Pilkada Serentak Rawan Konflik
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mengantisipasi kelancaran pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang akan digelar akhir 2015.
Ada sejumlah daerah yang dianggap rawan konflik dalam pesta demokrasi lokal tersebut.
Ketua Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto mengatakan potensi konflik terutama ada di daerah yang memilikipetarawankonfliksemisal Sumatera, Madura, Sulawesi Tengah, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Sementara sistem pengamanan pilkada tak mengalami perubahan. ”Untuk pilkada tidak serentak saja ada konflik kan, apalagi pilkada serentak. Buat KPU, koordinasi dengan Polri saja tak cukup karena personel Polri terbatas. Polri tak perlu malu mulai sekarang untuk meminta bantuan kepada TNI,” kata Didik Supriyanto di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, kemarin. Karena itu, dia mengingatkan agar pemerintah dan KPU menyiapkan strategi khusus dalam pelaksanaan pilkada serentak. Pengamanan dan deteksi dini daerah rawan harus diprioritaskan.
Lebih lanjut Didik menilai pilkada serentak juga tak memiliki korelasi terhadap penurunan politik uang. Potensi tersebut tetap besar lantaran tidak ada inovasi dalam regulasi baru yang dibuat untuk menekan politik uang. Di antaranya jual beli suara, jual beli nomor urut calon, atau menyuap petugas penyelenggara pemilu. Memang harus diakui dalam pilkada nantinya sebagian besar atau sekitar 85% dana kampanye ditanggung negara, sisanya ditanggung tiap kandidat.
”Kecuali pertemuan terbatas partai dan acara dialog atau diskusi partai, semua ditanggung negara seperti pembuatan iklan, baliho, dan alat peraga. Dengan begitu, seharusnya calon tidak punya alasan lagi terbebani dana kampanye,” katanya. Sementara itu, Ketua KPU Husni Kamil Manik menyampaikan, pelaksanaan pilkada serentak 2015 menggunakan dana yang tercantum dalam APBD 2015.
Masalahnya, dari total 272 daerah peserta Pilkada 2015, masih ada sekitar 68 daerah yang keberatan untuk memasukkan anggaran pemilu. Sebab mereka sejak awal tidak punya rencana untuk melaksanakan pilkada karena habis masa jabatannya 2016. Lagipula, kemampuan keuangan tiap daerah berbeda sehingga perlu intervensi pemerintah melalui APBN untuk daerah yang memiliki kemampuan keuangan terbatas.
”Caranya bisa dengan revisi APBD atau ada bantuan dari APBN. Kalau tidak ada anggaran ya itu menjadi masalah, mereka tidak bisa menyelenggarakan pilkada,” katanya. Mengenai jadwal pilkada yang semakin dekat, Husni mengklaim memiliki waktu longgar untuk menyiapkan pemilu. DiaoptimistisPilkada2015 berjalan lancar. Namun untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas, produk hukum selalu menjadi kendala dalam persiapan menuju pemilu.
Pembahasan UU Pilkada yang alot di DPR mengganggu kinerjaKPU dalam menyiapkan pemilu dan penyusunan peraturan pemilu. ”Harusnya kita sudah menyiapkan produk UU untuk Pemilu 2019. Tapi DPR tidak memasukkannya dalam prioritas legislasi. Produk hukum harus disiapkan jauh hari agar kita tak keteter,” kata mantan aktivis HMI itu. Sementara itu, pengamat politik dari Populi Center Nico Harjanto menyoroti sejumlah partai besar, seperti Golkar dan PPP, yang masih menghadapi sengketa kepengurusan menyangkut keikutsertaan mereka dalam Pilkada 2015.
Kedua partai tersebut harus menyelesaikan sengketa kepengurusannya dalam waktu dua bulan sebelum pendaftaran kandidat yang dimulai bulan Juli sehingga tak menghambat proses verifikasi. Mereka juga terancam ditinggalkan kandidat potensial karena setiap kandidat akan memilih partai yang memiliki tingkat kepercayaan publik tinggi untuk dijadikan sebagai kendaraannya.
”Semakin lama mereka konflik, semakin lambat mereka untuk mempersiapkan diri menghadapi pertarungan Pilkada 2015. Waktu untuk konsolidasi, sosialisasi calon, dan merancang kampanye yang efektif berkurang,” sebutnya.
