Rumah Makna (Bagian II-Habis)
A
A
A
Mengenali kebudayaan dalam semesta maknanya untuk proses sejarah dari Nusantara menjadi Indonesia akan menggugatkan pertanyaan kritis kita, penghuni, dengan: mengapa bacaan kita kacau baca atau salah baca apalagi buta baca? Pertama, proses membaca adalah proses kerja kesadaran untuk mau membaca makna dalam rumahnya atau semestanya.
Ketika dari pendidikan kita tidak diakrabkan dan tidak diajari serta dilatih untuk mencintai semesta air dan rumah makna bumi yang bergununggunung, sawah serta vulkanik, maka kita tenggelam saat di laut. Kita memaki-maki letusan gunung-gunung berapi, padahal merekalah pemberi kesuburan tanah Nusantara hingga pada jamannya sumber beras dan sumber rempah-rempah.
Ketika edukasi yang semestinya kultural mengajak kita menghayati modernitas rasional dengan cerdas untuk tidak merebut hati dan merampas intuisi pemuliaan hidup karena terus menerus sepihak diisi rasionalitas instrumental (budi yang memperalat dan memperlakukan segala sebagai alat dan melulu sarana). Padahal, intuisi pencapaian makna merayakan, memuliakan semesta laut dan rumah bumi sudah kita ketahui tersimpan dalam harta pusaka di tahapan-tahapan 1-5 kebudayaan.
Namun, mereka merana menjadi artifak, menjadi relief batu mati yang menanti lebih banyak lagi guru-guru kehidupan untuk menghidupkan makna- makna prasasti, candicandi melalui pengembangan arkeologi, antropologi, paleontologi, kepurbakalaan yang kini berhadaphadapan dengan teknologisasi, ekonomisasi, positifisasi serta materialisasi ilmu-ilmu modern.
Kedua, membaca proses berumahnya makna dalam kebudayaan membutuhkan kebangkitan kita dari lupa sejarah dan tidur sejarah. Sejarahlah yang mendidik kesadaran kita sebagai pelaku pemberi makna hidup dalam prosesnya dari Nusantara klasik di tiap kearifankearifan lokal sejarah-sejarah bhineka Nusantara lalu jaman pra-Indonesia dilanjutkan dengan Indonesia yang ika .
Di sini rumusan rumah makna dengan bahasa undang- undang adalah puncak-puncak kebudayaan daerah yang membuat rumah Indonesia. Segeralah disadarkan bahwa tiap sejarah kecil adalah pencipta dan perawat perawat yang sah untuk life wisdom sukunya, identitas-identitasnya pra- Indonesia. Sehingga , tiap sumbangan tersuci, terbaik dan terindah serta terbenar dari cerlang budaya hidup lokal merupakan perekat dan perajut keindonesiaan dari bhineka ke ika saat syukur atas proklamasi merdekanya RI disadari karena rahmat berkah Tuhan Yang Maha Esa.
Lupa sejarah atau mininya ingatan sejarah akan membuat kita susah bersyukur dan terus mudah berkelahi saling mengalahkan dan mengalahkan akibat dan hasil idap penyakit virus pecah belah kolonialisme yang membuat mentalitas bangsa pasca kolonial ini susah menghargai dan menghormati sesama anak negeri kalau mereka memberi arti dan makna yang menyejahterakan bagi sesama.
Kita orang-orang bermental pasca kolonial selalu berperilaku mengecilkan sesama dan membesarkan diri sendiri lalu bermimpi jago kandang seperti pepatah moyang berbilang katak dalam tempurung dan bagi cebol merindukan bulan. Lupa sejarah inilah menjadi salah satu pingsan kita sehingga harus bangun menyadari bahwa Nusantara sudah secara kebudayaan itu estetis religius manakala memproklamasikan kemerdekaan RI.
Estetis, karena kita dalam bawah sadar dan sadarnya selalu berusaha menghayati hidup dalam gendang tari, rancak derap langkah, dan nyanyi hati. Religius, dalam arti Proklamasi merdekanya RI, didasarkan atas syukur terhadap bekerjanya rahmat dan berkat Tuhan. Lihatlah itu di mukadimah Undang-Undang Dasar, bacalah maknanya di pernyataan kemerdekaan bangsa Nusantara yang majemuk menjadi Indonesia yang bersatu, berdaulat dan berkeadaban.
