Dukungan DPD Golkar Tunggu PTUN
A
A
A
JAKARTA - Mayoritas pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar akan menunggu putusan final mengenai sengketa kepengurusan DPP Golkar sebelum memutuskan mengalihkan dukungan dari Aburizal Bakrie (ARB) ke Agung Laksono.
Meskipun Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) nanti mengeluarkan surat keputusan (SK) yang mengakui kepengurusan Munas Ancol yang dipimpin Agung, DPD diperkirakan tidak serta-merta akan beralih dukungan.
“Saya menduga DPD tidak begitu saja akan eksodus ke Agung meskipun nanti terbit SK Menkumham. DPD akan menunggu hasil Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang akan diajukan kubu Munas Bali,” ujar pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Agung Suprio kemarin.
Menurutnya, loyalitas DPD Golkar kepada pengurus pusat sangat cair sehingga memungkinkan mereka memilih melihat dan menunggu putusan akhir sebelum menentukan dukungan. Ada dua alasan yang menurut Agung menjadi pertimbangan DPD sehingga memilih menunggu.
Pertama, SK penetapan yang akan dikeluarkan Menkumham masih perdebatan sehingga putusan itu nanti dinilai belum mutlak. “DPD kan juga bisa melihat putusan Mahkamah Partai Golkar itu tidak bulat. Bahkan ketua mahkamah Muladi sudah menyatakan tidak ada yang diakui dalam putusan itu,” ujarnya.
Kedua, model hubungan pengurus DPD ke DPP lebih bersifat pribadi ketimbang berdasarkan ideologi kepartaian. Karena itu, faktor loyalitas pribadi lebih menentukan. “Antara ARB dan Agung ini kan masing-masing punya die hard di Golkar. Artinya, yang loyal saat ini ke ARB akan terus begitu sampai kemudian ada putusan akhir. Nah, seperti apaputusanPTUNnanti, iniyang menarik ditunggu,” ucapnya.
Agung menambahkan, pernyataan kubu Munas Ancol bahwa mereka sudah didukung 80% bisa jadi hanya klaim, apalagi kalau mereka tidak mampu menunjukkan verifikasi atas dukungan DPD tersebut. Namun dia menilai klaim seperti itu wajar dilakukan mengingat kubu Agung Laksono lemah dalam hal legitimasi politik.
“Klaim seperti itu wajar karena Agung kan hanya kuat dari legitimasi hukum, yakni diakui pemerintah. Kondisi sebaliknya terjadi pada ARB, dia ini kuat dari sisi legitimasi politik karena didukung DPD, tapi defisit dalam hal legitimasi hukum. Di situ pertarungannya,” paparnya.
Pengamat hukum tata negara Asep Warlan Yusuf mengatakan, ujung dari sengketa Golkar ini belum bisa ditebak karena jika Menkumham menerbitkan SK untuk Agung, upaya PTUN pasti ditempuh ARB. “Soal apakah proses PTUN lama atau tidak, itu tergantung kepadatan gugatannya. Bisa lebih lama kalau pihak yang dikalahkan di PTUN nanti mengajukan kasasi,” ujarnya.
Jika ARB dan Agung tetap pada pendiriannya, Asep menduga Golkar akan terus berada dalam pusaran konflik yang tak berkesudahan. “Mungkin keduanya perlu memikirkan usulan Akbar Tanjung agar menggelar munas luar biasa dengan melibatkan kedua pihak. Itu jalan terbaik jika Golkar mau diselamatkan, kader mau diselamatkan,” tandasnya.
Sementara itu, pernyataan Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar versi Munas Ancol Yorrys Raweyai yang akan merombak Fraksi Partai Golkar DPR di DPR ditanggapi santai pendukung ARB. Yorrys mengatakan akan mengganti Sekretaris Fraksi Golkar Bambang Soesatyo dengan Fayakhun Andriadi serta mencopot Wakil Ketua Komisi I Tantowi Yahya dan menggantinya dengan Meutya Hafid.
“Enggak usah repot-repot menggusur kayak rebutan lahan sengketa saja. Kalau mereka sudah berkekuatan hukum tetap, saya mundur,” kata Bambang Soesatyo kemarin.
Dia meminta kubu Agung tidak tergesa-gesa karena permainan masih panjang. Menurutnya, hasil pengadilan yang akan menentukan nanti.“Menang dululah di pengadilan baru koarkoar. Kan kasihan nanti, kalau ternyata di pengadilan kalah, jadi dobel malunya,” tandasnya.
Adapun Tantowi Yahya berpendapat, jika harus diganti dari posisinya itu risiko politik dan tidak ada yang perlu diperdebatkan. Hanya, sebelum pimpinan DPP mengambil keputusan, perlu ada keputusan akhir dulu mengenai sengketa Golkar.
Menurutnya, tugas dirinya sebagai juru bicara partai adalah menjelaskan posisi, arahan, dan kebijakan partai. Sebagai juru bicara tentu dirinya harus meluruskan apabila ada berita yang tidak benar mengenai partai. Dia menilai salah kalau dirinya hanya diam.
“Penjelasan juru bicara itu harus apa adanya tanpa bumbubumbu apalagi opini pribadi. Itulah yang saya lakukan. Memang mengatakan kebenaran itu bagi pihak yang berseberangan terdengar menyakitkan,” jelasnya.
Menurutnya, kalau kepengurusan Agung Laksono kelak dinyatakan sah berdasarkan kekuatan hukum yang tetap, dia mempersilakan untuk mengatur kepengurusan Fraksi Partai Golkar dan alat kelengkapan Dewan lainnya karena itu memang wewenang DPP.
