Maksimalkan Hidup untuk Berbagi
A
A
A
Banyak cara untuk berbagi kebahagiaan dengan sesama, salah satunya yaitu turut serta dalam komunitas. Dari pengalaman membantu sesama manusia, terutama yang sedang terkena musibah, membuat Rindu Ade banyak mendapatkan pelajaran hidup.
Penulis buku inspirasi Perempuan Pencari Tuhanini sehari-hari sibuk dengan kegiatan sosial bersama lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap, Sekolah Menulis, Inspirator Akademi, Akademi Trainer, dan masih banyak lagi. Apa yang membuat mantan direktur keuangan di sebuah perusahaan multinasional ini memilih untuk mengabdikan diri pada masyarakat? Berikut kutipan wawancara KORAN SINDO dengan perempuan asal Aceh ini.
Sebelum menjadi penulis, apa kegiatan Anda?
Sekitar enam bulan yang lalu saya baru saja mengundurkan diri dari profesi sebagai finance directordi salah satu perusahaan besar. Dalam beberapa waktu terakhir saya merasa bukan pekerjaan ini yang saya cari. Saya merasa, banyak waktu yang tercurah hanya untuk pekerjaan. Sedangkan, waktu saya untuk saling membantu dengan orang lain tidak ada. Bahkan ketika bekerja, waktu untuk beribadah pun masih terganggu. Akhirnya, dengan bekal tabungan yang cukup, saya yakin untuk mengundurkan diri dari pekerjaan itu. Kemudian mewakafkan diri saya untuk orang lain.
Bagaimana ketertarikan menjadi relawan itu muncul?
Saya pernah studi di luar negeri, kemudian saya juga magang di PBB. Saat itu saya punya kesempatan untuk datang ke berbagai negara yang mendapat musibah. Sisi kemanusiaan saya mulai terusik. Saya merasa sepertinya ada yang harus saya berikan untuk orang lain. Sesuai dengan hadis nabi, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat. Sebelum resign, saya sudah mulai melakukan aktivitas sosial. Saya bekerja sama dengan Rumah Sakit Dharmais, di sana saya mengajar anak-anak penderita kanker di bawah 10 tahun. Saya datang awalnya hanya untuk menghibur mereka.
Bagaimana kegiatan sosial yang Anda lakukan selama ini?
Selain rutin mengunjungi anakanak penderita kanker, saya juga mengajar anak-anak jalanan di Bantar Gebang dan ikut berpartisipasi di Rumah Menulis yang terletak di Manggarai. Saya mengajar bahasa Inggris setiap hari Minggu. Biasanya, saya sambil bawa mainan dan makanan agar mereka tertarik untuk berkumpul dan belajar bersama. Tetapi, saya memang lebih suka menjadi relawan di beberapa yayasan. Jadi, tidak terikat dengan lembaga tertentu. Kemudian, berkerja sama dengan beberapa komunitas seperti Akademi Trainer, Inspirator Academy, dan Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Apa itu Aksi Cepat Tanggap dan sejak kapan berdiri?
Aksi Cepat tanggap (ACT) berawal dari komunitas yang concernuntuk membantu tragedi bencana. Puncaknya yaitu ketika terjadi bencana tsunami di Aceh. Resmi terbentuk 21 April 2005, tetapi sebelum itu sudah ada gerakan kerelawanan. Sekarang ACT sudah berbentuk sebuah lembaga kemanusiaan.
Aktivitas ACT adalah melakukan segala hal terkait dengan aksi-aksi kemanusiaan, baik bencana sosial maupun bencana alam. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga bencana yang terjadi di dunia. Misalnya Somalia, Myanmar, dan yang terakhir gempa di China. Aksi kemanusiaan yang dilakukan pun terdapat beberapa fase, di antaranya fase emergencydan recovery.
Di luar bencana, tetap ada aktivitas yang dilakukan ACT yaitu pengembangan komunitas, contohnya mendirikan Bengkel Penanganan Bencana Terpadu. Kemudian ada proyek Bengkel Gizi Terpadu, Rumah Belajar Anak, dan lain-lain. Selain itu, ACT memiliki relawan di daerah yang terbentuk dengan nama Masyarakat Relawan Indonesia (MRI). Jadi, hanya ada beberapa relawan yang dikirim dari Jakarta, kemudian akan dibantu oleh relawan daerah lain untuk turun ke lokasi bencana.
