Jokowi Salahkan Menteri
A
A
A
JAKARTA - Kontroversi kenaikan tunjangan uang muka pembelian mobil pejabat negara terus bergulir. Setelah ditentang banyak kalangan, kemarin Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya angkat bicara soal kebijakan tersebut.
Presiden mengaku tidak sepenuhnya tahu mengenai kenaikan tunjangan uang muka pembelian mobil pejabat negara. Dia justru menyayangkan kementerian yang seharusnya bisa menyeleksi suatu usulan anggaran.
“Tidak semua hal itu saya ketahui 100%. Artinya, hal-hal seperti itu harusnya di kementerian. Kementerian men-screening apakah itu berakibat baik atau tidak baik untuk negara ini,” ujar Jokowi di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, kemarin.
Presiden mengaku setiap hari harus menandatangani berkas yang sangat banyak. Tidak mungkin dia mengecek satu per satu berkas, apalagi jika telah ditandatangani lima hingga sepuluh orang. “”Berarti enggak usah ada administrator lain dong kalau Presiden masih ngecekin satu-satu,” katanya.
Presiden Jokowi pada 20 Maret 2015 menandatangani Peraturan Presiden(Perpres) Nomor 39/2015 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 68/2010 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan. Dalam revisi ini, pemerintah mengubah Pasal 3 ayat 1, yaitu fasilitas uang muka senilai Rp116,65 juta naik menjadi Rp210,890 juta per orang.
Perpres itu banyak menuai kritik lantaran pemerintah dianggap tidak sensitif di tengah kondisi rakyat yang kesulitan. Sejumlah anggota DPR menyatakan tidak tepat jika kebijakan tersebut diterapkan sekarang. Presiden membantah kecolongan soal kenaikan tunjangan uang muka mobil para pejabat negara.
Namun,dia berharap ke depan kebijakan yang menyangkut uang negara semestinya disampaikan dalam rapat terbatas. Jokowi mengakui, kebijakan menaikkan uang muka pembelian mobil pejabat bukan keputusan yang baik saat ini. Karena itu, dia akan melihat lagi kebijakan tersebut. “Pertama, karena kondisi ekonomi. Kedua, dari sisi keadilan. Ketiga, sisi BBM,” ujarnya.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan meminta pemerintah membatalkan kebijakan menaikkan tunjangan mobil para pejabat. Kenaikan tunjangan uang muka mobil pejabat mengganggu rasa keadilan masyarakat yang tengah dilanda kesulitan.
Pemerintah seharusnya melihat kesulitan yang dialami masyarakat, terutama dengan tidak terkendalinya harga berbagai bahan kebutuhan pokok seperti beras. “Di tengah masyarakat yang terimpit luar biasa akibat melambungnya harga bahan kebutuhan pokok ini, subsidi untuk pejabat malah dinaikkan sampai sekitar Rp200 juta. Tentu itu mengganggu rasa keadilan,” katanya.
Permintaan DPR
Sementara itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan- RB) Yuddy Chrisnandi menjelaskan, penerbitan Perpres Nomor 39/2015 merupakan tindak lanjut dari permintaan DPR.
Surat Ketua DPR Nomor AG/00026/DPR RI/I/2015 tanggal 5 Januari 2015 meminta revisi besaran tunjangan uang muka bagi pejabat negara dan lembaga negara untuk pembelian kendaraan perorangan. “Dengan alasan meningkatnya harga kendaraan dan dalam rangka penyesuaian kendaraan dinas bagi pejabat negara,” ujar Yuddy.
Pejabat negara itu meliputi DPR, DPD, MA, MK, BPK, danKY. Menurut Yuddy, perpres yang dibuat Presiden merupakan hal normatif dalam kapasitasnya sebagai kepala negara. Hal ini sebagaimana berlaku juga dalam pengangkatan pejabat negara yang dipilih melalui mekanisme di DPR yang kemudian ditetapkan oleh Presiden.
“Terbitnya peraturan presiden tersebut berawal dari permintaan DPR. Bapak Presiden selaku kepala negara tentu harus menghormatinya. Duduk persoalannya seperti itu,” katanya. Dia tidak menampik kebijakan tersebut menuai kritik dari masyarakat di tengah adanya kenaikan harga BBM dan bahan kebutuhan pokok.
