Komisaris dari Politisi Jauh dari Profesional
A
A
A
JAKARTA - Munculnya sejumlah nama politisi dan relawan menjadi komisaris BUMN juga memunculkan ragam pertanyaan. Apakah ini merupakan program balas budi? Hal ini membuat sejumlah kalangan khawatir BUMN akan jadi sapi perahan dan posisinya sebagai komisaris tidak memberikan kontribusi berarti.
Mantan Sekretaris Menteri Negera BUMN Muhammad Said Didu mengatakan penunjukan politisi dan relawan sebagai komisaris BUMN sah-sah saja. “Selama aturannya seperti ini, hal itu pasti selalu terjadi. Setiap masa pemerintahan pasti selalu terjadi, jadi bukan hanya saat ini saja. Saya mengalami dua kali, pada 2004 dan 2009,” katanya Selasa pekan ini.
Kepada Budi Yuni Harto dari SINDO Weekly, Said Didu juga mengatakan kinerja komisaris dari politisi itu jauh dari profesional. “Saya belum pernah sama sekali ketemu dari politisi yang menunjukkan kalau dia mau memajukan perusahaan dan berjuang untuk perusahaan. Saya enggak tahu apa mereka belajar lagi, tapi kayaknya tidak ada yang belajar, hanya menikmati saja,” katanya.
Apa pandangan Anda ketika beberapa politisi dan relawan menjadi komisaris BUMN di era Jokowi-JK ini?
Selama aturannya seperti ini, hal itu pasti selalu terjadi. Setiap masa pemerintahan pasti selalu terjadi, jadi bukan hanya saat ini saja. Saya mengalami dua kali, pada 2004 dan 2009. Jadi kalau pemerintahan baru itu selalu seperti itu. Hal itu sah-sah saja.
Dulu juga baik dari tim sukses maupun tim partai itu mengusulkan nama-nama calon komisaris sampai 400 orang. Tapi setelah saya seleksi, yang punya kompetensi korporasi itu sekitar 50-an orang saja.
Pada masa itu siapa yang menyeleksi?
Saya sendiri yang seleksi. Kan masalahnya belum ada mekanisme seleksi untuk komisaris. Kalau untuk direksi itu ada mekanismenya seperti fit and proper test, tapi kalau mekanisme penunjukkan komisaris tidak ada sampai sekarang.
Apakah ada standar khusus untuk menjadi seorang komisaris di BUMN?
Tidak ada, yang ada hanya persyaratan umum saja. Misalnya bertakwa kepada Tuhan YME, memiliki keahlian, tidak menjadi pengurus parpol. Kan semua itu bisa.
Apakah keuntungan dan kerugian masuknya politisi atau relawan jadi komisaris BUMN?
Belum tentu merugikan, tapi yang jelas sekarang seakan-akan untuk menjadi komisaris BUMN pintunya adalah masuk parpol. Padahal ini kan jalur jabatan profesional, sehingga kalau ada peluang terjadi intervensi itu pasti. Lebih tinggi terjadi intervensi kalau orang parpol dari pada bukan orang parpol yang jadi komisaris BUMN. Kalau nantinya terjadi intervensi atau tidak, belum tentu juga. Semua tergantung kepada orangnya apakah akan membawa BUMN itu baik atau malah menjadi buruk.
Berapa gaji yang diberikan untuk komisaris BUMN itu?
Kalau gaji, untuk komisaris bank itu sekitar 50% dari gaji direktur utama. Kalau bank itu kan gaji dirutnya di atas Rp200 juta, itu artinya gajinya komisaris di atas Rp100 juta.
Apa fasilitas yang diberikan untuk komisaris?
Macam-macam, ada yang mendapatkan mobil, ada yang mendapatkan rumah.
Bagaimana Anda melihat kinerja politikus atau tim sukses yang menjadi komisaris?
Saya melihat sih jauh dengan yang profesional. Saya belum pernah sama sekali ketemu dari politisi yang menunjukkan kalau dia mau memajukan perusahaan dan berjuang untuk perusahaan. Apa mereka harus belajar lagi? Saya enggak tahu apa mereka belajar lagi, tapi kayaknya tidak ada yang belajar, hanya menikmati saja.
Pemberian posisi komisaris ini nampak seperti balas jasa. Apakah perlu ada mekanisme agar yang terpilih bisa profesional?
Harapan saya harus ada mekanisme objektif dalam penentuan komisaris dan juga harus ada sistem fit and proper test seperti halnya direksi. Saya hanya berharap kita harus objektif, jangan hanya politisi dan tim sukses yang disorot. Ada juga pengamat yang sering bicara di media atau di manapun tiap hari, sudah ada yang yang 25 tahun pindah-pindah saja di BUMN dan tidak pernah kerja juga.