Donasi yang didapatkan ACT berasal dari berbagai orang yang kemudian disalurkan kepada korban-korban bencana alam. Untuk membantu korban bencana alam yang terjadi di luar Indonesia, ACT memberikan bantuan berupa dana yang kemudian disalurkan kepada mitra NGO di luar negeri. Kemudian, NGO itu yang akan membantu menyalurkan bantuan sesuai kebutuhan para korban. Namun, tetap ada tim dari ACT yang akan mengontrol proses bantuan itu.
Saat ini kegiatan apa yang Anda lakukan bersama ACT?
Selain menjadi relawan untuk membantu korban-korban bencana alam, saya juga menjalankan proyek menulis buku. Ada misi menulis buku di daerah bencana, salah satunya ketika bencana longsor di Banjarnegara. Saya kumpulkan penulis muda sekitar 30 orang. Setelah itu saya bimbing dengan memberikan pelatihan bagaimana menulis secara sistematis.
Baru saja kemarin ACT beraksi membantu korban kebakaran di Tanah Abang, saya datang dan berusaha menjadi bagian dari mereka. Saya mencoba untuk membantu mereka keluar dari trauma bencana, sebab apa yang mereka dengar, lihat ketika bencana itu terekam. Saya membantu dengan cara bermain, membaca, menulis, menggambar, sampai mendongeng, bahkan tak jarang berteriak bersama.
Bagaimana titik terendah dalam hidup Anda?
Saya pernah melewati titik terendah dalam hidup yaitu ketika saya gagal menikah pada tahun 2010. Setelah semua persiapan pernikahan sudah dilakukan, kemudian saya mendapat musibah sakit. Sehingga, pernikahan itu dibatalkan. Memang tidak mudah menyembuhkan luka itu.
Akhirnya atas saran ayah, saya memutuskan untuk berhenti bekerja saat itu, dan masuk Pesantren Gontor di Ngawi untuk mencari suasana baru dan memulihkan jiwa. Keluar dari pesantren saya merasa kalau hidup saya di beberapa waktu lalu sangat tidak baik. Saat ini saya berkomitmen berubah dan mengisi keseharian untuk hal-hal yang positif. Salah satunya banyak membantu sesama di komunitas sosial.
Adakah kisah unik saat menjadi relawan?
Saya sering menghadapi teman-teman yang bisa menelepon kapan saja untuk curhat. Kemudian, saya juga pernah disuruh datang ke rumah sakit tengah malam untuk membantu anakanak kecil yang sakit itu tidur. Kisah mengharukan juga saya alami ketika ada seorang anak kecil menggambar piala. Ternyata, bagi anak itu, piala mempunyai arti kematian. Bagi mereka, kematian sudah bukan hal yang menakutkan, sudah seperti piala bergilir. Hari ini orang lain, bisa besok datang untuk menjemputnya, tinggal menunggu giliran saja.
Apa manfaat yang Anda rasakan setelah menjadi relawan?
Saya merasa bahagia ketika saya bisa membahagiakan dan membantu orang lain. Dengan cara itu, hidup saya terasa lebih dipermudah oleh Allah. Jadi, saya akan berusaha semaksimal mungkin ketika membantu orang lain.
Selama ini siapa yang memberikan dukungan kepada Anda?
Ayah saya adalah orang yang selalu memberikan dukungan kepada saya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana pengorbanan ayah yang sangat besar untuk saya. Ibu saya telah meninggal dunia saat melahirkan saya, sehingga ayah saya yang benar-benar membesarkan saya sampai saat ini. Bagaimana dia menjaga saya dari kecil, mulai dari saya belajar berjalan, membaca, dan lain-lain.
Kini apa prinsip dan tujuan hidup Anda?
Prinsip saya adalah hidup itu harus berakhir dengan bahagia. Kalau belum bahagia, berarti belum berakhir. Jadi, jangan sampai putus di tengah jalan atau misalnya bunuh diri karena patah hati. Janganlah menyiksa diri, sebab hati kita juga berhak untuk bahagia. Berbicara tentang tujuan hidup, sekarang saya ingin mewakafkan diri untuk orang lain. Dalam fase hidup saya sekarang, saya merasa uang bukan lagi tujuan utama. Dalam hidup, saya yakin bahwa kita ini diciptakan untuk membantu orang lain, dan mengeringkan air mata orang lain. Saya ingin bermanfaat untuk masyarakat lain. Saya ingin ketika saya meninggal, Tuhan dapat menyambut dengan bangga.
