Nafas Humanis Marida
A
A
A
Impian pegrafis Marida Nasution untuk bisa menghelat pameran tunggal grafis akhirnya terwujud juga. Pameran sepekan ini memperlihatkan tema sosial-kemanusiaan yang begitu kuat. Sosok kaum papa, kaum yang membutuhkan, mewarnai torehan grafisnya.
Saat ini Marida mungkin sedang tersenyum bahagia di atas sana sembari menyaksikan betapa ramai pamerannya dikunjungi banyak orang.
Meski bersifat pameran retrospektif untuk mengenang sosoknya yang telah mangkat 22 September 2008 silam, ketidakhadiran fisiknya tidak banyak mengubah aura pameran yang ada. Seolah dia hadir, ikut menyaksikan, tersenyum, dan bangga jika seni grafis, semakin diketahui dan dikenal di Tanah Air, terutama kaum muda, sesuai dengan harapannya.
Pameran tunggal Marida Nasution (1956-2008): Kiprah Seorang Perempuan Pegrafis Indonesia di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jakarta ini menyajikan sekitar 40 karya grafis, cetak saring, dan etsa (etching), yang tidak hanya berupa karya seni grafis konvensional, tetapi juga menghadirkan objek-objek 3D (patung-patung kecil), dalam kemasan yang meruang sebagai karya instalasi.
Dalam karya instalasi ini cetak saring sebagai teknik tidak diterapkan pada helaian kertas tapi pada helaian akrilik yang transparan. Adapun, rujukan yang dipakai sebagai titik tolak penyajian koleksi karya adalah keberadaan enam katalog pameran tunggal pertama (1991), kedua (1994), ketiga (1997), keempat (2001), kelima (2004), dan keenam (2005). Tepat satu dasawarsa, pameran ke-7 pun digelar selama sepuluh hari, yakni 20-30 Maret.
Sejak awal berkarya hingga bertemu Sang Pencipta, almarhumah memang konsisten dengan dua tema, yakni perempuan dan masalah sosial. Perempuan hamil dan seluk beluknya selalu mengundang ketertarikannya untuk menorehkan hasil grafis. Begitu juga dengan kehidupan kaum papa. Seperti karyanya yang berjudul Tersangka (1999), yang menjabarkan tentang dua figur laki-laki, satu wanita hamil, dan satu figur abstrak. Semuanya tengah duduk berjejer.
Kemudian wanita hamil (2000), figur seorang ibu hamil yang sedang duduk dengan menggunakan teknis etsa. Ibu dan anak (2000) menggunakan silkscreen , memperlihatkan ibu yang sedang memangku anaknya di bawah pohon. Sedangkan, kehidupan kaum papa diberikan ruang khusus di bagian paling belakang pameran. Ruang khusus bernama Kehidupan I, II, III, IV.
Karya yang dibuat pada tahun 1997 ini telah dihibahkan menjadi milik GNI. Ada empat karya instalasi grafis menggunakan dimensi variabel berwarna kuning, hijau, merah, dan biru. Masing-masing warna memiliki cerita dan arti sendiri. Warna kuning menggambarkan sosokorangyangsedangmenggendong anak. Warna hijau adalah seorang pedagang minuman, sedangkan warna merah adalah penjual jamu gendong.
Dan, warna biru adalah sosok penjual koran. Marida juga menampilkan karya bebas yang disesuaikan dengan suasana hatinya. Seperti yang berjudul Semangat Hidup I dan Semangat Hidup IV . Yang istimewa, pada Semangat Hidup IV, Marida ikut menampilkan foto sang nenek. Semangat Hidup IV ini berkisah tentang mbok penjual jamu gendong yang terlihat sedang berjalan dari arah belakang.
Di sampingnya terdapat foto sang nenek Marida. Kemudian di atasnya terdapat tempelan bungkus jamu yang kerap ditemui pada zaman dahulu, yakni jamu galian delima, jamu peputih (pektay), dan dua pergelangan tangan yang dibentuk dari tanah liat yang diletakkan di bawah foto sang nenek.
Sebelum dikerjakan menjadi karya grafis, biasanya Marida akan memotret objek-objek yang diinginkan. Baru, kemudian dia lanjutkan dengan teknik seni grafis. Seni grafis memang mengandalkan fasilitas atau perangkat teknologi cetak.
Karya-karya dari olahan media cetak tinggi (cukilan kayu), cetak dalam (intaglio: etsa, akuatin, drypoint , engraving ), cetak datar (litografi), dan cetak saring (serigrafi) bukan hanya berperan sebagai keunikan prosedur teknis, atau proses kreatif seorang pegrafis, tetapi identik pula dengan nilai ekspresi estetik. Seorang pegrafis berkarya terikat oleh peralatan cetak pilihannya.