Baginya, respons publik yang sangat dinamis terhadap rencana pemberian fasilitas uang muka kendaraan perorangan pejabat negara menjadi bukti tingginya kepedulian publik terhadap pentingnya efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan. “Itu bagian dari feedback atas kebijakan publik yang harus diperhatikan,” ujarnya
Dari sisi pemerintah, untuk menjamin efisiensi anggaran belanja negara, pelaksanaan kebijakan tersebut akan dilakukan secara selektif. Nantinya akan diberlakukan syarat yang ketat dalam teknis pelaksanaannya. “Pejabat negara yang menerima fasilitas uang muka adalah yang benar-benar memenuhi persyaratan. Semua harus berpegangan pada prinsip efisiensi,” ujarnya.
Yuddy menegaskan, keputusan Presiden menyetujui usulan tersebut dengan pertimbangan lebih hemat daripada mengganti seluruh kendaraan dinas pejabat negara yang jumlahnya cukup banyak. “Nilai pemberian fasilitas uang muka kendaraan tersebut sudah melalui pengkajian di Kementerian Keuangan berdasarkan prinsip pengelolaan keuangan negara,” paparnya.
Yuddy meminta agar masyarakat menyikapi dan merespons persoalan ini secara proporsional dalam koridor tata pemerintahan yang baik. Bahwa selain efisiensi, hal lain yang harus diperhatikan adalah efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. “Sepanjang pemberian fasilitas kepada pejabat negara tersebut akuntabel dan benarbenar untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan tugas, tentu harus disikapi secara bijak dan proporsional,” katanya.
Manajer Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi mengkritik langkah Presiden Jokowi yang menaikkan uang muka pembelian mobil pribadi para pejabat.
Pasalnya, belum genap setahun menjabat, mulai terungkap keberpihakan Jokowi dan Jusuf Kalla (JK) terhadap birokrat terkait penggunaan anggaran negara. Jokowi-JK dianggap tidak prorakyat. “Jokowi sudah bergeser, dari sebelumnya yang memprioritaskan rakyat, kini menjadi probirokrat,” ujar Apung.
Dalam pandangannya, terdapat modus balas budi yang dilakukan Jokowi kepada para politisi di parlemen dan pejabat negara agar mereka tidak memiliki pandangan berseberangan. Di balik itu, terdapat pula potensi korupsi dalam pemberian uang muka mobil pejabat tersebut.
“Potensi korupsi tentu saja ada karena dana ini langsung diserahkan, bukan melalui tender, jadi tidak akan ada audit,” ujarnya.
Dita angga/Sindonews/ Okezone/MNCTV
Presiden mengaku tidak sepenuhnya tahu mengenai kenaikan tunjangan uang muka pembelian mobil pejabat negara. Dia justru menyayangkan kementerian yang seharusnya bisa menyeleksi suatu usulan anggaran.
“Tidak semua hal itu saya ketahui 100%. Artinya, hal-hal seperti itu harusnya di kementerian. Kementerian men-screening apakah itu berakibat baik atau tidak baik untuk negara ini,” ujar Jokowi di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, kemarin.
Presiden mengaku setiap hari harus menandatangani berkas yang sangat banyak. Tidak mungkin dia mengecek satu per satu berkas, apalagi jika telah ditandatangani lima hingga sepuluh orang. “”Berarti enggak usah ada administrator lain dong kalau Presiden masih ngecekin satu-satu,” katanya.
Presiden Jokowi pada 20 Maret 2015 menandatangani Peraturan Presiden(Perpres) Nomor 39/2015 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 68/2010 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan. Dalam revisi ini, pemerintah mengubah Pasal 3 ayat 1, yaitu fasilitas uang muka senilai Rp116,65 juta naik menjadi Rp210,890 juta per orang.
Perpres itu banyak menuai kritik lantaran pemerintah dianggap tidak sensitif di tengah kondisi rakyat yang kesulitan. Sejumlah anggota DPR menyatakan tidak tepat jika kebijakan tersebut diterapkan sekarang. Presiden membantah kecolongan soal kenaikan tunjangan uang muka mobil para pejabat negara.
Namun,dia berharap ke depan kebijakan yang menyangkut uang negara semestinya disampaikan dalam rapat terbatas. Jokowi mengakui, kebijakan menaikkan uang muka pembelian mobil pejabat bukan keputusan yang baik saat ini. Karena itu, dia akan melihat lagi kebijakan tersebut. “Pertama, karena kondisi ekonomi. Kedua, dari sisi keadilan. Ketiga, sisi BBM,” ujarnya.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan meminta pemerintah membatalkan kebijakan menaikkan tunjangan mobil para pejabat. Kenaikan tunjangan uang muka mobil pejabat mengganggu rasa keadilan masyarakat yang tengah dilanda kesulitan.
