Cegah ISIS, RI Perkuat Stabilitas Nasional
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah akan memperkuat ideologi, keamanan, dan stabilitas nasional guna mengantisipasi gerakan terorisme Islamic State Iraq and Syria (ISIS) di Indonesia.
Bagi dunia internasional, ISIS merupakan suatu gerakan Islam yang ekstrem, bertindak secara brutal, dan berbahaya. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah bertanggung jawab dalam mencegah merebaknya paham ISIS. ”Ini bukan cuma persoalan ideologi, tapi ekonomi dan politik. Ada banyak sebab, dan banyak pihak yang harus bertanggung jawab kenapa ini terjadi,” ujarnya saat menghadiri acara International Conference on Terrorism & ISIS di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, kemarin.
JK mengakui ISIS merupakan gerakan paling cepat berkembang. Hanya dalam kurun waktu 3-4 tahun, gerakan ini didukung oleh 20.000 pengikut dari 80 negara termasuk negaranegara Barat dan Eropa untuk mewujudkan apa yang disebut khilafah. Kondisi ini berawal dari Arab Spring atau revolusi di negara- negara Arab karena menolak kepemimpinan yang otoriter.
”Suka atau tidak suka gerakan ini akan mudah muncul sebagai buah dari lemahnya negara. Ada di Irak, Suriah, dan Libya bahkan Nigeria dengan Boko Haram,” katanya. Menurut JK, agar hal itu tidak terjadi di Indonesia maka stabilitas nasional harus stabil. Pasalnya, kelemahan suatu negara akan memudahkan ideologi semacam itu masuk memengaruhi pemikiran masyarakat.
”Negara yang stabil tidak mudah dimasuki ideologi seperti ini. Karena itu, bangsa ini harus bersatu, memperbaiki ekonomi, dan bersikap adil,” katanya. Disinggung soal banyaknya warga negara Indonesia (WNI) yang kini menjadi pengikut ISIS, JK mengatakan bahwa pemerintah tidak perlu menetapkan Indonesia sebagai darurat teroris, sebab hal ini berkaitan dengan pikiran yang harus diubah.
”Pikiran harus diubah dengan pikiran dan ideologi yang benar. Tanpa mengubah pemikiran dengan ideologi yang benar maka akan sulit kita menghabisi atau meredam ideologi tersebut. Kalau ekonomi diperbaiki, akan mencegah itu,” kata JK. Disinggung soal pencabutan status kewarganegaraan bagi WNI yang menjadi pengikut ISIS, JK mengatakan hal itu tidak mudah dilakukan.
”Anda tidak bisa mencabut (kewarganegaraan) orang dengan pemikirannya. Itu masalah pikiran. Ada ideologis, sekuritis, dan stabilitas nasional yang harus diperkuat,” ucapnya. Hadir dalam acara tersebut, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti, Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno, Mendagri Tjahjo Kumolo, dan Jaksa Agung HM Prasetyo.
Sementara itu, pembicara dari Nanyang Technology University, Singapura Rohan Gunaratna menyebutkan, ada 22 grup yang mendukung ISIS di kawasan Asia Tenggara. Banyak dari grup tersebut yang berbasis di Indonesia. ”Kelompok teroris di Indonesia yang aktif adalah Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) yang berevolusi dari Jamaah Islamiyah. Dan sekarang berganti nama menjadi Jamaah Anshorut Daurah pimpinan Abu Bakar Baasyir. Ini akan jadi payung untuk menyatukan berbagai kelompok- kelompok melawan Indonesia,” katanya.
Head of International Center for Political Violence and Terrorism Research ini menyatakan teroris di Indonesia memiliki akar di Timur Tengah. Paham ISIS sendiri masuk Indonesia berasal dari buku-buku pendiri ISIS yang diterjemahkan Aman Abdurrahman, kemudian diunggah ke 300 situs atau laman Asia Tenggara. Dari jumlah itu, 200 laman di antaranya berbahasa dan berada di Indonesia.
”Untuk melindungi generasi muda maka situs tersebut harus dilarang meskipun Indonesia adalah negara demokrasi,” ucapnya. Mantan Kepala BIN AM Hendropriyono mengatakan, konferensi ini bertujuan menggugah semangat semua pihak dalam menghadapi ISIS. Menurut Hendro, Indonesia berada di ambang perang hibrida. ”Kita dalam perang pikiran. Kita juga perang di dunia maya. Semua harus bahu-membahu dalam menghadapi ancaman bangsa,” katanya.
