Jokowi Perlu Rombak Kabinet
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu mempertimbangkan melakukan perombakan kabinet (reshuffle ) untuk menata sinergitas kabinet.
Di sisi lain, reshuffle diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah yang jauh di bawah standar kepuasan. Perlunya reshuffle disampaikan pakar komunikasi politik Universitas Mercu Buana Heri Budianto dan Direktur Indo Barometer M Qodari.
Mereka mengingatkan rakyat menunggu pemerintahan bisa berjalan seperti diharapkan. ”Jika memang menteri-menteri tidak menjalankan instruksi presiden, lalu berjalan sendiri, patut menteri tersebut diganti dan presiden melakukan reshuffle ,” kata Heri Budianto ketika dihubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin malam.
Heri menekankan perlunya reshuffle berangkat dari kasus keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) 39/2015 tentang Tunjangan Bantuan Pembelian Mobil Pejabat Negara. Menurut dia, kasus tersebut semakin membuktikan bahwa koordinasi antara Presiden Jokowi dan para pembantunya sangat lemah.
Menteri-menteri Jokowi terkesan berjalan sendiri dalam sejumlah kebijakan strategis, sehingga Jokowi perlu merombak kabinetnya. Dia juga menandaskan, sebagai presiden, Jokowi semestinya lebih teliti dalam mengambil kebijakan dan mencerna setiap kebijakan yang diusulkan dari kementerian yang merupakan pembantunya.
Perlu dipertanyakan juga, apakah kebijakan yang diteken presiden tersebut karena presiden kurang teliti atau menteri yang tidak berkomunikasi dengan presiden. ”Nah , jika yang kedua maka bisa dikatakan bahwa menteri demikian jalan sendiri dan lemah koordinasi pada presiden,” ujar Direktur Eksekutif PolcoMM Institute itu.
Qodari melihat, berangkat dari konteks ekonomi dan politik saat ini, merupakan suatu yang layak dijalankan. Dia pun menunjuk hasil survei Indo Barometer yang memperlihatkan kepuasan masyarakat begitu menurun terhadap pemerintah, padahal pemerintahan baru berjalan enam bulan pertama.
”Kalau pertimbangannya kepentingan rakyat harusnya ada perubahan yang cepat, dengan hasil survei yang begitu mesti ada yang salah dengan pemerintahan sekarang,” ujarnya kemarin saat dihubungi KORAN SINDO .
Qodari juga menyoroti masalah komunikasi antara para menteri dan kepala negara yang terlihat tidak sinkron. Menurut dia, Jokowi mengunggulkan filosofi kemandirian, tapi tidak sesuai dengan kebijakan yang diambil para menterinya. ”Banyak masyarakat menanyakan ke mana larinya uang fiskal dari pengalihan subsidi, ini belum jelas. Belum lagi dengan perubahanperubahan program di setiap kementerian,” tandasnya.
Seperti diketahui, persoalan komunikasi pemerintahan Jokowi kembali mengemuka. Ini terkait dengan pernyataan mantan wali kota Solo tersebut yang mengaku tidak mengetahui sepenuhnya tentang Perpres No 39/2015 yang ditandatangani Presiden Jokowi dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Di sisi lain, Indo Barometer dalam surveinya juga menemukan tingkat kepuasan publik terhadap presiden, wakil presiden jauh di bawah angkat standar yaitu 75%, yakni masing-masing hanya 57,5% dan 53,3%. Begitu pula tingkat kepuasan terhadap kinerja para menteri secara keseluruhan sangat rendah, yakni hanya 46,8%.
Sementara itu, isu reshuffle kembali bergulir. Isu ini muncul terkait dengan pertemuan para ketua umum partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan Jokowi, Minggu malam lalu (5/4). Pertemuan itu sendiri digelar setelah membaiknya hubungan KIH dengan Jokowi pascapolemik calon kapolri.
Hanya, terkait isu itu, para elite KIH enggan memberikan konfirmasi. Mereka berkilah bahwa reshuffle kabinet sepenuhnya merupakan hak prerogatif presiden. Sekjen DPP Partai NasDem Rio Patrice Capella, misalnya, secara diplomatis mengatakan bahwa pertemuan itu hanyalah pertemuan rutin antara presiden dan para ketua umum partai pengusung.
Menurut dia, kalaupun membahas isu strategis, itu hanya membicarakan perihal pencalonan Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai kapolri, di mana keesokan harinya Presiden menghadiri rapat konsultasi dengan pimpinan DPR.
Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) M Romahurmuziy juga hanya menyebut pertemuan membicarakan pencalonan Badrodin Haiti. ”Sebagai partai pengusung, kita selalu membicarakan kebijakan penting. Pertemuan Minggu malam kemarin dilakukan salah satunya pokok bahasannya adalah agar Pak Badrodin bisa segera menjalani fit dan proper dan mendapat pelantikan sesudahnya,” kata Romahurmuziy.
Politikus PDIP Masinton Pasaribu yang dikonfirmasi desakan reshuffle mengatakan bahwa hal tersebut merupakan hak prerogatif presiden, dan PDIP akan menghormati. Namun, dia mengaku monitoring yang dilakukan PDIP sebagai partai pendukung pemerintah juga menemukan adanya menteri yang berkinerja buruk. Bahkan, lanjut dia, ada menteri-menteri Jokowi yang kewenangannya melampaui posisinya sebagai menteri.
”Menteri BUMN, Seskab, kemarin juga mengakui kelalaian. Lalu, kewenangan di staf kepresidenan juga kewenangan tidak boleh melampaui menteri. Dia (Luhut Panjaitan) bukan menko,” tegasnya.