Khoirul muzaki
Ada sejumlah daerah yang dianggap rawan konflik dalam pesta demokrasi lokal tersebut.
Ketua Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto mengatakan potensi konflik terutama ada di daerah yang memilikipetarawankonfliksemisal Sumatera, Madura, Sulawesi Tengah, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Sementara sistem pengamanan pilkada tak mengalami perubahan. ”Untuk pilkada tidak serentak saja ada konflik kan, apalagi pilkada serentak. Buat KPU, koordinasi dengan Polri saja tak cukup karena personel Polri terbatas. Polri tak perlu malu mulai sekarang untuk meminta bantuan kepada TNI,” kata Didik Supriyanto di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, kemarin. Karena itu, dia mengingatkan agar pemerintah dan KPU menyiapkan strategi khusus dalam pelaksanaan pilkada serentak. Pengamanan dan deteksi dini daerah rawan harus diprioritaskan.
Lebih lanjut Didik menilai pilkada serentak juga tak memiliki korelasi terhadap penurunan politik uang. Potensi tersebut tetap besar lantaran tidak ada inovasi dalam regulasi baru yang dibuat untuk menekan politik uang. Di antaranya jual beli suara, jual beli nomor urut calon, atau menyuap petugas penyelenggara pemilu. Memang harus diakui dalam pilkada nantinya sebagian besar atau sekitar 85% dana kampanye ditanggung negara, sisanya ditanggung tiap kandidat.
”Kecuali pertemuan terbatas partai dan acara dialog atau diskusi partai, semua ditanggung negara seperti pembuatan iklan, baliho, dan alat peraga. Dengan begitu, seharusnya calon tidak punya alasan lagi terbebani dana kampanye,” katanya. Sementara itu, Ketua KPU Husni Kamil Manik menyampaikan, pelaksanaan pilkada serentak 2015 menggunakan dana yang tercantum dalam APBD 2015.
Masalahnya, dari total 272 daerah peserta Pilkada 2015, masih ada sekitar 68 daerah yang keberatan untuk memasukkan anggaran pemilu. Sebab mereka sejak awal tidak punya rencana untuk melaksanakan pilkada karena habis masa jabatannya 2016. Lagipula, kemampuan keuangan tiap daerah berbeda sehingga perlu intervensi pemerintah melalui APBN untuk daerah yang memiliki kemampuan keuangan terbatas.
”Caranya bisa dengan revisi APBD atau ada bantuan dari APBN. Kalau tidak ada anggaran ya itu menjadi masalah, mereka tidak bisa menyelenggarakan pilkada,” katanya. Mengenai jadwal pilkada yang semakin dekat, Husni mengklaim memiliki waktu longgar untuk menyiapkan pemilu. DiaoptimistisPilkada2015 berjalan lancar. Namun untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas, produk hukum selalu menjadi kendala dalam persiapan menuju pemilu.
Pembahasan UU Pilkada yang alot di DPR mengganggu kinerjaKPU dalam menyiapkan pemilu dan penyusunan peraturan pemilu. ”Harusnya kita sudah menyiapkan produk UU untuk Pemilu 2019. Tapi DPR tidak memasukkannya dalam prioritas legislasi. Produk hukum harus disiapkan jauh hari agar kita tak keteter,” kata mantan aktivis HMI itu. Sementara itu, pengamat politik dari Populi Center Nico Harjanto menyoroti sejumlah partai besar, seperti Golkar dan PPP, yang masih menghadapi sengketa kepengurusan menyangkut keikutsertaan mereka dalam Pilkada 2015.
Kedua partai tersebut harus menyelesaikan sengketa kepengurusannya dalam waktu dua bulan sebelum pendaftaran kandidat yang dimulai bulan Juli sehingga tak menghambat proses verifikasi. Mereka juga terancam ditinggalkan kandidat potensial karena setiap kandidat akan memilih partai yang memiliki tingkat kepercayaan publik tinggi untuk dijadikan sebagai kendaraannya.
”Semakin lama mereka konflik, semakin lambat mereka untuk mempersiapkan diri menghadapi pertarungan Pilkada 2015. Waktu untuk konsolidasi, sosialisasi calon, dan merancang kampanye yang efektif berkurang,” sebutnya.
Khoirul muzaki
(ars)