Dina Angelina
Penulis buku inspirasi Perempuan Pencari Tuhanini sehari-hari sibuk dengan kegiatan sosial bersama lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap, Sekolah Menulis, Inspirator Akademi, Akademi Trainer, dan masih banyak lagi. Apa yang membuat mantan direktur keuangan di sebuah perusahaan multinasional ini memilih untuk mengabdikan diri pada masyarakat? Berikut kutipan wawancara KORAN SINDO dengan perempuan asal Aceh ini.
Sebelum menjadi penulis, apa kegiatan Anda?
Sekitar enam bulan yang lalu saya baru saja mengundurkan diri dari profesi sebagai finance directordi salah satu perusahaan besar. Dalam beberapa waktu terakhir saya merasa bukan pekerjaan ini yang saya cari. Saya merasa, banyak waktu yang tercurah hanya untuk pekerjaan. Sedangkan, waktu saya untuk saling membantu dengan orang lain tidak ada. Bahkan ketika bekerja, waktu untuk beribadah pun masih terganggu. Akhirnya, dengan bekal tabungan yang cukup, saya yakin untuk mengundurkan diri dari pekerjaan itu. Kemudian mewakafkan diri saya untuk orang lain.
Bagaimana ketertarikan menjadi relawan itu muncul?
Saya pernah studi di luar negeri, kemudian saya juga magang di PBB. Saat itu saya punya kesempatan untuk datang ke berbagai negara yang mendapat musibah. Sisi kemanusiaan saya mulai terusik. Saya merasa sepertinya ada yang harus saya berikan untuk orang lain. Sesuai dengan hadis nabi, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat. Sebelum resign, saya sudah mulai melakukan aktivitas sosial. Saya bekerja sama dengan Rumah Sakit Dharmais, di sana saya mengajar anak-anak penderita kanker di bawah 10 tahun. Saya datang awalnya hanya untuk menghibur mereka.
Bagaimana kegiatan sosial yang Anda lakukan selama ini?
Selain rutin mengunjungi anakanak penderita kanker, saya juga mengajar anak-anak jalanan di Bantar Gebang dan ikut berpartisipasi di Rumah Menulis yang terletak di Manggarai. Saya mengajar bahasa Inggris setiap hari Minggu. Biasanya, saya sambil bawa mainan dan makanan agar mereka tertarik untuk berkumpul dan belajar bersama. Tetapi, saya memang lebih suka menjadi relawan di beberapa yayasan. Jadi, tidak terikat dengan lembaga tertentu. Kemudian, berkerja sama dengan beberapa komunitas seperti Akademi Trainer, Inspirator Academy, dan Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Apa itu Aksi Cepat Tanggap dan sejak kapan berdiri?
Aksi Cepat tanggap (ACT) berawal dari komunitas yang concernuntuk membantu tragedi bencana. Puncaknya yaitu ketika terjadi bencana tsunami di Aceh. Resmi terbentuk 21 April 2005, tetapi sebelum itu sudah ada gerakan kerelawanan. Sekarang ACT sudah berbentuk sebuah lembaga kemanusiaan.
Aktivitas ACT adalah melakukan segala hal terkait dengan aksi-aksi kemanusiaan, baik bencana sosial maupun bencana alam. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga bencana yang terjadi di dunia. Misalnya Somalia, Myanmar, dan yang terakhir gempa di China. Aksi kemanusiaan yang dilakukan pun terdapat beberapa fase, di antaranya fase emergencydan recovery.
Di luar bencana, tetap ada aktivitas yang dilakukan ACT yaitu pengembangan komunitas, contohnya mendirikan Bengkel Penanganan Bencana Terpadu. Kemudian ada proyek Bengkel Gizi Terpadu, Rumah Belajar Anak, dan lain-lain. Selain itu, ACT memiliki relawan di daerah yang terbentuk dengan nama Masyarakat Relawan Indonesia (MRI). Jadi, hanya ada beberapa relawan yang dikirim dari Jakarta, kemudian akan dibantu oleh relawan daerah lain untuk turun ke lokasi bencana.