Menurut Hendro, masyarakat tidak bisa bersandar kepada pemerintah karena banyaknya pekerjaan dan keterbatasan yang dimilikinya. Hendro menegaskan bahaya sudah di ambang pintu. Karena itu, masyarakat harus bergandengan tangan mengatasi persoalan bersama. ”Ini tanggung jawab kita sendiri. Maka kita bergerak bersama. Saya ingatkan kepada seluruh masyarakat bahwa kehancuran suatu bangsa tidak disebabkan segelintir orang, tetapi oleh mayoritas yang diam,” ucapnya.
Pengamat intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati menilai ideologi ISIS harus dilawan. Perlawanan yang dilakukan lebih pada mindset di mana ideologi yang tidak benar dan memiliki perspektif salah terhadap jihad jangan dibiarkan berkembang. ”ISIS harus ditutup jaringannya di Indonesia yang akarnya sudah ada sejak munculnya kelompok jihadis di masa lalu,” katanya.
Menurut Nuning, pemerintah harus menutup situs internet yang berisi penyebaran-penyebaran paham ISIS. Demikian juga dengan media sosial yang begitu gampang diakses dan sarat pengaruh ajaran-ajaran ISIS. ”Selalu ada cara untuk memfilternya. Ini harus ada kesepakatan untuk menindaknya, sebab ISIS berkembang di Indonesia karena para pengikutnya keliru dalam memahami perkembangan global sehingga disikapi dengan radikalisme,” katanya.
Nuning menambahkan, paham ISIS bukan suatu yang baru karena dalam sejarah Indonesia; ada ideologi sejenis yang pernah berkembang yakni Daulah Islamiyah, yaitu gerakan Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (NII) yang melahirkan berbagai gerakan pemberontakan di masa lalu.
”Suatu fakta bahwa aspiran DI/NII masih hidup di antara kalangan masyarakat kita, dan apa yang disuarakan ISIS dapat mereka terima dan dukung, bahkan dianggap sebagai panggilan jihad,” katanya.
Sucipto
Bagi dunia internasional, ISIS merupakan suatu gerakan Islam yang ekstrem, bertindak secara brutal, dan berbahaya. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah bertanggung jawab dalam mencegah merebaknya paham ISIS. ”Ini bukan cuma persoalan ideologi, tapi ekonomi dan politik. Ada banyak sebab, dan banyak pihak yang harus bertanggung jawab kenapa ini terjadi,” ujarnya saat menghadiri acara International Conference on Terrorism & ISIS di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, kemarin.
JK mengakui ISIS merupakan gerakan paling cepat berkembang. Hanya dalam kurun waktu 3-4 tahun, gerakan ini didukung oleh 20.000 pengikut dari 80 negara termasuk negaranegara Barat dan Eropa untuk mewujudkan apa yang disebut khilafah. Kondisi ini berawal dari Arab Spring atau revolusi di negara- negara Arab karena menolak kepemimpinan yang otoriter.
”Suka atau tidak suka gerakan ini akan mudah muncul sebagai buah dari lemahnya negara. Ada di Irak, Suriah, dan Libya bahkan Nigeria dengan Boko Haram,” katanya. Menurut JK, agar hal itu tidak terjadi di Indonesia maka stabilitas nasional harus stabil. Pasalnya, kelemahan suatu negara akan memudahkan ideologi semacam itu masuk memengaruhi pemikiran masyarakat.
”Negara yang stabil tidak mudah dimasuki ideologi seperti ini. Karena itu, bangsa ini harus bersatu, memperbaiki ekonomi, dan bersikap adil,” katanya. Disinggung soal banyaknya warga negara Indonesia (WNI) yang kini menjadi pengikut ISIS, JK mengatakan bahwa pemerintah tidak perlu menetapkan Indonesia sebagai darurat teroris, sebab hal ini berkaitan dengan pikiran yang harus diubah.
