Masa Muda sang Guru Bangsa
A
A
A
ABDURRAHMAN Wahid merupakan salah satu tokoh bangsa yang unik sekaligus menarik. Demikian pula dengan kisahkisah yang mengitari hidupnya.
Beragam identitas, gelar serta julukan melekat pada sosok yang senantiasa mengenakan kacamata tebal ini. Mulai dari yang positif hingga negatif. Sebut saja misalnya, ia dikenal sebagai pembela kaum minoritas, lokomotif demokrasi dan HAM di Indonesia, Bapak Pluralisme, kiai kharismatik, hingga sebagian orang menganggapnya sebagai salah seorang wali Allah.
Secara genealogis ia keturunan orang-orang besar di negeri ini, terutama dari lingkungan pesantren yang menjadi pilar penjaga Islam di Indonesia selama ratusan tahun. Kakeknya dari ayah adalah Hadratusysyaikh Hasyim Asyari, ulama kharismatik dan pendiri organisasi terbesar di dunia bernama Nahdlatul Ulama (NU).
Sedangkan, kakek dari ibu adalah KH Bisri Syansuri, murid sekaligus sahabat Hasyim Asyari, seorang ulama yang memiliki andil besar dalam sejarah pergerakan bangsa. Sang ayah, Wahid Hasyim, pernah menjabat menteri Agama pada era Soekarno dan telah dikukuhkan menjadi pahlawan nasional.
Meski demikian, pergaulan Gus Dur tidak melulu dalam lingkaran kaum santri. Ia dikenal luas di lintas batas komunitas, etnis, ras, bahkan agama. Berkarib bukan hanya dengan para kiai, namun juga pendeta dan rabi Yahudi. Pun bacaannya bukan hanya kitab suci dan kitab kuning yang menjadi menu wajib pesantren, tetapi juga Das Kapital, karya “nabi”nya kaum marxis, Karl Marx.
Ia memiliki kemampuan mengutip ayat-ayat suci, hadis nabi, atau fatwa para ulama klasik sefasih mendedah pemikiran para filosof dunia. Yang bisa disesapnya bukan hanya keindahan alunan musik klasik karya komponis dunia sekelas Beethoven dan Mozart, namun juga suara merdu Umi Kultsum, penyanyi legendaris asal Mesir atau grup Nasida Ria asal Semarang. Beragam jabatan dan aktivitas pernah dilakoninya.
Sebelum menjadi presiden dan ketua umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tahun 1984, Gus Dur pernah menjadi penjual kacang dan es di sela-sela aktivitas menulisnya. Siang hari, ia ikut diskusi ilmiah mengenai isu demokrasi. Malam harinya ia bisa saja pergi ziarah ke makam para ulama dan wali.
Tidak ada yang meragukan kecerdasan serta daya ingatnya. Sebuah karunia yang sudah terlihat sejak ia masih semenjana, sebagaimana dikisahkan dalam buku berjudul Mata Penakluk: Manakib Abdurrahman Wahid ini. Menghadirkan sosok Gus Dur kecil dengan segenap kisahnya yang penuh warna.
Abdurrahman Al-Dakhil, demikian nama kecilnya pemberian sang Ayah, yang berarti seorang hamba yang penuh welas sekaligus sang penakluk. Nama itu terinspirasi dari seorang panglima perang dinasti Umayyah yang tanpa rasa takut menaklukkan kerajaan Spanyol hanya dengan tujuh ribu pasukan. Thariq bin Ziyad, demikian nama populernya.
Ketegaran hati Gus Dur seperti batu karang. Ia tangguh dan kokoh, meski badai kerap menerjangnya. Berani mengambil tindakan yang diyaki-ninya benar, meski caci maki dan hinaan harus diterimanya dari orang-orang yang tidak sepaham dengan gagasan-gagasannya, boleh jadi sedikit banyak terinspirasi oleh tokoh yang diidolakan sang ayah tersebut.
Disuguhkan ke hadapan pembaca dalam bentuk sebuah novel dengan menggunakan sudut pandang “aku”, Abdullah Wong, penulis buku ini, berhasil membawa pembaca seolaholah mendengarkan penuturan Gus Dur secara langsung. Tidak sedikit buku yang telah mengupas sosok Abdurrahman yang lebih memilih nama sang ayah, Wahid, di belakang namanya ini.
Mulai dari pemahaman keagamaan, wawasan kebangsaan, laku spiritual, hingga kumpulan humor yang pernah dilontarkannya. Namun, buku ini tetap memiliki kelebihan karena menghadirkan sosok Gus Dur secara lebih manusiawi dan utuh. Gus Dur yang menangis di usia tiga belas tahun ketika menyaksikan sang ayah terluka parah akibat kecelakaan hebat hingga menyebabkan kematian.
Gus Dur yang nakal dan usil terhadap para santri dewasa serta teman sebayanya. Gus Dur yang tergila-gila dengan buku. Abdurrahman Wahid mungkin sudah terbaring dengan tenang di samping keluarganya. Namun, semangat, pengabdian, keberanian, serta pemikiran- pemikirannya yang selalu menyegarkan akan tetap utuh dalam memori orang-orang yang mencintainya.
Terlebih, dengan maraknya literatur yang mengabadikan namanya dalam prasasti sejarah. Keberadaan buku yang mengangkat kisah para tokoh yang memiliki kontribusi besar terhadap masyarakat dan bangsa sudah sepatutnya diapresiasi. Bukan hanya sebagai upaya melestarikan kenangan atas kisahnya semata, atau sekadar sebagai amal jariah penulisnya.
Lebih dari itu, keberadaannya turut memperkaya literatur yang dapat dinikmati pembaca secara luas, terutama kaum muda. Sehingga, kisahnya dapat diteladani sekaligus menginspirasi setiap generasi.
