Memaknai Kembali Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
A
A
A
Masa depan negara Indonesia sepenuhnya bergantung pada tersedianya generasi muda yang bermutu.
Ironisnya, ancaman terhadap masa depan generasi muda Indonesia saat ini berada pada titik yang mengkhawatirkan. Secara nyata berbagai permasalahan sudah menerpa generasi muda Indonesia, seperti kasus begal yang melibatkan siswa-siswa sekolah, kasus kenakalan remaja seperti gang motor, vandalisme, tawuran antar pelajar, tingginya kasus narkoba, ancaman terorisme yang melibatkan generasi muda, virus korupsi dan berbagai tindakan intoleransi akibatnya rapuhnya nilai-nilai kebangsaan.
Karena begitu kompleks permasalahan yang dihadapi maupun mengancam generasi muda Indonesia, sehingga menjadi keprihatinan nasional. Contohnya, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam untuk menyelamatkan generasi muda dari narkoba hingga Presiden Jokowi menyatakan bahwa Indonesia dalam Darurat Narkoba.
Kementerian Pendidikan juga sudah berkali-kali mengganti kurikulum dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan, bahkan program peningkatan mutu pendidikan dengan meningkatkan mutu pendidik sudah dijalankan, namun belum mampu mengurai aneka permasalahan generasi muda secara maksimal. Tak bisa dimungkiri bahwa pendidikan adalah kawah Candradimuka untuk menyiapkan generasi muda yang berkualitas.
Ironisnya berbagai permasalahan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini sudah disampaikan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka, namun seolah masih menjadi sesuatu yang baru. Menurut hemat saya, pengkajian kembali konsep dan pemikiran Bapak Pendidikan Nasional Indonesia tentang pendidikan perlu dilakukan.
Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara juga disebut Sang Maestro Pendidikan Indonesia karena telah meletakkan fondasi dasar konsep-konsep dan pemikirannya tentang pendidikan. Pemikiran beliau tentang pendidikan yang diperkenalkan jauh-jauh hari sebelum kemerdekaan Indonesia masih sangat relevan dengan kondisi yang terjadi saat ini.
Pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara juga tidak kalah dengan pemikiran dan teori pendidikan modern. Misalnya, Ki Hadjar Dewantara jauh lebih dulu mengenalkan konsep Tri- Nga yang terdiri dari Ngerti (kognitif), Ngrasa (afektif) dan Nglakoni (psikomotorik) dari Taxonomy Bloom (cognitive, affective, psychomotor) yang terkenal.
Konsep-konsep Ki Hadjar Dewantara tersebut diimplementasikan di Tamansiswa yang berdiri 3 Juli 1922, sedangkan Taxonomy Bloom dikenalkan pada tahun 1956 oleh Dr Benjamin Bloom. Ini salah satu bukti jika pemikiran Ki Hadjar Dewantara tidak kalah dengan ilmuwan barat.
Ki Hadjar Dewantara sebagai pejuang pendidikan sangat peduli dengan mutu pendidikan di Indonesia. Di berbagai literatur, beliau memiliki kekhawatiran yang tinggi jika pendidikan di Indonesia sampai keluar dari rel yang seharusnya. Apa yang telah dikhawatirkan oleh Ki Hadjar Dewantara telah menjadi kenyataan saat ini.
Beberapa pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang berbagai komponen wajib (core components) yang tidak boleh dianggap remeh dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Komponenkomponen tersebut selalu disinggung dalam setiap tulisan-tulisan beliau.
Pendidikan Nasionalisme atau Kebangsaan
Pada Bulan Desember 1928 dalam majalah Wasita Jilid 1 No.3, Ki Hadjar Dewantara menuliskan pentingnya pendidikan kebangsaan. Beliau menggarisbawahi jika permasalahan menepisnya rasa nasionalisme oleh bangsa Indonesia sendiri juga akibat salahnya sistem pendidikan yang ada.
