Tunjangan Mobil Pejabat Pemborosan
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan pemerintah menaikkan tunjangan uang muka pembelian kendaraan pribadi bagi pejabat negara, dinilai tidak tepat saat rakyat sedang menanggung beban berat akibat naiknya sejumlah bahan kebutuhan pokok.
Kebijakan yang dituangkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39/2015 tersebut juga dinilai bertentangan dengan semangat penghematan anggaran yang selama ini didengung- dengungkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). ”Saya menyayangkan kebijakan ini di saat kita sedang berusaha untuk melakukan penghematan anggaran,” kata Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad di Jakarta kemarin.
Presiden Jokowi pada 20 Maret 2015 menandatangani Perpres Nomor 39/2015 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 68/2010 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan. Dalam revisi ini, pemerintah mengubah Pasal 3 ayat 1, yaitu fasilitas tunjangan uang muka senilai Rp116.650.000 naik menjadi Rp210.890.000 per orang.
Pada Pasal 1 Perpres diatur pejabat negara yang berhak menerima tunjangan uang muka ini, yakni anggota DPR, anggota DPD, hakim agung Mahkamah Agung (MA), hakim Mahkamah Konstitusi (MK), anggota Komisi Yudisial (KY), dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi berpendapat, dengan kebijakan ini, pemerintahan terlihat tidak habis-habisnya memprovokasi rakyat dengan berbagai kebijakan yang tidak prorakyat.
”Kenaikan BBM, listrik, gas elpiji sudah sangat membebani rakyat. Sekarang malah menambah fasilitas untuk pembelian kendaraan pejabat. Ini provokasi namanya, ini menyakitkan hati rakyat,” ujarnya kemarin. Dia menilai kebijakan ini kontradiktif dengan semangat Perpres Nomor 92/2006 yang manasaat itunegara hanyamembantu membayarkan bunga dari cicilan mobil pejabat.
”Kalau tunjangannya Rp210 juta, ini bukan uang muka namanya, tapi negara sudah membayar setengah dari harga mobil pejabat itu,” jelasnya. Uchok menyarankan sebaiknya Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Widjajanto segera mencabut perpres tersebut karena tidak efektif dan hanya memboroskan keuangan negara.
Selain itu, dia meminta BPK melakukan audit investigasi terhadap Perpres 68/2010 untuk membuktikan apakah benar uang yang pernah diterima pejabat memang benar untuk membeli mobil. Namun, pemerintah berdalih kenaikan tunjangan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan harga kendaraan yang saat ini juga naik. Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan menilai pemberian uang muka kepada pejabat untuk membeli mobil baru lebih hemat daripada memberikan mobil dinas.
”Kan itu artinya kalau ada tunjangannya, tidak perlu dikasih mobil dinas. Kansama saja sebenarnya, selama ini pejabat dikasih mobil dinas. Mana yang lebih mahal? Kan lebih murah dikasihtunjangan(uangmuka),” kata Wapres di Jakarta kemarin. Saat polemik perpres ini muncul, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro justru mengaku tidak mengetahui ada revisi soal kenaikan tunjangan uang muka kendaraan pejabat tersebut.
Dia mengaku belum mendapat informasi apa pun terkait itu. ”Jadi belum bisa menjelaskan,” ujarnya kemarin. Namun, menurut Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani, kenaikan ini merupakan penyesuaian yang rutin dilakukan pemerintah setiap lima tahun sekali. Hal ini, kata dia, dilakukan sesuai dengan tingkat inflasi yang naik setiap tahun.
”Jadi ini bukan kebijakan baru,” kata dia. Askolani mengklaim, kenaikan dilakukan dengan tetap mempertimbangkan unsur efisiensi. Dia menyebut usulan besaran kenaikan sebenarnya lebih tinggi daripada yang besaran ditetapkan pemerintah. Dia pun menggarisbawahi bahwa fasilitas tersebut hanya untuk anggota. ”Kalau ketua, wakil ketua, dan menteri sudah ada mobil dinas,” ucapnya.
Askolani mengatakan, besaran uang muka senilai Rp210 juta tersebut berdasarkan kelayakan fasilitas yang seharusnya diterima pejabat. Kendati demikian, dia tidak menjabarkan kelayakan fasilitas apa yang dimaksud. ”Tapi ini sudah diassesment di Kementerian Keuangan,” ujar dia. Sementara itu, pimpinan DPR menolak tudingan sebagai pihak yang mendorong kenaikan tunjangan tersebut.
Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengatakan, DPR tidak dalam kapasitas mengintervensi kebijakan presiden. Perpres menurutnya kebijakan yang sama sekali tidak dapat dicampuri DPR.”Kalau itu berkaitan dengan perpres, keppres, dan lainnya, tidak dalam kapasitas pimpinan dewan bisa mengintervensi presiden.
Dari namanya saja sudah peraturan presiden,” kata Taufik kepada KORAN SINDOkemarin. Pernyataan Taufik ini menanggapi penjelasan Seskab Andi Widjajanto yang mengatakan bahwa perpres tersebut lahir karena usulan dari Ketua DPR Setya Novanto. Melalui laman Sekretariat Kabinet dijelaskan, Setya mengirimkan surat bernomor AG/00026/ DPR RI/I/2015 kepada pemerintah pada 5 Januari 2015.
Isinya berupa permintaan agar besaran tunjangan uang muka pembelian kendaraan pribadi pejabat negara dinaikkan dari Rp116.650.000 menjadi Rp250.000.000. Namun, setelah Menteri Keuangan melakukan kajian, akhirnya jumlah kenaikan yang disetujui sebesar Rp210.890.000. Taufik juga menegaskan, penambahan anggaran tersebut bukan hanya tertuju pada DPR semata karena lingkup pejabat negara itu luas yang mana mencakup eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kebijakan penambahan anggaran tersebut, lanjut dia, bergantung pada Seskab Andi Widjajanto, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno, dan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. Jadi, kata dia, tidak adil jika hanya DPR yang dipojokkan atau dikambinghitamkan dalam persoalan ini.”Pemerintah perlu menjelaskan secara transparan kepada publik. Jangan seolah-olah DPR yang salah, tidak benar seperti itu,” tandas Taufik.
Dalam pandangan Ketua DPD Irman Gusman, kenaikan tunjangan uang muka pembelian kendaraan pejabat itu hal yang wajar karena untuk menyesuaikan harga kendaraan. Dia hanya mengingatkan agar pemberian fasilitas itu harus diimbangi peningkatan kinerja pejabat negara.”Dalam konteks itu wajar sekali (kenaikan tunjangan). Tapi pejabat memang harus bekerja lebih keras untuk kepentingan rakyat,” ujarnya kemarin.
Rahmat fiansyah/ kiswondari/ mula akmal
Kebijakan yang dituangkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39/2015 tersebut juga dinilai bertentangan dengan semangat penghematan anggaran yang selama ini didengung- dengungkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). ”Saya menyayangkan kebijakan ini di saat kita sedang berusaha untuk melakukan penghematan anggaran,” kata Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad di Jakarta kemarin.
Presiden Jokowi pada 20 Maret 2015 menandatangani Perpres Nomor 39/2015 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 68/2010 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan. Dalam revisi ini, pemerintah mengubah Pasal 3 ayat 1, yaitu fasilitas tunjangan uang muka senilai Rp116.650.000 naik menjadi Rp210.890.000 per orang.
Pada Pasal 1 Perpres diatur pejabat negara yang berhak menerima tunjangan uang muka ini, yakni anggota DPR, anggota DPD, hakim agung Mahkamah Agung (MA), hakim Mahkamah Konstitusi (MK), anggota Komisi Yudisial (KY), dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi berpendapat, dengan kebijakan ini, pemerintahan terlihat tidak habis-habisnya memprovokasi rakyat dengan berbagai kebijakan yang tidak prorakyat.
”Kenaikan BBM, listrik, gas elpiji sudah sangat membebani rakyat. Sekarang malah menambah fasilitas untuk pembelian kendaraan pejabat. Ini provokasi namanya, ini menyakitkan hati rakyat,” ujarnya kemarin. Dia menilai kebijakan ini kontradiktif dengan semangat Perpres Nomor 92/2006 yang manasaat itunegara hanyamembantu membayarkan bunga dari cicilan mobil pejabat.
”Kalau tunjangannya Rp210 juta, ini bukan uang muka namanya, tapi negara sudah membayar setengah dari harga mobil pejabat itu,” jelasnya. Uchok menyarankan sebaiknya Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Widjajanto segera mencabut perpres tersebut karena tidak efektif dan hanya memboroskan keuangan negara.
