Antisipasi Kelangkaan Elpiji 3 Kg

Minggu, 05 April 2015 - 09:50 WIB
Antisipasi Kelangkaan Elpiji 3 Kg
Antisipasi Kelangkaan Elpiji 3 Kg
A A A
PEKALONGAN - Pertamina harus mengantisipasi kelangkaan elpiji kemasan 3 kg. Sebab pascakenaikan harga elpiji 12 kg menjadi Rp142.000, masyarakat cenderung beralih menggunakan elpiji bersubsidi tersebut.

Dari pantauan di sejumlah daerah, meski belum ada laporan kelangkaan elpiji 3 kg, sejak muncul pengumuman kenaikan elpiji 12 kg, konsumsi elpiji bersubsidi menunjukkan peningkatan. Seorang pengecer elpiji di Kelurahan Bendan, Kecamatan Pekalongan Barat, Tohari, misalnya, mengaku tak lagi menjual elpiji ukuran 12 kg. ”Nggak laku sekarang yang 12 kg, jadi saya juga sudah tidak jual lagi,” ujarnya.

Menurutnya, konsumen lebih menyukai elpiji kemasan 3 kg yang mendapat subsidi pemerintah sehingga harga masih terjangkau. ”Yang ramai sekarang ukuran 3 kg. Blue gas juga mulai sepi. Yang blue gas mau saya lepas, tapi masih ada permintaan walaupun sedikit,” paparnya. Salah seorang pembeli bernama Azam, 55, mengaku keberatan dengan kenaikan harga tabung elpiji 12 kg tersebut. Akibat kenaikan itu, dia terpaksa beralih ke tabung ukuran 3 kg.

”Kalau bisa harga bisa stabil kembali sehingga tidak memberatkan kami,” kata warga Kelurahan Sapuro, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan itu. Kondisi serupa juga terpantau diSPBU Medono, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan. Di SPBU tersebut permintaan elpiji 12 kg menurun. Namun hingga kemarin belum ada peralihan konsumsi dari tabung ukuran 12 kg ketabung gas ukuran 3 kg sehingga saat ini stok tabung gas LPG ukuran 3 kg masih aman.

”Sudah mulai terjadi penurunan permintaan. Sampai siang ini (kemarin) belum ada tabung ukuran 12 kg yang keluar. Padahal biasanya ada sekitar 15- 20 gas LPG ukuran 12 kg yang laku setiap harinya,” kata Winarto, kasir SPBU Medono. Dari Yogyakarta, Ketua Himpunan Pengusaha Swasta Minyak dan Gas (Hiswana Migas) DIY Siswanto mengingatkan kemungkinan terjadi kekurangan stok elpiji 3 kg.

Saat ini kebutuhan normal gas elpiji 3 kg di DIY setiap hari sekitar 80.000 tabung. ”Itu berpotensi mengalami kekurangan karena ada potensi migrasi pengguna dari 12 kilo ke 3 kilo,” ujarnya. PemprovDIYpunmengantisipasikelangkaan dengan meningkatkan pengawasan penggunaan gas nonsubsidi. Kepala Biro Perekonomian Setda DIY Tri Mulyono menegaskan, elpiji ukuran 3 kg dan 12 kg harus sesuai peruntukannya.

Gas 3 kg untuk kalangan rumah tangga serta pelaku usaha mikro, sedangkan gas 12 kg untuk rumah tangga kaya, industri, dan lainnya. ”Kalau industri menggunakan gas 3 kilo, berarti salah penggunaannya. Itu tidak sesuai ketentuan,” paparnya. Sekretaris Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) DIY itu mengungkapkan, agar sesuai peruntukan, tim pemantau akan mengintensifkan pengawasan sampai ke tingkat bawah.

”Hanya memantau saja, tidak bisa memberi sanksi. Untuk sanksi menjadi kewenangan kepolisian,” ungkapnya. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil meminta Pertamina untuk mengantisipasi terjadinya migrasi besar-besaran pengguna gas ukuran 12 kg ke gas subsidi 3 kg menyusul naiknya harga gas tersebut. Dengan demikian kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kelangkaan gas subsidi bisa dihindari.

”Nah itu yang tidak boleh (migrasi). Ya itu (untuk mengantisipasi) tugasnya Pertamina,” ujar Sofyan Djalil seusai menggelar rapat koordinasi membahas penggunaan biofuel di Kantor Kementerian Perekonomian, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, kemarin. Sofyan pun meminta masyarakat mampu untuk menggunakan elpiji yang menggunakan harga keekonomian karena pemerintah tidak bisa menyubsidi semua pihak.