Ki Hadjar Dewantara menuliskan ”Pengajaran nasional itulah pengajaran yang selaras dengan penghidupan bangsa (maatschappelijk) dan kehidupan bangsa (cultureel). Kalau pengajaran bagi anakanak kita tidak berdasarkan kenasionalan, sudah tentu anak-anak kita tak akan mengetahui keperluan kita, lahir maupun batin; lagi pula tak mungkin anak-anak itu mempunyai rasa cinta bangsa dan makin lama makin terpisah dari bangsanya, kemudian barangkali menjadi lawan kita”.
Dalam Wasita Jilid II No 1-2 Edisi Juli- Agustus terbitan 1930, Ki Hadjar Dewantara lebih lanjut menekankan pentingnya pendidikan yang meng-Indonesia: ”Kalau ada anak muda yang lalu sombong, sampai berani melukai perasaan orang tuannya maupun bangsanya, itulah buah pengajaran dan pendidikan yang tidak berkebangsaan. Pendidikan kita harus dan hendak memberi perasaan yang penuh terhadap kebangsaan.”
Apa yang dikhawatirkan Ki Hadjar Dewantara di atas dengan mudah kita jumpai saat ini. Berbagai tindakan generasi muda telah menjadi bumerang bagi bangsa Indonesia. Adanya gerakan teroris dan radikalisme di Indonesia sudah menjadi bukti nyata pentingnya kehadiran pendidikan nasionalisme.
Pendidikan Budi Pekerti atau Karakter
Pendidikan budi pekerti telah menjadi materi yang wajib dan hangat di dalam dunia pendidikan saat ini sebenarnya sudah menjadi kekhawatiran Ki Hadjar Dewantara. Pada tahun 1936 dalam sebuah buku Keluarga, Ki Hadjar Dewantara menguraikan pentingnya pendidikan budi pekerti.
”Budi pekerti, watak atau karakter, itulah bersatunya gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan, yang lalu menimbulkan tenaga. Ketahuilah jika budi itu berarti pikiran, perasaan, dan kemauan, dan pekerti itu artinya tenaga. Jadi budi pekerti itu sifatnya jiwa manusia, mulai anganangan hingga terjelma sebagai tenaga.”
Jadi,menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan sebaiknya mampu mengalahkan dasardasar jiwa manusia untuk melenyapkan atau menutupi sifat- sifat manusia yang jahat. Jadi sangatlah tidak tepat jika pendidikan memisahkan antara pikiran dan tindakan. Pendidikan tidak boleh hanya sebatas teori.
Vandalisme dan terorisme
Vandalisme dan terorisme saat ini menjadi isu yang hangat. Dalam Majalah Pusara terbitan Agustus 1933, Ki Hadjar Dewantara telah menyinggung permasalahan vandalisme dan terorisme. Dalam jiwa manusia terhadap jiwa yang jahat yang berakibat buruk bagi diri sendiri maupun orang lain.
Menurut Ki Hadjar, vandalisme dengan mudah bisa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika anak-anak mencoret-coret bukunya sendiri atau melakukan tindakan yang merusak barang miliki orang lain. Di kehidupan saat ini dengan mudah dijumpai corat-coret dengan menggunakan cat. Dalam konsep terorisme, manusia memiliki sifat untuk meneror atau menakut-nakuti orang lain seperti kasus begal yang saat ini menjadi fenomena di mana-mana.
Pelaksanaan Trisentra Pendidikan
Pada tahun 1937 Ki Hadjar Dewantara memperkenalkan tiga konsep pendidikan, yaitu keluarga, sekolah atau perguruan, dan masyarakat. Pendidikan tidak bisa bertepuk sebelah tangan.
Misalnya, jika di sekolah anak-anak diajarkan membuang sampah pada tempatnya, tetapi di dalam lingkungan keluarga tidak pernah dibiasakan membuang sampah pada tempatnya bahkan dalam kehidupan masyarakat tidak ada kebiasaan menjaga lingkungan bersih dan dibiasakan membuang sampah di mana-mana maka pendidikan budi pekerti menjaga kebersihan tidak akan berhasil. Jika Trisentra pendidikan ini dijalankan secara sinergis, maka terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya bukan suatu keniscayaan.