”Pikiran harus diubah dengan pikiran dan ideologi yang benar. Tanpa mengubah pemikiran dengan ideologi yang benar maka akan sulit kita menghabisi atau meredam ideologi tersebut. Kalau ekonomi diperbaiki, akan mencegah itu,” kata JK. Disinggung soal pencabutan status kewarganegaraan bagi WNI yang menjadi pengikut ISIS, JK mengatakan hal itu tidak mudah dilakukan.
”Anda tidak bisa mencabut (kewarganegaraan) orang dengan pemikirannya. Itu masalah pikiran. Ada ideologis, sekuritis, dan stabilitas nasional yang harus diperkuat,” ucapnya. Hadir dalam acara tersebut, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti, Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno, Mendagri Tjahjo Kumolo, dan Jaksa Agung HM Prasetyo.
Sementara itu, pembicara dari Nanyang Technology University, Singapura Rohan Gunaratna menyebutkan, ada 22 grup yang mendukung ISIS di kawasan Asia Tenggara. Banyak dari grup tersebut yang berbasis di Indonesia. ”Kelompok teroris di Indonesia yang aktif adalah Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) yang berevolusi dari Jamaah Islamiyah. Dan sekarang berganti nama menjadi Jamaah Anshorut Daurah pimpinan Abu Bakar Baasyir. Ini akan jadi payung untuk menyatukan berbagai kelompok- kelompok melawan Indonesia,” katanya.
Head of International Center for Political Violence and Terrorism Research ini menyatakan teroris di Indonesia memiliki akar di Timur Tengah. Paham ISIS sendiri masuk Indonesia berasal dari buku-buku pendiri ISIS yang diterjemahkan Aman Abdurrahman, kemudian diunggah ke 300 situs atau laman Asia Tenggara. Dari jumlah itu, 200 laman di antaranya berbahasa dan berada di Indonesia.
”Untuk melindungi generasi muda maka situs tersebut harus dilarang meskipun Indonesia adalah negara demokrasi,” ucapnya. Mantan Kepala BIN AM Hendropriyono mengatakan, konferensi ini bertujuan menggugah semangat semua pihak dalam menghadapi ISIS. Menurut Hendro, Indonesia berada di ambang perang hibrida. ”Kita dalam perang pikiran. Kita juga perang di dunia maya. Semua harus bahu-membahu dalam menghadapi ancaman bangsa,” katanya.
Menurut Hendro, masyarakat tidak bisa bersandar kepada pemerintah karena banyaknya pekerjaan dan keterbatasan yang dimilikinya. Hendro menegaskan bahaya sudah di ambang pintu. Karena itu, masyarakat harus bergandengan tangan mengatasi persoalan bersama. ”Ini tanggung jawab kita sendiri. Maka kita bergerak bersama. Saya ingatkan kepada seluruh masyarakat bahwa kehancuran suatu bangsa tidak disebabkan segelintir orang, tetapi oleh mayoritas yang diam,” ucapnya.
Pengamat intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati menilai ideologi ISIS harus dilawan. Perlawanan yang dilakukan lebih pada mindset di mana ideologi yang tidak benar dan memiliki perspektif salah terhadap jihad jangan dibiarkan berkembang. ”ISIS harus ditutup jaringannya di Indonesia yang akarnya sudah ada sejak munculnya kelompok jihadis di masa lalu,” katanya.
Menurut Nuning, pemerintah harus menutup situs internet yang berisi penyebaran-penyebaran paham ISIS. Demikian juga dengan media sosial yang begitu gampang diakses dan sarat pengaruh ajaran-ajaran ISIS. ”Selalu ada cara untuk memfilternya. Ini harus ada kesepakatan untuk menindaknya, sebab ISIS berkembang di Indonesia karena para pengikutnya keliru dalam memahami perkembangan global sehingga disikapi dengan radikalisme,” katanya.
Nuning menambahkan, paham ISIS bukan suatu yang baru karena dalam sejarah Indonesia; ada ideologi sejenis yang pernah berkembang yakni Daulah Islamiyah, yaitu gerakan Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (NII) yang melahirkan berbagai gerakan pemberontakan di masa lalu.
”Suatu fakta bahwa aspiran DI/NII masih hidup di antara kalangan masyarakat kita, dan apa yang disuarakan ISIS dapat mereka terima dan dukung, bahkan dianggap sebagai panggilan jihad,” katanya.
Sucipto
(ars)