Di rumahnya, almarhumah memiliki ruang kerja dengan fasilitas cetak pilihannya yakni etsa dan cetak saring. Di ruangan ini Marida melatih diri mendalami bukan sebatas permasalahan teknis tapi juga penghayatan hal tematik. Di dalam pameran juga terdapat layar televisi yang menyajikan tayangan tentang bagaimana sosok Marida di mata beberapa kawannya. Seperti seniman Jim Supangkat, Magdalena Pardede, Dolorosa Sinaga, dan lainnya. Tayangan ini bisa meng-guide pengunjung untuk lebih mengetahui dan mengenal sosok Marida saat dia masih hidup.
Garapan Etsa Terasa Hingga ke Lubuk Hati
Sementara, menurut sang kurator Setiawan Ananto, tugasnya kali ini merupakan amanah tersendiri, karena almarhumlah langsung yang mengusulkan namanya untuk menjadi kurator pameran tunggalyangtadinya direncanakan digelar pada 2009. Namun, batal karena satu dan lain hal. Dia menguraikan, secara fisik Marida adalah manusia yang ringkih, tubuh dan mentalnya sensitif akibat kelainan jantung yangdimilikinya sejaklahir.
Ukuran jantungnya lebih kecil ketimbang ukuran manusia pada umumnya. Tapi, kondisi ini tidak membuat Marida muda tunduk pada kekurangan atau kelemahan fisik. Sebaliknya, kondisi ini dijelmakan menjadi kekuatan dan kelebihan dalam diri yang mengagumkan. Menurut keterangan beberapa teman dekatnya, Marida dikenal sebagai individu pekerja keras, sering bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain, gigih dalam memperjuangkan seni grafis, berjiwa eksploratif dalam media yang ditekuninya (etsa dan cetak saring).
Tak hanya itu, dia juga berpikir kritis terhadap berbagai fenomena di perkotaan (urbanitas) Jakarta. “Lewat garapan etsa nilai rabaan natural masih terasa ke lubuk hati, lewat media cetak saring wajah-wajah kehidupan realistik dapat terpotret secara nyata, karena kemampuannya mengakomodasi imaji-imaji fotografis,” papar Setiawan.
Di ingatan sang kakak sulung, Amendi Nasution, adik keempatnya ini adalah sosok yang memiliki tekad keras dan kuat bagai baja. Terutama, untuk seni grafis yang sudah menjadi panggilan hidupnya.
Susi susanti
Saat ini Marida mungkin sedang tersenyum bahagia di atas sana sembari menyaksikan betapa ramai pamerannya dikunjungi banyak orang.
Meski bersifat pameran retrospektif untuk mengenang sosoknya yang telah mangkat 22 September 2008 silam, ketidakhadiran fisiknya tidak banyak mengubah aura pameran yang ada. Seolah dia hadir, ikut menyaksikan, tersenyum, dan bangga jika seni grafis, semakin diketahui dan dikenal di Tanah Air, terutama kaum muda, sesuai dengan harapannya.
Pameran tunggal Marida Nasution (1956-2008): Kiprah Seorang Perempuan Pegrafis Indonesia di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jakarta ini menyajikan sekitar 40 karya grafis, cetak saring, dan etsa (etching), yang tidak hanya berupa karya seni grafis konvensional, tetapi juga menghadirkan objek-objek 3D (patung-patung kecil), dalam kemasan yang meruang sebagai karya instalasi.
Dalam karya instalasi ini cetak saring sebagai teknik tidak diterapkan pada helaian kertas tapi pada helaian akrilik yang transparan. Adapun, rujukan yang dipakai sebagai titik tolak penyajian koleksi karya adalah keberadaan enam katalog pameran tunggal pertama (1991), kedua (1994), ketiga (1997), keempat (2001), kelima (2004), dan keenam (2005). Tepat satu dasawarsa, pameran ke-7 pun digelar selama sepuluh hari, yakni 20-30 Maret.
Sejak awal berkarya hingga bertemu Sang Pencipta, almarhumah memang konsisten dengan dua tema, yakni perempuan dan masalah sosial. Perempuan hamil dan seluk beluknya selalu mengundang ketertarikannya untuk menorehkan hasil grafis. Begitu juga dengan kehidupan kaum papa. Seperti karyanya yang berjudul Tersangka (1999), yang menjabarkan tentang dua figur laki-laki, satu wanita hamil, dan satu figur abstrak. Semuanya tengah duduk berjejer.