Konsep Mobilisasi Intelektual Nasional
Pada 1936 pada buku Keluarga, Ki Hadjar Dewantara mengenalkan sebuah semboyan ”tiap-tiap orang jadi guru; tiaptiap rumah jadi perguruan”. Maksud dari semboyan di atas adalah Ki Hadjar Dewantara menganjurkan adanya ”mobilisasi intelektual nasional” agar setiap orang mengadakan gerakan ”wajib belajar” sendiri dengan menjadikan rumah sebagai ”perguruannya”.
Jika setiap elemen masyarakat sadar dengan masa depan generasi muda dan sadar jika dirinya adalah seorang guru bagi anggota keluarganya maka tujuan pendidikan akan terwujud dengan mudah.
Kesimpulan
Ki Hadjar Dewantara adalah seorang pejuang pendidikan sejati dengan konsep- konsep dan pemikiran pendidikan visioner untuk menjawab berbagai permasalahan dunia pendidikan di Indonesia. Setiap konsep pemikiran yang disampaikannya memiliki nilai filosofis yang tinggi.
Konsep-konsep pendidikan yang diperkenalkannya juga berdasarkan pada jiwa ke-Indonesiaan atau kearifan lokal yang bersumber langsung pada akar permasalahan Indonesia. Inilah sebuah konsep pendidikan yang memiliki jati diri atau identitas Indonesia yang sebenarnya yang tidak ditemukan dalam kebanyakan teori-teori pendidikan barat.
Oleh karena itu, pengkajian kembali konsep dan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan bisa menjadi solusi praktis untuk mengatasi permasalahan pendidikan yang kian kompleks. Salam pendidikan.
Nanang Bagus Subekti
Akademikus dan Peneliti Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta Berpacu Mempertahankan
Ironisnya, ancaman terhadap masa depan generasi muda Indonesia saat ini berada pada titik yang mengkhawatirkan. Secara nyata berbagai permasalahan sudah menerpa generasi muda Indonesia, seperti kasus begal yang melibatkan siswa-siswa sekolah, kasus kenakalan remaja seperti gang motor, vandalisme, tawuran antar pelajar, tingginya kasus narkoba, ancaman terorisme yang melibatkan generasi muda, virus korupsi dan berbagai tindakan intoleransi akibatnya rapuhnya nilai-nilai kebangsaan.
Karena begitu kompleks permasalahan yang dihadapi maupun mengancam generasi muda Indonesia, sehingga menjadi keprihatinan nasional. Contohnya, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam untuk menyelamatkan generasi muda dari narkoba hingga Presiden Jokowi menyatakan bahwa Indonesia dalam Darurat Narkoba.
Kementerian Pendidikan juga sudah berkali-kali mengganti kurikulum dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan, bahkan program peningkatan mutu pendidikan dengan meningkatkan mutu pendidik sudah dijalankan, namun belum mampu mengurai aneka permasalahan generasi muda secara maksimal. Tak bisa dimungkiri bahwa pendidikan adalah kawah Candradimuka untuk menyiapkan generasi muda yang berkualitas.
Ironisnya berbagai permasalahan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini sudah disampaikan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka, namun seolah masih menjadi sesuatu yang baru. Menurut hemat saya, pengkajian kembali konsep dan pemikiran Bapak Pendidikan Nasional Indonesia tentang pendidikan perlu dilakukan.
Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara juga disebut Sang Maestro Pendidikan Indonesia karena telah meletakkan fondasi dasar konsep-konsep dan pemikirannya tentang pendidikan. Pemikiran beliau tentang pendidikan yang diperkenalkan jauh-jauh hari sebelum kemerdekaan Indonesia masih sangat relevan dengan kondisi yang terjadi saat ini.
Pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara juga tidak kalah dengan pemikiran dan teori pendidikan modern. Misalnya, Ki Hadjar Dewantara jauh lebih dulu mengenalkan konsep Tri- Nga yang terdiri dari Ngerti (kognitif), Ngrasa (afektif) dan Nglakoni (psikomotorik) dari Taxonomy Bloom (cognitive, affective, psychomotor) yang terkenal.
Konsep-konsep Ki Hadjar Dewantara tersebut diimplementasikan di Tamansiswa yang berdiri 3 Juli 1922, sedangkan Taxonomy Bloom dikenalkan pada tahun 1956 oleh Dr Benjamin Bloom. Ini salah satu bukti jika pemikiran Ki Hadjar Dewantara tidak kalah dengan ilmuwan barat.
Ki Hadjar Dewantara sebagai pejuang pendidikan sangat peduli dengan mutu pendidikan di Indonesia. Di berbagai literatur, beliau memiliki kekhawatiran yang tinggi jika pendidikan di Indonesia sampai keluar dari rel yang seharusnya. Apa yang telah dikhawatirkan oleh Ki Hadjar Dewantara telah menjadi kenyataan saat ini.
Beberapa pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang berbagai komponen wajib (core components) yang tidak boleh dianggap remeh dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Komponenkomponen tersebut selalu disinggung dalam setiap tulisan-tulisan beliau.
Pendidikan Nasionalisme atau Kebangsaan
Pada Bulan Desember 1928 dalam majalah Wasita Jilid 1 No.3, Ki Hadjar Dewantara menuliskan pentingnya pendidikan kebangsaan. Beliau menggarisbawahi jika permasalahan menepisnya rasa nasionalisme oleh bangsa Indonesia sendiri juga akibat salahnya sistem pendidikan yang ada.
Ki Hadjar Dewantara menuliskan ”Pengajaran nasional itulah pengajaran yang selaras dengan penghidupan bangsa (maatschappelijk) dan kehidupan bangsa (cultureel). Kalau pengajaran bagi anakanak kita tidak berdasarkan kenasionalan, sudah tentu anak-anak kita tak akan mengetahui keperluan kita, lahir maupun batin; lagi pula tak mungkin anak-anak itu mempunyai rasa cinta bangsa dan makin lama makin terpisah dari bangsanya, kemudian barangkali menjadi lawan kita”.
Dalam Wasita Jilid II No 1-2 Edisi Juli- Agustus terbitan 1930, Ki Hadjar Dewantara lebih lanjut menekankan pentingnya pendidikan yang meng-Indonesia: ”Kalau ada anak muda yang lalu sombong, sampai berani melukai perasaan orang tuannya maupun bangsanya, itulah buah pengajaran dan pendidikan yang tidak berkebangsaan. Pendidikan kita harus dan hendak memberi perasaan yang penuh terhadap kebangsaan.”
Apa yang dikhawatirkan Ki Hadjar Dewantara di atas dengan mudah kita jumpai saat ini. Berbagai tindakan generasi muda telah menjadi bumerang bagi bangsa Indonesia. Adanya gerakan teroris dan radikalisme di Indonesia sudah menjadi bukti nyata pentingnya kehadiran pendidikan nasionalisme.
Pendidikan Budi Pekerti atau Karakter
Pendidikan budi pekerti telah menjadi materi yang wajib dan hangat di dalam dunia pendidikan saat ini sebenarnya sudah menjadi kekhawatiran Ki Hadjar Dewantara. Pada tahun 1936 dalam sebuah buku Keluarga, Ki Hadjar Dewantara menguraikan pentingnya pendidikan budi pekerti.
”Budi pekerti, watak atau karakter, itulah bersatunya gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan, yang lalu menimbulkan tenaga. Ketahuilah jika budi itu berarti pikiran, perasaan, dan kemauan, dan pekerti itu artinya tenaga. Jadi budi pekerti itu sifatnya jiwa manusia, mulai anganangan hingga terjelma sebagai tenaga.”