Noval Maliki
alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tinggal di Cirebon.
Beragam identitas, gelar serta julukan melekat pada sosok yang senantiasa mengenakan kacamata tebal ini. Mulai dari yang positif hingga negatif. Sebut saja misalnya, ia dikenal sebagai pembela kaum minoritas, lokomotif demokrasi dan HAM di Indonesia, Bapak Pluralisme, kiai kharismatik, hingga sebagian orang menganggapnya sebagai salah seorang wali Allah.
Secara genealogis ia keturunan orang-orang besar di negeri ini, terutama dari lingkungan pesantren yang menjadi pilar penjaga Islam di Indonesia selama ratusan tahun. Kakeknya dari ayah adalah Hadratusysyaikh Hasyim Asyari, ulama kharismatik dan pendiri organisasi terbesar di dunia bernama Nahdlatul Ulama (NU).
Sedangkan, kakek dari ibu adalah KH Bisri Syansuri, murid sekaligus sahabat Hasyim Asyari, seorang ulama yang memiliki andil besar dalam sejarah pergerakan bangsa. Sang ayah, Wahid Hasyim, pernah menjabat menteri Agama pada era Soekarno dan telah dikukuhkan menjadi pahlawan nasional.
Meski demikian, pergaulan Gus Dur tidak melulu dalam lingkaran kaum santri. Ia dikenal luas di lintas batas komunitas, etnis, ras, bahkan agama. Berkarib bukan hanya dengan para kiai, namun juga pendeta dan rabi Yahudi. Pun bacaannya bukan hanya kitab suci dan kitab kuning yang menjadi menu wajib pesantren, tetapi juga Das Kapital, karya “nabi”nya kaum marxis, Karl Marx.
Ia memiliki kemampuan mengutip ayat-ayat suci, hadis nabi, atau fatwa para ulama klasik sefasih mendedah pemikiran para filosof dunia. Yang bisa disesapnya bukan hanya keindahan alunan musik klasik karya komponis dunia sekelas Beethoven dan Mozart, namun juga suara merdu Umi Kultsum, penyanyi legendaris asal Mesir atau grup Nasida Ria asal Semarang. Beragam jabatan dan aktivitas pernah dilakoninya.
Sebelum menjadi presiden dan ketua umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tahun 1984, Gus Dur pernah menjadi penjual kacang dan es di sela-sela aktivitas menulisnya. Siang hari, ia ikut diskusi ilmiah mengenai isu demokrasi. Malam harinya ia bisa saja pergi ziarah ke makam para ulama dan wali.
Tidak ada yang meragukan kecerdasan serta daya ingatnya. Sebuah karunia yang sudah terlihat sejak ia masih semenjana, sebagaimana dikisahkan dalam buku berjudul Mata Penakluk: Manakib Abdurrahman Wahid ini. Menghadirkan sosok Gus Dur kecil dengan segenap kisahnya yang penuh warna.
Abdurrahman Al-Dakhil, demikian nama kecilnya pemberian sang Ayah, yang berarti seorang hamba yang penuh welas sekaligus sang penakluk. Nama itu terinspirasi dari seorang panglima perang dinasti Umayyah yang tanpa rasa takut menaklukkan kerajaan Spanyol hanya dengan tujuh ribu pasukan. Thariq bin Ziyad, demikian nama populernya.
Ketegaran hati Gus Dur seperti batu karang. Ia tangguh dan kokoh, meski badai kerap menerjangnya. Berani mengambil tindakan yang diyaki-ninya benar, meski caci maki dan hinaan harus diterimanya dari orang-orang yang tidak sepaham dengan gagasan-gagasannya, boleh jadi sedikit banyak terinspirasi oleh tokoh yang diidolakan sang ayah tersebut.
Disuguhkan ke hadapan pembaca dalam bentuk sebuah novel dengan menggunakan sudut pandang “aku”, Abdullah Wong, penulis buku ini, berhasil membawa pembaca seolaholah mendengarkan penuturan Gus Dur secara langsung. Tidak sedikit buku yang telah mengupas sosok Abdurrahman yang lebih memilih nama sang ayah, Wahid, di belakang namanya ini.
Mulai dari pemahaman keagamaan, wawasan kebangsaan, laku spiritual, hingga kumpulan humor yang pernah dilontarkannya. Namun, buku ini tetap memiliki kelebihan karena menghadirkan sosok Gus Dur secara lebih manusiawi dan utuh. Gus Dur yang menangis di usia tiga belas tahun ketika menyaksikan sang ayah terluka parah akibat kecelakaan hebat hingga menyebabkan kematian.
Gus Dur yang nakal dan usil terhadap para santri dewasa serta teman sebayanya. Gus Dur yang tergila-gila dengan buku. Abdurrahman Wahid mungkin sudah terbaring dengan tenang di samping keluarganya. Namun, semangat, pengabdian, keberanian, serta pemikiran- pemikirannya yang selalu menyegarkan akan tetap utuh dalam memori orang-orang yang mencintainya.
Terlebih, dengan maraknya literatur yang mengabadikan namanya dalam prasasti sejarah. Keberadaan buku yang mengangkat kisah para tokoh yang memiliki kontribusi besar terhadap masyarakat dan bangsa sudah sepatutnya diapresiasi. Bukan hanya sebagai upaya melestarikan kenangan atas kisahnya semata, atau sekadar sebagai amal jariah penulisnya.
Lebih dari itu, keberadaannya turut memperkaya literatur yang dapat dinikmati pembaca secara luas, terutama kaum muda. Sehingga, kisahnya dapat diteladani sekaligus menginspirasi setiap generasi.
Noval Maliki
alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tinggal di Cirebon.
(ftr)