Kiswondari/bakti m
Meskipun Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) nanti mengeluarkan surat keputusan (SK) yang mengakui kepengurusan Munas Ancol yang dipimpin Agung, DPD diperkirakan tidak serta-merta akan beralih dukungan.
“Saya menduga DPD tidak begitu saja akan eksodus ke Agung meskipun nanti terbit SK Menkumham. DPD akan menunggu hasil Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang akan diajukan kubu Munas Bali,” ujar pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Agung Suprio kemarin.
Menurutnya, loyalitas DPD Golkar kepada pengurus pusat sangat cair sehingga memungkinkan mereka memilih melihat dan menunggu putusan akhir sebelum menentukan dukungan. Ada dua alasan yang menurut Agung menjadi pertimbangan DPD sehingga memilih menunggu.
Pertama, SK penetapan yang akan dikeluarkan Menkumham masih perdebatan sehingga putusan itu nanti dinilai belum mutlak. “DPD kan juga bisa melihat putusan Mahkamah Partai Golkar itu tidak bulat. Bahkan ketua mahkamah Muladi sudah menyatakan tidak ada yang diakui dalam putusan itu,” ujarnya.
Kedua, model hubungan pengurus DPD ke DPP lebih bersifat pribadi ketimbang berdasarkan ideologi kepartaian. Karena itu, faktor loyalitas pribadi lebih menentukan. “Antara ARB dan Agung ini kan masing-masing punya die hard di Golkar. Artinya, yang loyal saat ini ke ARB akan terus begitu sampai kemudian ada putusan akhir. Nah, seperti apaputusanPTUNnanti, iniyang menarik ditunggu,” ucapnya.
Agung menambahkan, pernyataan kubu Munas Ancol bahwa mereka sudah didukung 80% bisa jadi hanya klaim, apalagi kalau mereka tidak mampu menunjukkan verifikasi atas dukungan DPD tersebut. Namun dia menilai klaim seperti itu wajar dilakukan mengingat kubu Agung Laksono lemah dalam hal legitimasi politik.
“Klaim seperti itu wajar karena Agung kan hanya kuat dari legitimasi hukum, yakni diakui pemerintah. Kondisi sebaliknya terjadi pada ARB, dia ini kuat dari sisi legitimasi politik karena didukung DPD, tapi defisit dalam hal legitimasi hukum. Di situ pertarungannya,” paparnya.
Pengamat hukum tata negara Asep Warlan Yusuf mengatakan, ujung dari sengketa Golkar ini belum bisa ditebak karena jika Menkumham menerbitkan SK untuk Agung, upaya PTUN pasti ditempuh ARB. “Soal apakah proses PTUN lama atau tidak, itu tergantung kepadatan gugatannya. Bisa lebih lama kalau pihak yang dikalahkan di PTUN nanti mengajukan kasasi,” ujarnya.
Jika ARB dan Agung tetap pada pendiriannya, Asep menduga Golkar akan terus berada dalam pusaran konflik yang tak berkesudahan. “Mungkin keduanya perlu memikirkan usulan Akbar Tanjung agar menggelar munas luar biasa dengan melibatkan kedua pihak. Itu jalan terbaik jika Golkar mau diselamatkan, kader mau diselamatkan,” tandasnya.
Sementara itu, pernyataan Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar versi Munas Ancol Yorrys Raweyai yang akan merombak Fraksi Partai Golkar DPR di DPR ditanggapi santai pendukung ARB. Yorrys mengatakan akan mengganti Sekretaris Fraksi Golkar Bambang Soesatyo dengan Fayakhun Andriadi serta mencopot Wakil Ketua Komisi I Tantowi Yahya dan menggantinya dengan Meutya Hafid.
“Enggak usah repot-repot menggusur kayak rebutan lahan sengketa saja. Kalau mereka sudah berkekuatan hukum tetap, saya mundur,” kata Bambang Soesatyo kemarin.
Dia meminta kubu Agung tidak tergesa-gesa karena permainan masih panjang. Menurutnya, hasil pengadilan yang akan menentukan nanti.“Menang dululah di pengadilan baru koarkoar. Kan kasihan nanti, kalau ternyata di pengadilan kalah, jadi dobel malunya,” tandasnya.
Adapun Tantowi Yahya berpendapat, jika harus diganti dari posisinya itu risiko politik dan tidak ada yang perlu diperdebatkan. Hanya, sebelum pimpinan DPP mengambil keputusan, perlu ada keputusan akhir dulu mengenai sengketa Golkar.
Menurutnya, tugas dirinya sebagai juru bicara partai adalah menjelaskan posisi, arahan, dan kebijakan partai. Sebagai juru bicara tentu dirinya harus meluruskan apabila ada berita yang tidak benar mengenai partai. Dia menilai salah kalau dirinya hanya diam.
“Penjelasan juru bicara itu harus apa adanya tanpa bumbubumbu apalagi opini pribadi. Itulah yang saya lakukan. Memang mengatakan kebenaran itu bagi pihak yang berseberangan terdengar menyakitkan,” jelasnya.
Menurutnya, kalau kepengurusan Agung Laksono kelak dinyatakan sah berdasarkan kekuatan hukum yang tetap, dia mempersilakan untuk mengatur kepengurusan Fraksi Partai Golkar dan alat kelengkapan Dewan lainnya karena itu memang wewenang DPP.
Kiswondari/bakti m
(ftr)