Nongkojajar Siap Jadi Kawasan Bebas Elpiji
A
A
A
Sebagai sentra peternakan sapi perah, Kecamatan Tutur (Nongkojajar), Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, berobsesi melepaskan ketergantungan dari penggunaan bahan bakar elpiji.
Obsesi ini bukanlah berlebihan karena 40% peternak sapi perah telah memanfaatkan teknologi biogas sebagai bahan bakar ramah lingkungan. Sejak gencar disosialisasikan pada 2008, saat ini telah terbangun 1.350 reaktor biogas di 12 desa di Kecamatan Tutur. Satu reaktor dengan kapasitas 8 meter kubik mampu menyuplai kebutuhan gas ramah lingkungan pada dua rumah tangga.
Gas metan ini berasal dari kotoran tiga ekor sapi yang selama ini dibuang sembarangan. Saat ini lima pedukuhan yakni Gunungsari, Ngepring, Dukutan, Cemoro, dan Kumbo, 100% warganya sudah memanfaatkan teknologi biogas untuk kebutuhan rumah tangga. Sejak menggunakan biogas yang instalasinya tersambung ke dapur, mereka tidak lagi menggunakan elpiji dan minyak tanah sebagai bahan bakar rumah tangga.
Melalui donasi Hivos, LSM Lingkungan dari Belanda, para peternak mendapat suntikan dana 1/4 dari total biaya pembuatan reaktor biogas yang mencapai Rp7,5 juta. Sisanya dibiayai dari pinjaman Koperasi Peternak Sapi Perah (KPSP) Setia Kawan Nongkojajar. Sementara peternak mengangsur dari menyisihkan hasil setoran susu sapi.
”Para peternak cukup menyatakan kemauannya membangun reaktor biogas, mereka tidak dipungut biaya sama sekali. Seluruh biaya akan ditanggung koperasi. Mereka melunasi 3/4 dari biaya dengan sistem kredit yang disisihkan dari setoran susu,” kata Hariyanto, penasihat KPSP Setia Kawan. Menurut Hariyanto, meski tidak dibebani biaya sama sekali, untuk membangun kesadaran peternak membutuhkan waktu lama.
Berbagai kekhawatiran menghantui benak para peternak tradisional itu. Meski saat ini telah banyak yang merasakan manfaat penggunaan biogas, masih di bawah 50% dari sekitar 6.000 peternak yang telah membangun reaktor biogas. ”Kami juga menyediakan tim ahli untuk merekayasa desain reaktor biogas. Jika peternak memiliki lahan terbatas, reaktor bisa dibangun di bawah kandang sapi. Reaktor ini cukup aman hingga 30 tahun mendatang. Kami berobsesi, Kecamatan Tutur akan bebas menggunakan elpiji pada masa mendatang,” tuturnya.
Munawaroh, 30, warga Desa Gendro, Kecamatan Tutur, mengungkapkan, selama dua tahun menggunakan biogas, dia telah menghemat biaya rumah tangga hingga Rp400.000 per bulan. Dia sudah tidak lagi mengeluarkan biaya bulanan pembelian elpiji.
”Pemakaian elpiji rata-rata 4-5 tabung per bulan. Sekarang sudah tidak memakai lagi. Biogas ini juga bisa digunakan sebagai lampu penerangan yang dimodifikasi dari lampu petromak,” kata Munawaroh.
Arie Yoenianto
Pasuruan
Obsesi ini bukanlah berlebihan karena 40% peternak sapi perah telah memanfaatkan teknologi biogas sebagai bahan bakar ramah lingkungan. Sejak gencar disosialisasikan pada 2008, saat ini telah terbangun 1.350 reaktor biogas di 12 desa di Kecamatan Tutur. Satu reaktor dengan kapasitas 8 meter kubik mampu menyuplai kebutuhan gas ramah lingkungan pada dua rumah tangga.
Gas metan ini berasal dari kotoran tiga ekor sapi yang selama ini dibuang sembarangan. Saat ini lima pedukuhan yakni Gunungsari, Ngepring, Dukutan, Cemoro, dan Kumbo, 100% warganya sudah memanfaatkan teknologi biogas untuk kebutuhan rumah tangga. Sejak menggunakan biogas yang instalasinya tersambung ke dapur, mereka tidak lagi menggunakan elpiji dan minyak tanah sebagai bahan bakar rumah tangga.
Melalui donasi Hivos, LSM Lingkungan dari Belanda, para peternak mendapat suntikan dana 1/4 dari total biaya pembuatan reaktor biogas yang mencapai Rp7,5 juta. Sisanya dibiayai dari pinjaman Koperasi Peternak Sapi Perah (KPSP) Setia Kawan Nongkojajar. Sementara peternak mengangsur dari menyisihkan hasil setoran susu sapi.
”Para peternak cukup menyatakan kemauannya membangun reaktor biogas, mereka tidak dipungut biaya sama sekali. Seluruh biaya akan ditanggung koperasi. Mereka melunasi 3/4 dari biaya dengan sistem kredit yang disisihkan dari setoran susu,” kata Hariyanto, penasihat KPSP Setia Kawan. Menurut Hariyanto, meski tidak dibebani biaya sama sekali, untuk membangun kesadaran peternak membutuhkan waktu lama.
Berbagai kekhawatiran menghantui benak para peternak tradisional itu. Meski saat ini telah banyak yang merasakan manfaat penggunaan biogas, masih di bawah 50% dari sekitar 6.000 peternak yang telah membangun reaktor biogas. ”Kami juga menyediakan tim ahli untuk merekayasa desain reaktor biogas. Jika peternak memiliki lahan terbatas, reaktor bisa dibangun di bawah kandang sapi. Reaktor ini cukup aman hingga 30 tahun mendatang. Kami berobsesi, Kecamatan Tutur akan bebas menggunakan elpiji pada masa mendatang,” tuturnya.
Munawaroh, 30, warga Desa Gendro, Kecamatan Tutur, mengungkapkan, selama dua tahun menggunakan biogas, dia telah menghemat biaya rumah tangga hingga Rp400.000 per bulan. Dia sudah tidak lagi mengeluarkan biaya bulanan pembelian elpiji.
”Pemakaian elpiji rata-rata 4-5 tabung per bulan. Sekarang sudah tidak memakai lagi. Biogas ini juga bisa digunakan sebagai lampu penerangan yang dimodifikasi dari lampu petromak,” kata Munawaroh.
Arie Yoenianto
Pasuruan
(ars)