Kiswondari / Rahmat sahid/ Mula akmal
Di sisi lain, reshuffle diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah yang jauh di bawah standar kepuasan. Perlunya reshuffle disampaikan pakar komunikasi politik Universitas Mercu Buana Heri Budianto dan Direktur Indo Barometer M Qodari.
Mereka mengingatkan rakyat menunggu pemerintahan bisa berjalan seperti diharapkan. ”Jika memang menteri-menteri tidak menjalankan instruksi presiden, lalu berjalan sendiri, patut menteri tersebut diganti dan presiden melakukan reshuffle ,” kata Heri Budianto ketika dihubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin malam.
Heri menekankan perlunya reshuffle berangkat dari kasus keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) 39/2015 tentang Tunjangan Bantuan Pembelian Mobil Pejabat Negara. Menurut dia, kasus tersebut semakin membuktikan bahwa koordinasi antara Presiden Jokowi dan para pembantunya sangat lemah.
Menteri-menteri Jokowi terkesan berjalan sendiri dalam sejumlah kebijakan strategis, sehingga Jokowi perlu merombak kabinetnya. Dia juga menandaskan, sebagai presiden, Jokowi semestinya lebih teliti dalam mengambil kebijakan dan mencerna setiap kebijakan yang diusulkan dari kementerian yang merupakan pembantunya.
Perlu dipertanyakan juga, apakah kebijakan yang diteken presiden tersebut karena presiden kurang teliti atau menteri yang tidak berkomunikasi dengan presiden. ”Nah , jika yang kedua maka bisa dikatakan bahwa menteri demikian jalan sendiri dan lemah koordinasi pada presiden,” ujar Direktur Eksekutif PolcoMM Institute itu.
Qodari melihat, berangkat dari konteks ekonomi dan politik saat ini, merupakan suatu yang layak dijalankan. Dia pun menunjuk hasil survei Indo Barometer yang memperlihatkan kepuasan masyarakat begitu menurun terhadap pemerintah, padahal pemerintahan baru berjalan enam bulan pertama.
”Kalau pertimbangannya kepentingan rakyat harusnya ada perubahan yang cepat, dengan hasil survei yang begitu mesti ada yang salah dengan pemerintahan sekarang,” ujarnya kemarin saat dihubungi KORAN SINDO .
Qodari juga menyoroti masalah komunikasi antara para menteri dan kepala negara yang terlihat tidak sinkron. Menurut dia, Jokowi mengunggulkan filosofi kemandirian, tapi tidak sesuai dengan kebijakan yang diambil para menterinya. ”Banyak masyarakat menanyakan ke mana larinya uang fiskal dari pengalihan subsidi, ini belum jelas. Belum lagi dengan perubahanperubahan program di setiap kementerian,” tandasnya.
Seperti diketahui, persoalan komunikasi pemerintahan Jokowi kembali mengemuka. Ini terkait dengan pernyataan mantan wali kota Solo tersebut yang mengaku tidak mengetahui sepenuhnya tentang Perpres No 39/2015 yang ditandatangani Presiden Jokowi dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Di sisi lain, Indo Barometer dalam surveinya juga menemukan tingkat kepuasan publik terhadap presiden, wakil presiden jauh di bawah angkat standar yaitu 75%, yakni masing-masing hanya 57,5% dan 53,3%. Begitu pula tingkat kepuasan terhadap kinerja para menteri secara keseluruhan sangat rendah, yakni hanya 46,8%.
Sementara itu, isu reshuffle kembali bergulir. Isu ini muncul terkait dengan pertemuan para ketua umum partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan Jokowi, Minggu malam lalu (5/4). Pertemuan itu sendiri digelar setelah membaiknya hubungan KIH dengan Jokowi pascapolemik calon kapolri.
Hanya, terkait isu itu, para elite KIH enggan memberikan konfirmasi. Mereka berkilah bahwa reshuffle kabinet sepenuhnya merupakan hak prerogatif presiden. Sekjen DPP Partai NasDem Rio Patrice Capella, misalnya, secara diplomatis mengatakan bahwa pertemuan itu hanyalah pertemuan rutin antara presiden dan para ketua umum partai pengusung.
Menurut dia, kalaupun membahas isu strategis, itu hanya membicarakan perihal pencalonan Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai kapolri, di mana keesokan harinya Presiden menghadiri rapat konsultasi dengan pimpinan DPR.
Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) M Romahurmuziy juga hanya menyebut pertemuan membicarakan pencalonan Badrodin Haiti. ”Sebagai partai pengusung, kita selalu membicarakan kebijakan penting. Pertemuan Minggu malam kemarin dilakukan salah satunya pokok bahasannya adalah agar Pak Badrodin bisa segera menjalani fit dan proper dan mendapat pelantikan sesudahnya,” kata Romahurmuziy.
Politikus PDIP Masinton Pasaribu yang dikonfirmasi desakan reshuffle mengatakan bahwa hal tersebut merupakan hak prerogatif presiden, dan PDIP akan menghormati. Namun, dia mengaku monitoring yang dilakukan PDIP sebagai partai pendukung pemerintah juga menemukan adanya menteri yang berkinerja buruk. Bahkan, lanjut dia, ada menteri-menteri Jokowi yang kewenangannya melampaui posisinya sebagai menteri.
”Menteri BUMN, Seskab, kemarin juga mengakui kelalaian. Lalu, kewenangan di staf kepresidenan juga kewenangan tidak boleh melampaui menteri. Dia (Luhut Panjaitan) bukan menko,” tegasnya.
Kiswondari / Rahmat sahid/ Mula akmal
(ftr)