Donasi yang didapatkan ACT berasal dari berbagai orang yang kemudian disalurkan kepada korban-korban bencana alam. Untuk membantu korban bencana alam yang terjadi di luar Indonesia, ACT memberikan bantuan berupa dana yang kemudian disalurkan kepada mitra NGO di luar negeri. Kemudian, NGO itu yang akan membantu menyalurkan bantuan sesuai kebutuhan para korban. Namun, tetap ada tim dari ACT yang akan mengontrol proses bantuan itu.
Saat ini kegiatan apa yang Anda lakukan bersama ACT?
Selain menjadi relawan untuk membantu korban-korban bencana alam, saya juga menjalankan proyek menulis buku. Ada misi menulis buku di daerah bencana, salah satunya ketika bencana longsor di Banjarnegara. Saya kumpulkan penulis muda sekitar 30 orang. Setelah itu saya bimbing dengan memberikan pelatihan bagaimana menulis secara sistematis.
Baru saja kemarin ACT beraksi membantu korban kebakaran di Tanah Abang, saya datang dan berusaha menjadi bagian dari mereka. Saya mencoba untuk membantu mereka keluar dari trauma bencana, sebab apa yang mereka dengar, lihat ketika bencana itu terekam. Saya membantu dengan cara bermain, membaca, menulis, menggambar, sampai mendongeng, bahkan tak jarang berteriak bersama.
Bagaimana titik terendah dalam hidup Anda?
Saya pernah melewati titik terendah dalam hidup yaitu ketika saya gagal menikah pada tahun 2010. Setelah semua persiapan pernikahan sudah dilakukan, kemudian saya mendapat musibah sakit. Sehingga, pernikahan itu dibatalkan. Memang tidak mudah menyembuhkan luka itu.
Akhirnya atas saran ayah, saya memutuskan untuk berhenti bekerja saat itu, dan masuk Pesantren Gontor di Ngawi untuk mencari suasana baru dan memulihkan jiwa. Keluar dari pesantren saya merasa kalau hidup saya di beberapa waktu lalu sangat tidak baik. Saat ini saya berkomitmen berubah dan mengisi keseharian untuk hal-hal yang positif. Salah satunya banyak membantu sesama di komunitas sosial.
Adakah kisah unik saat menjadi relawan?
Saya sering menghadapi teman-teman yang bisa menelepon kapan saja untuk curhat. Kemudian, saya juga pernah disuruh datang ke rumah sakit tengah malam untuk membantu anakanak kecil yang sakit itu tidur. Kisah mengharukan juga saya alami ketika ada seorang anak kecil menggambar piala. Ternyata, bagi anak itu, piala mempunyai arti kematian. Bagi mereka, kematian sudah bukan hal yang menakutkan, sudah seperti piala bergilir. Hari ini orang lain, bisa besok datang untuk menjemputnya, tinggal menunggu giliran saja.
Apa manfaat yang Anda rasakan setelah menjadi relawan?
Saya merasa bahagia ketika saya bisa membahagiakan dan membantu orang lain. Dengan cara itu, hidup saya terasa lebih dipermudah oleh Allah. Jadi, saya akan berusaha semaksimal mungkin ketika membantu orang lain.
Selama ini siapa yang memberikan dukungan kepada Anda?
Ayah saya adalah orang yang selalu memberikan dukungan kepada saya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana pengorbanan ayah yang sangat besar untuk saya. Ibu saya telah meninggal dunia saat melahirkan saya, sehingga ayah saya yang benar-benar membesarkan saya sampai saat ini. Bagaimana dia menjaga saya dari kecil, mulai dari saya belajar berjalan, membaca, dan lain-lain.
Kini apa prinsip dan tujuan hidup Anda?
Prinsip saya adalah hidup itu harus berakhir dengan bahagia. Kalau belum bahagia, berarti belum berakhir. Jadi, jangan sampai putus di tengah jalan atau misalnya bunuh diri karena patah hati. Janganlah menyiksa diri, sebab hati kita juga berhak untuk bahagia. Berbicara tentang tujuan hidup, sekarang saya ingin mewakafkan diri untuk orang lain. Dalam fase hidup saya sekarang, saya merasa uang bukan lagi tujuan utama. Dalam hidup, saya yakin bahwa kita ini diciptakan untuk membantu orang lain, dan mengeringkan air mata orang lain. Saya ingin bermanfaat untuk masyarakat lain. Saya ingin ketika saya meninggal, Tuhan dapat menyambut dengan bangga.
Dina Angelina
(bbg)