Pemerintah seharusnya melihat kesulitan yang dialami masyarakat, terutama dengan tidak terkendalinya harga berbagai bahan kebutuhan pokok seperti beras. “Di tengah masyarakat yang terimpit luar biasa akibat melambungnya harga bahan kebutuhan pokok ini, subsidi untuk pejabat malah dinaikkan sampai sekitar Rp200 juta. Tentu itu mengganggu rasa keadilan,” katanya.
Permintaan DPR
Sementara itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan- RB) Yuddy Chrisnandi menjelaskan, penerbitan Perpres Nomor 39/2015 merupakan tindak lanjut dari permintaan DPR.
Surat Ketua DPR Nomor AG/00026/DPR RI/I/2015 tanggal 5 Januari 2015 meminta revisi besaran tunjangan uang muka bagi pejabat negara dan lembaga negara untuk pembelian kendaraan perorangan. “Dengan alasan meningkatnya harga kendaraan dan dalam rangka penyesuaian kendaraan dinas bagi pejabat negara,” ujar Yuddy.
Pejabat negara itu meliputi DPR, DPD, MA, MK, BPK, danKY. Menurut Yuddy, perpres yang dibuat Presiden merupakan hal normatif dalam kapasitasnya sebagai kepala negara. Hal ini sebagaimana berlaku juga dalam pengangkatan pejabat negara yang dipilih melalui mekanisme di DPR yang kemudian ditetapkan oleh Presiden.
“Terbitnya peraturan presiden tersebut berawal dari permintaan DPR. Bapak Presiden selaku kepala negara tentu harus menghormatinya. Duduk persoalannya seperti itu,” katanya. Dia tidak menampik kebijakan tersebut menuai kritik dari masyarakat di tengah adanya kenaikan harga BBM dan bahan kebutuhan pokok.
Baginya, respons publik yang sangat dinamis terhadap rencana pemberian fasilitas uang muka kendaraan perorangan pejabat negara menjadi bukti tingginya kepedulian publik terhadap pentingnya efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan. “Itu bagian dari feedback atas kebijakan publik yang harus diperhatikan,” ujarnya
Dari sisi pemerintah, untuk menjamin efisiensi anggaran belanja negara, pelaksanaan kebijakan tersebut akan dilakukan secara selektif. Nantinya akan diberlakukan syarat yang ketat dalam teknis pelaksanaannya. “Pejabat negara yang menerima fasilitas uang muka adalah yang benar-benar memenuhi persyaratan. Semua harus berpegangan pada prinsip efisiensi,” ujarnya.
Yuddy menegaskan, keputusan Presiden menyetujui usulan tersebut dengan pertimbangan lebih hemat daripada mengganti seluruh kendaraan dinas pejabat negara yang jumlahnya cukup banyak. “Nilai pemberian fasilitas uang muka kendaraan tersebut sudah melalui pengkajian di Kementerian Keuangan berdasarkan prinsip pengelolaan keuangan negara,” paparnya.
Yuddy meminta agar masyarakat menyikapi dan merespons persoalan ini secara proporsional dalam koridor tata pemerintahan yang baik. Bahwa selain efisiensi, hal lain yang harus diperhatikan adalah efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. “Sepanjang pemberian fasilitas kepada pejabat negara tersebut akuntabel dan benarbenar untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan tugas, tentu harus disikapi secara bijak dan proporsional,” katanya.
Manajer Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi mengkritik langkah Presiden Jokowi yang menaikkan uang muka pembelian mobil pribadi para pejabat.
Pasalnya, belum genap setahun menjabat, mulai terungkap keberpihakan Jokowi dan Jusuf Kalla (JK) terhadap birokrat terkait penggunaan anggaran negara. Jokowi-JK dianggap tidak prorakyat. “Jokowi sudah bergeser, dari sebelumnya yang memprioritaskan rakyat, kini menjadi probirokrat,” ujar Apung.
Dalam pandangannya, terdapat modus balas budi yang dilakukan Jokowi kepada para politisi di parlemen dan pejabat negara agar mereka tidak memiliki pandangan berseberangan. Di balik itu, terdapat pula potensi korupsi dalam pemberian uang muka mobil pejabat tersebut.
“Potensi korupsi tentu saja ada karena dana ini langsung diserahkan, bukan melalui tender, jadi tidak akan ada audit,” ujarnya.
Dita angga/Sindonews/ Okezone/MNCTV
(ftr)