kami menambah kelas-kelas belajar di Jabodetabek. Pernah juga kami membuka kelas di daerah Cawang, tetapi kelas tersebut harus kami bubarkan karena dirusak preman,” pungkasnya.
Robi ardianto/ dina angelina
(ars)