Kemudian wanita hamil (2000), figur seorang ibu hamil yang sedang duduk dengan menggunakan teknis etsa. Ibu dan anak (2000) menggunakan silkscreen , memperlihatkan ibu yang sedang memangku anaknya di bawah pohon. Sedangkan, kehidupan kaum papa diberikan ruang khusus di bagian paling belakang pameran. Ruang khusus bernama Kehidupan I, II, III, IV.
Karya yang dibuat pada tahun 1997 ini telah dihibahkan menjadi milik GNI. Ada empat karya instalasi grafis menggunakan dimensi variabel berwarna kuning, hijau, merah, dan biru. Masing-masing warna memiliki cerita dan arti sendiri. Warna kuning menggambarkan sosokorangyangsedangmenggendong anak. Warna hijau adalah seorang pedagang minuman, sedangkan warna merah adalah penjual jamu gendong.
Dan, warna biru adalah sosok penjual koran. Marida juga menampilkan karya bebas yang disesuaikan dengan suasana hatinya. Seperti yang berjudul Semangat Hidup I dan Semangat Hidup IV . Yang istimewa, pada Semangat Hidup IV, Marida ikut menampilkan foto sang nenek. Semangat Hidup IV ini berkisah tentang mbok penjual jamu gendong yang terlihat sedang berjalan dari arah belakang.
Di sampingnya terdapat foto sang nenek Marida. Kemudian di atasnya terdapat tempelan bungkus jamu yang kerap ditemui pada zaman dahulu, yakni jamu galian delima, jamu peputih (pektay), dan dua pergelangan tangan yang dibentuk dari tanah liat yang diletakkan di bawah foto sang nenek.
Sebelum dikerjakan menjadi karya grafis, biasanya Marida akan memotret objek-objek yang diinginkan. Baru, kemudian dia lanjutkan dengan teknik seni grafis. Seni grafis memang mengandalkan fasilitas atau perangkat teknologi cetak.
Karya-karya dari olahan media cetak tinggi (cukilan kayu), cetak dalam (intaglio: etsa, akuatin, drypoint , engraving ), cetak datar (litografi), dan cetak saring (serigrafi) bukan hanya berperan sebagai keunikan prosedur teknis, atau proses kreatif seorang pegrafis, tetapi identik pula dengan nilai ekspresi estetik. Seorang pegrafis berkarya terikat oleh peralatan cetak pilihannya.
Di rumahnya, almarhumah memiliki ruang kerja dengan fasilitas cetak pilihannya yakni etsa dan cetak saring. Di ruangan ini Marida melatih diri mendalami bukan sebatas permasalahan teknis tapi juga penghayatan hal tematik. Di dalam pameran juga terdapat layar televisi yang menyajikan tayangan tentang bagaimana sosok Marida di mata beberapa kawannya. Seperti seniman Jim Supangkat, Magdalena Pardede, Dolorosa Sinaga, dan lainnya. Tayangan ini bisa meng-guide pengunjung untuk lebih mengetahui dan mengenal sosok Marida saat dia masih hidup.
Garapan Etsa Terasa Hingga ke Lubuk Hati
Sementara, menurut sang kurator Setiawan Ananto, tugasnya kali ini merupakan amanah tersendiri, karena almarhumlah langsung yang mengusulkan namanya untuk menjadi kurator pameran tunggalyangtadinya direncanakan digelar pada 2009. Namun, batal karena satu dan lain hal. Dia menguraikan, secara fisik Marida adalah manusia yang ringkih, tubuh dan mentalnya sensitif akibat kelainan jantung yangdimilikinya sejaklahir.
Ukuran jantungnya lebih kecil ketimbang ukuran manusia pada umumnya. Tapi, kondisi ini tidak membuat Marida muda tunduk pada kekurangan atau kelemahan fisik. Sebaliknya, kondisi ini dijelmakan menjadi kekuatan dan kelebihan dalam diri yang mengagumkan. Menurut keterangan beberapa teman dekatnya, Marida dikenal sebagai individu pekerja keras, sering bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain, gigih dalam memperjuangkan seni grafis, berjiwa eksploratif dalam media yang ditekuninya (etsa dan cetak saring).
Tak hanya itu, dia juga berpikir kritis terhadap berbagai fenomena di perkotaan (urbanitas) Jakarta. “Lewat garapan etsa nilai rabaan natural masih terasa ke lubuk hati, lewat media cetak saring wajah-wajah kehidupan realistik dapat terpotret secara nyata, karena kemampuannya mengakomodasi imaji-imaji fotografis,” papar Setiawan.
Di ingatan sang kakak sulung, Amendi Nasution, adik keempatnya ini adalah sosok yang memiliki tekad keras dan kuat bagai baja. Terutama, untuk seni grafis yang sudah menjadi panggilan hidupnya.
Susi susanti
(ars)