Jadi,menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan sebaiknya mampu mengalahkan dasardasar jiwa manusia untuk melenyapkan atau menutupi sifat- sifat manusia yang jahat. Jadi sangatlah tidak tepat jika pendidikan memisahkan antara pikiran dan tindakan. Pendidikan tidak boleh hanya sebatas teori.
Vandalisme dan terorisme
Vandalisme dan terorisme saat ini menjadi isu yang hangat. Dalam Majalah Pusara terbitan Agustus 1933, Ki Hadjar Dewantara telah menyinggung permasalahan vandalisme dan terorisme. Dalam jiwa manusia terhadap jiwa yang jahat yang berakibat buruk bagi diri sendiri maupun orang lain.
Menurut Ki Hadjar, vandalisme dengan mudah bisa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika anak-anak mencoret-coret bukunya sendiri atau melakukan tindakan yang merusak barang miliki orang lain. Di kehidupan saat ini dengan mudah dijumpai corat-coret dengan menggunakan cat. Dalam konsep terorisme, manusia memiliki sifat untuk meneror atau menakut-nakuti orang lain seperti kasus begal yang saat ini menjadi fenomena di mana-mana.
Pelaksanaan Trisentra Pendidikan
Pada tahun 1937 Ki Hadjar Dewantara memperkenalkan tiga konsep pendidikan, yaitu keluarga, sekolah atau perguruan, dan masyarakat. Pendidikan tidak bisa bertepuk sebelah tangan.
Misalnya, jika di sekolah anak-anak diajarkan membuang sampah pada tempatnya, tetapi di dalam lingkungan keluarga tidak pernah dibiasakan membuang sampah pada tempatnya bahkan dalam kehidupan masyarakat tidak ada kebiasaan menjaga lingkungan bersih dan dibiasakan membuang sampah di mana-mana maka pendidikan budi pekerti menjaga kebersihan tidak akan berhasil. Jika Trisentra pendidikan ini dijalankan secara sinergis, maka terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya bukan suatu keniscayaan.
Konsep Mobilisasi Intelektual Nasional
Pada 1936 pada buku Keluarga, Ki Hadjar Dewantara mengenalkan sebuah semboyan ”tiap-tiap orang jadi guru; tiaptiap rumah jadi perguruan”. Maksud dari semboyan di atas adalah Ki Hadjar Dewantara menganjurkan adanya ”mobilisasi intelektual nasional” agar setiap orang mengadakan gerakan ”wajib belajar” sendiri dengan menjadikan rumah sebagai ”perguruannya”.
Jika setiap elemen masyarakat sadar dengan masa depan generasi muda dan sadar jika dirinya adalah seorang guru bagi anggota keluarganya maka tujuan pendidikan akan terwujud dengan mudah.
Kesimpulan
Ki Hadjar Dewantara adalah seorang pejuang pendidikan sejati dengan konsep- konsep dan pemikiran pendidikan visioner untuk menjawab berbagai permasalahan dunia pendidikan di Indonesia. Setiap konsep pemikiran yang disampaikannya memiliki nilai filosofis yang tinggi.
Konsep-konsep pendidikan yang diperkenalkannya juga berdasarkan pada jiwa ke-Indonesiaan atau kearifan lokal yang bersumber langsung pada akar permasalahan Indonesia. Inilah sebuah konsep pendidikan yang memiliki jati diri atau identitas Indonesia yang sebenarnya yang tidak ditemukan dalam kebanyakan teori-teori pendidikan barat.
Oleh karena itu, pengkajian kembali konsep dan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan bisa menjadi solusi praktis untuk mengatasi permasalahan pendidikan yang kian kompleks. Salam pendidikan.
Nanang Bagus Subekti
Akademikus dan Peneliti Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta Berpacu Mempertahankan
(ftr)