Sofyan menandaskan, kebijakan menaikkan harga elpiji 12 kg merupakan langkah tepat untuk mengurangi subsidi yang selama ini dibebankan kepada Pertamina. ”Itu kan harga keekonomian. Sebenarnya masalah itu dari dulu tidak disubsidi. Cuma selama ini pemerintah mengatakan supaya Pertamina yang nanggung, jadi Pertamina yang berdarah-darah. Sekarang dilepaskan supaya masyarakat menanggung beban biaya itu,” ujarnya.

Lebih jauh dia menegaskan langkah yang diambil pemerintah harus dilakukan, termasuk untuk mendukung pembangunan infrastruktur. ”Selama ini Jakarta sudah seperti parkir terpanjang di muka bumi garagara kita tidak bangun infrastruktur. Tinggal pilihan saja masyarakatnya, apakah disubsidi semuanya, bisa saja.

Semua APBN kita gunakan untuk subsidi dan gaji misalnya, tapi kita tidak bangun infrastruktur,” kata Sofyan. SebelumnyapihakPertamina tidak mengkhawatirkan ada kelangkaan elpiji ukuran 3 kg akibat migrasi dari elpiji 12 kg. Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro menandaskan bahwa fenomena migrasi tidak akan berpengaruh signifikan terhadap kenaikan konsumsi elpiji 3 kg. Apalagi Pertamina telah mengantisipasi dengan sistem distribusi 3 kg atau kerap disebut dengan SIMOL3K.

Berpotensi Langgar Konstitusi

Kebijakan energi yang dilakukan pemerintah saat ini dipandang telah mengarah pada mekanisme pasar. Penentuan harga bahan bakar minyak (BBM) yang tiba-tiba serta dilakukan atas dasar fluktuasi harga minyak dunia berpotensi menjerumuskan pemerintah pada pelanggaran konstitusi. Pandangan demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya W Yudha dan Direktur Centre For Budget Analysis Ucok Sky Khadafi dalam diskusi Polemik Sindo Trijaya Radio ”Pusing Pala Rakyat” kemarin di Cikini Jakarta.

Di sisi lain, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Imaduddin Abdullah menilai kebijakan pemerintah sangat merugikan rakyat. Satya W Yudha menandaskan, penyesuaian harga minyak yang tiba-tiba mengikuti harga pasar melanggar konstitusi.

Padahal antara DPR dan pemerintah telah bersepakat untuk mengevaluasi harga minyak secara rutin per satu bulan sekali yang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015.

”Tapi DPR Komisi VII dikejutkan karena rupanya Kementerian ESDM tidak sabar, tanggal 28 Maret 2015 (belum tanggal 1) sudah melakukan perubahan. Ini yang menurut hematsaya menjadi sesuatu yang berbeda nuansanya karena makin cepat, makin sering mengumumkan,” ujar Satya.

Dia pun mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) pada putusannya telah melarang adanya penyerahan pada mekanisme pasar dalam penentuan harga BBM. Ucok Sky Khadafi mengingatkan, menyerahkan harga BBM ke mekanisme pasar melanggar UU dan tidak sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 4/2015 tentang Evaluasi Penyesuaian Harga BBM.

Lebih lanjut Ucok pun menganggap penentuan harga BBM saat ini sebesar Rp7.300 merupakan bentuk kesewenangan kepada rakyat. Bahkan dia menyebut ada permainan mafia di dalamnya. ”Karena dasar Rp7.300 ke pasar itu tidak ada payung hukumnya. Kalau kita hitung melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 54/2004 harganya hanya Rp5.788 per liter, berarti ada selisih sekitar Rp1.512 per liter,” kata Ucok.

Merespons penilaian tersebut, Juru Bicara Kementerian ESDM, Saleh Abdurrahman, segera membantah adanya indikasi penyerahan harga komoditas migas ke mekanisme pasar. Menurut dia, khusus untuk BBM jenis premium memang saat ini sudah tidak lagi disubsidi pemerintah, tetapi penentuan harganya tetap di tangan pemerintah. ”Jadi sewaktu ditetapkan itu kita tidak serta-merta melepas ke pasar. Kan (selama ini) diskusinya, wah ini dilepas ke pasar. Tidak, karena peran pemerintah dalam harga juga vital dengan Pertamina,” kata Saleh.

Prahayuda febrianto/ ridwan anshori/ dian ramdhani/sucipto
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5535 seconds (0.1#10.140)