MUDJI SUTRISNO S.J
Guru Besar STF Driyarkara,
Dosen Pascasarjana UI,
Budayawan
Ketika dari pendidikan kita tidak diakrabkan dan tidak diajari serta dilatih untuk mencintai semesta air dan rumah makna bumi yang bergununggunung, sawah serta vulkanik, maka kita tenggelam saat di laut. Kita memaki-maki letusan gunung-gunung berapi, padahal merekalah pemberi kesuburan tanah Nusantara hingga pada jamannya sumber beras dan sumber rempah-rempah.
Ketika edukasi yang semestinya kultural mengajak kita menghayati modernitas rasional dengan cerdas untuk tidak merebut hati dan merampas intuisi pemuliaan hidup karena terus menerus sepihak diisi rasionalitas instrumental (budi yang memperalat dan memperlakukan segala sebagai alat dan melulu sarana). Padahal, intuisi pencapaian makna merayakan, memuliakan semesta laut dan rumah bumi sudah kita ketahui tersimpan dalam harta pusaka di tahapan-tahapan 1-5 kebudayaan.
Namun, mereka merana menjadi artifak, menjadi relief batu mati yang menanti lebih banyak lagi guru-guru kehidupan untuk menghidupkan makna- makna prasasti, candicandi melalui pengembangan arkeologi, antropologi, paleontologi, kepurbakalaan yang kini berhadaphadapan dengan teknologisasi, ekonomisasi, positifisasi serta materialisasi ilmu-ilmu modern.
Kedua, membaca proses berumahnya makna dalam kebudayaan membutuhkan kebangkitan kita dari lupa sejarah dan tidur sejarah. Sejarahlah yang mendidik kesadaran kita sebagai pelaku pemberi makna hidup dalam prosesnya dari Nusantara klasik di tiap kearifankearifan lokal sejarah-sejarah bhineka Nusantara lalu jaman pra-Indonesia dilanjutkan dengan Indonesia yang ika .
Di sini rumusan rumah makna dengan bahasa undang- undang adalah puncak-puncak kebudayaan daerah yang membuat rumah Indonesia. Segeralah disadarkan bahwa tiap sejarah kecil adalah pencipta dan perawat perawat yang sah untuk life wisdom sukunya, identitas-identitasnya pra- Indonesia. Sehingga , tiap sumbangan tersuci, terbaik dan terindah serta terbenar dari cerlang budaya hidup lokal merupakan perekat dan perajut keindonesiaan dari bhineka ke ika saat syukur atas proklamasi merdekanya RI disadari karena rahmat berkah Tuhan Yang Maha Esa.
Lupa sejarah atau mininya ingatan sejarah akan membuat kita susah bersyukur dan terus mudah berkelahi saling mengalahkan dan mengalahkan akibat dan hasil idap penyakit virus pecah belah kolonialisme yang membuat mentalitas bangsa pasca kolonial ini susah menghargai dan menghormati sesama anak negeri kalau mereka memberi arti dan makna yang menyejahterakan bagi sesama.
Kita orang-orang bermental pasca kolonial selalu berperilaku mengecilkan sesama dan membesarkan diri sendiri lalu bermimpi jago kandang seperti pepatah moyang berbilang katak dalam tempurung dan bagi cebol merindukan bulan. Lupa sejarah inilah menjadi salah satu pingsan kita sehingga harus bangun menyadari bahwa Nusantara sudah secara kebudayaan itu estetis religius manakala memproklamasikan kemerdekaan RI.
Estetis, karena kita dalam bawah sadar dan sadarnya selalu berusaha menghayati hidup dalam gendang tari, rancak derap langkah, dan nyanyi hati. Religius, dalam arti Proklamasi merdekanya RI, didasarkan atas syukur terhadap bekerjanya rahmat dan berkat Tuhan. Lihatlah itu di mukadimah Undang-Undang Dasar, bacalah maknanya di pernyataan kemerdekaan bangsa Nusantara yang majemuk menjadi Indonesia yang bersatu, berdaulat dan berkeadaban.
MUDJI SUTRISNO S.J
Guru Besar STF Driyarkara,
Dosen Pascasarjana UI,
Budayawan
(bbg)