Selain itu, dia meminta BPK melakukan audit investigasi terhadap Perpres 68/2010 untuk membuktikan apakah benar uang yang pernah diterima pejabat memang benar untuk membeli mobil. Namun, pemerintah berdalih kenaikan tunjangan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan harga kendaraan yang saat ini juga naik. Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan menilai pemberian uang muka kepada pejabat untuk membeli mobil baru lebih hemat daripada memberikan mobil dinas.
”Kan itu artinya kalau ada tunjangannya, tidak perlu dikasih mobil dinas. Kansama saja sebenarnya, selama ini pejabat dikasih mobil dinas. Mana yang lebih mahal? Kan lebih murah dikasihtunjangan(uangmuka),” kata Wapres di Jakarta kemarin. Saat polemik perpres ini muncul, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro justru mengaku tidak mengetahui ada revisi soal kenaikan tunjangan uang muka kendaraan pejabat tersebut.
Dia mengaku belum mendapat informasi apa pun terkait itu. ”Jadi belum bisa menjelaskan,” ujarnya kemarin. Namun, menurut Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani, kenaikan ini merupakan penyesuaian yang rutin dilakukan pemerintah setiap lima tahun sekali. Hal ini, kata dia, dilakukan sesuai dengan tingkat inflasi yang naik setiap tahun.
”Jadi ini bukan kebijakan baru,” kata dia. Askolani mengklaim, kenaikan dilakukan dengan tetap mempertimbangkan unsur efisiensi. Dia menyebut usulan besaran kenaikan sebenarnya lebih tinggi daripada yang besaran ditetapkan pemerintah. Dia pun menggarisbawahi bahwa fasilitas tersebut hanya untuk anggota. ”Kalau ketua, wakil ketua, dan menteri sudah ada mobil dinas,” ucapnya.
Askolani mengatakan, besaran uang muka senilai Rp210 juta tersebut berdasarkan kelayakan fasilitas yang seharusnya diterima pejabat. Kendati demikian, dia tidak menjabarkan kelayakan fasilitas apa yang dimaksud. ”Tapi ini sudah diassesment di Kementerian Keuangan,” ujar dia. Sementara itu, pimpinan DPR menolak tudingan sebagai pihak yang mendorong kenaikan tunjangan tersebut.
Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengatakan, DPR tidak dalam kapasitas mengintervensi kebijakan presiden. Perpres menurutnya kebijakan yang sama sekali tidak dapat dicampuri DPR.”Kalau itu berkaitan dengan perpres, keppres, dan lainnya, tidak dalam kapasitas pimpinan dewan bisa mengintervensi presiden.
Dari namanya saja sudah peraturan presiden,” kata Taufik kepada KORAN SINDOkemarin. Pernyataan Taufik ini menanggapi penjelasan Seskab Andi Widjajanto yang mengatakan bahwa perpres tersebut lahir karena usulan dari Ketua DPR Setya Novanto. Melalui laman Sekretariat Kabinet dijelaskan, Setya mengirimkan surat bernomor AG/00026/ DPR RI/I/2015 kepada pemerintah pada 5 Januari 2015.
Isinya berupa permintaan agar besaran tunjangan uang muka pembelian kendaraan pribadi pejabat negara dinaikkan dari Rp116.650.000 menjadi Rp250.000.000. Namun, setelah Menteri Keuangan melakukan kajian, akhirnya jumlah kenaikan yang disetujui sebesar Rp210.890.000. Taufik juga menegaskan, penambahan anggaran tersebut bukan hanya tertuju pada DPR semata karena lingkup pejabat negara itu luas yang mana mencakup eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kebijakan penambahan anggaran tersebut, lanjut dia, bergantung pada Seskab Andi Widjajanto, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno, dan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. Jadi, kata dia, tidak adil jika hanya DPR yang dipojokkan atau dikambinghitamkan dalam persoalan ini.”Pemerintah perlu menjelaskan secara transparan kepada publik. Jangan seolah-olah DPR yang salah, tidak benar seperti itu,” tandas Taufik.
Dalam pandangan Ketua DPD Irman Gusman, kenaikan tunjangan uang muka pembelian kendaraan pejabat itu hal yang wajar karena untuk menyesuaikan harga kendaraan. Dia hanya mengingatkan agar pemberian fasilitas itu harus diimbangi peningkatan kinerja pejabat negara.”Dalam konteks itu wajar sekali (kenaikan tunjangan). Tapi pejabat memang harus bekerja lebih keras untuk kepentingan rakyat,” ujarnya kemarin.
Rahmat fiansyah/ kiswondari/ mula akmal
(bbg)