Mantan Sekretaris Menteri Negera BUMN Muhammad Said Didu mengatakan penunjukan politisi dan relawan sebagai komisaris BUMN sah-sah saja. “Selama aturannya seperti ini, hal itu pasti selalu terjadi. Setiap masa pemerintahan pasti selalu terjadi, jadi bukan hanya saat ini saja. Saya mengalami dua kali, pada 2004 dan 2009,” katanya Selasa pekan ini.
Kepada Budi Yuni Harto dari SINDO Weekly, Said Didu juga mengatakan kinerja komisaris dari politisi itu jauh dari profesional. “Saya belum pernah sama sekali ketemu dari politisi yang menunjukkan kalau dia mau memajukan perusahaan dan berjuang untuk perusahaan. Saya enggak tahu apa mereka belajar lagi, tapi kayaknya tidak ada yang belajar, hanya menikmati saja,” katanya.
Apa pandangan Anda ketika beberapa politisi dan relawan menjadi komisaris BUMN di era Jokowi-JK ini?
Selama aturannya seperti ini, hal itu pasti selalu terjadi. Setiap masa pemerintahan pasti selalu terjadi, jadi bukan hanya saat ini saja. Saya mengalami dua kali, pada 2004 dan 2009. Jadi kalau pemerintahan baru itu selalu seperti itu. Hal itu sah-sah saja.
Dulu juga baik dari tim sukses maupun tim partai itu mengusulkan nama-nama calon komisaris sampai 400 orang. Tapi setelah saya seleksi, yang punya kompetensi korporasi itu sekitar 50-an orang saja.
Pada masa itu siapa yang menyeleksi?
Saya sendiri yang seleksi. Kan masalahnya belum ada mekanisme seleksi untuk komisaris. Kalau untuk direksi itu ada mekanismenya seperti fit and proper test, tapi kalau mekanisme penunjukkan komisaris tidak ada sampai sekarang.
Apakah ada standar khusus untuk menjadi seorang komisaris di BUMN?
Tidak ada, yang ada hanya persyaratan umum saja. Misalnya bertakwa kepada Tuhan YME, memiliki keahlian, tidak menjadi pengurus parpol. Kan semua itu bisa.
Apakah keuntungan dan kerugian masuknya politisi atau relawan jadi komisaris BUMN?
Belum tentu merugikan, tapi yang jelas sekarang seakan-akan untuk menjadi komisaris BUMN pintunya adalah masuk parpol. Padahal ini kan jalur jabatan profesional, sehingga kalau ada peluang terjadi intervensi itu pasti. Lebih tinggi terjadi intervensi kalau orang parpol dari pada bukan orang parpol yang jadi komisaris BUMN. Kalau nantinya terjadi intervensi atau tidak, belum tentu juga. Semua tergantung kepada orangnya apakah akan membawa BUMN itu baik atau malah menjadi buruk.
Berapa gaji yang diberikan untuk komisaris BUMN itu?
Kalau gaji, untuk komisaris bank itu sekitar 50% dari gaji direktur utama. Kalau bank itu kan gaji dirutnya di atas Rp200 juta, itu artinya gajinya komisaris di atas Rp100 juta.
Apa fasilitas yang diberikan untuk komisaris?
Macam-macam, ada yang mendapatkan mobil, ada yang mendapatkan rumah.
Bagaimana Anda melihat kinerja politikus atau tim sukses yang menjadi komisaris?
Saya melihat sih jauh dengan yang profesional. Saya belum pernah sama sekali ketemu dari politisi yang menunjukkan kalau dia mau memajukan perusahaan dan berjuang untuk perusahaan. Apa mereka harus belajar lagi? Saya enggak tahu apa mereka belajar lagi, tapi kayaknya tidak ada yang belajar, hanya menikmati saja.
Pemberian posisi komisaris ini nampak seperti balas jasa. Apakah perlu ada mekanisme agar yang terpilih bisa profesional?
Harapan saya harus ada mekanisme objektif dalam penentuan komisaris dan juga harus ada sistem fit and proper test seperti halnya direksi. Saya hanya berharap kita harus objektif, jangan hanya politisi dan tim sukses yang disorot. Ada juga pengamat yang sering bicara di media atau di manapun tiap hari, sudah ada yang yang 25 tahun pindah-pindah saja di BUMN dan tidak pernah kerja juga.
(kur)