Perhitungan Matang dan Mental Baja
A
A
A
Linda Mardalina mengaku bukan tipe perempuan yang pandai memasak. Tak pernah pula terlintas di benaknya membuka usaha kuliner. Namun dengan kesungguhan dan dukungan sang suami, Linda sukses menjalankan Restoran Pare Anyar di kawasan Puncak, Jawa Barat.
Linda membangun usahanya sejak tiga tahun lalu berbekal nekat dan rasa penasaran yang tinggi akan kemampuannya berbisnis kuliner. Kini dia telah menikmati hasilnya. Rumah makan khas Sunda yang didirikannya telah memiliki banyak pelanggan setia dan jumlahnya terus bertambah. Berikut wawancara dengan perempuan kelahiran 19 Februari 1973 ini.
Kenapa pilihan bisnis Anda bidang kuliner?
Suami saya sebagai pengusaha alat kesehatan dan memiliki pabrik di Cianjur, sering melakukan aktivitas pengiriman barang ke Jakarta sekitar tiga sampai empat kali dalam sepekan. Karena itu, kami memiliki rumah singgah untuk beristirahat di kawasan Puncak. Dengan lokasi yang strategis, saya berpikir bahwa rumah ini sayang jika hanya dijadikan tempat singgah. Akhirnya, kami memutuskan untuk memanfaatkan rumah ini menjadi restoran. Saya merasa usaha kuliner paling cocok untuk daerah Puncak yang banyak dikunjungi dan dilintasi wisatawan. Mereka tentu mendambakan sajian khas Sunda sebagai menu salah satu kegiatan makan selama berada dan melintas di kawasan ini.
Sejak kapan restoran Pare Anyar berdiri?
Restoran berdiri sejak 2012. Soal konsepnya saya mempunyai tagline “Da Asa Imah Mitoha” yang artinya serasa di rumah mertua. Kebetulan, saya punya ibu dan mertua juga orang Cianjur. Ketika Lebaran semua berkumpul, makanan yang dimasak juga masakan kampung khas Sunda. Dari sana saya punya ide untuk mengusung makanan khas Sunda dengan konsep prasmanan. Itu karena banyak orang yang butuh makanan cepat, enak, bebas sesuka hati memilih lauk dan bebas mengambil porsi sesuai keinginan. Saya memang memiliki konsep agak nyeleneh agar restoran ini cepat menarik perhatian dan berbeda. Kalau mau biasa-biasa saja tidak bisa, karena di sini sudah banyak yang mendirikan usaha rumah makan. Sebenarnya, cepat kan salah satu prinsip utama pelayanan kepada konsumen.
Apa target pertama Anda saat itu?
Tujuannya karena ingin mengangkat makanan khas Sunda. Saya juga berniat memberikan lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar. Bahkan, dengan usaha ini saya juga bisa menjalin silaturahmi dengan orang banyak. Selain itu, tentu untuk menambah penghasilan.
Apa saja kendala Anda saat mengembangkan restoran ini?
Banyak jatuh bangunnya. Ada suatu ketika bahan-bahan untuk diolah menjadi masakan naik drastis secara serentak. Tentu perlu kiat tertentu agar kita bisa menghadapi kenaikan harga tersebut tanpa mengurangi kualitas sajian dan menaikkan harga. Saya juga pernah mencoba membuka cabang restoran Pare Anyar di sebuah mal di kawasan Sentul. Ternyata, tidak berjalan dengan baik sebab memang terburu-buru dan tidak melalui perhitungan yang matang. Makanan tradisional mungkin tidak cocok dijual di mal di daerah itu. Lebih cocok di kawasan wisata. Saya bersyukur suami, orang tua, keluarga besar, dan temanteman sangat mendukung bisnis ini. Awalnya saya ragu karena tidak punya sedikit pun latar belakang dan keahlian dalam memasak. Suami saya yang memang seorang pengusaha selalu memberi nasihat yang sangat memotivasi. Katanya, tidak apa-apa tidak bisa memasak. Yang penting saya mampu mengelola restoran ini.
Ada pengalaman manis yang Anda ingat pada masa-masa awal mendirikan usaha ini?
Selain kendala-kendala tadi, sisanya memang kesan. Ketika awal Pare Anyar berdiri, saya masih turun langsung ke pasar untuk berbelanja bahan-bahan makanan. Pukul 02.00 WIB dini hari saya sudah berangkat ke pasar. Itu pengalaman cukup berkesan dan menantang. Hingga sekarang urusan kelengkapan bahan masih langsung di bawah saya meski tak lagi langsung ke pasar. Saya berkomunikasi dengan pemasok cukup lewat telepon seluler. Justru, urusan keuangan yang sudah saya delegasikan sepenuhnya ke staf. Tinggal mengontrol.
Apa prinsip hidup Anda?
Saya berpikir jalani hidup ini sederhana saja dan jangan pernah berhenti berbuat kebaikan. Walaupun orang lain mau berbuat hal yang buruk kepada kita, tetap saja harus dibalas dengan kebaikan. Itu karena apa yang kita lakukan semua juga akan kembali kepada kita. Kalau kita baik, maka kebaikan akan datang kepada kita. Kalau kita berbuat buruk, maka suatu saat akan datang keburukan.
Apa saran Anda bagi mereka yang ingin berwirausaha?
Jangan takut untuk memulai usaha. Jika kita tidak pernah memulai, maka kita tidak pernah tahu bagaimana rasanya sukses. Tetapi, semua juga harus melalui perhitungan yang matang. Siapkan mental. Memulai bisnis harus berbekal mental baja. Saya juga banyak belajar dari suami, bagaimana jatuh bangun dia menjalankan usaha. Bagi saya, yang penting tidak merepotkan orang dan tidak korupsi. Saya dan suami pernah mengalami masa-masa sulit ketika terjadi krisis moneter 1998. Saat itu saya sedang hamil anak kedua dan dokter menyatakan bahwa saya harus menjalani persalinan secara Caesar. Padahal, ketika itu uang kami pas-pasan. Saya pun mencari ke sana kemari dokter yang bersedia membantu saya melahirkan tanpa perlu operasi.
Apakah Anda memiliki bisnis sampingan lainnya?
Saya punya restoran lain yang lokasinya di Puncak juga. Restoran itu bernama Rumah Makan Ma Haji Jamilah. Konsepnya berbeda dengan Pare Anyar. Makanan yang disajikan juga berbeda. Saya belum berani jauhjauh dari puncak, selama ini sudah banyak teman yang mengajak kerja sama. Namun, saya memilih menjalankannya sendiri agar lebih fokus. Saat ini target saya adalah mengembangkan usaha restoran Pare Anyar hingga punya cabang di beberapa tempat bahkan sampai di Jakarta.
Dina angelina
Linda membangun usahanya sejak tiga tahun lalu berbekal nekat dan rasa penasaran yang tinggi akan kemampuannya berbisnis kuliner. Kini dia telah menikmati hasilnya. Rumah makan khas Sunda yang didirikannya telah memiliki banyak pelanggan setia dan jumlahnya terus bertambah. Berikut wawancara dengan perempuan kelahiran 19 Februari 1973 ini.
Kenapa pilihan bisnis Anda bidang kuliner?
Suami saya sebagai pengusaha alat kesehatan dan memiliki pabrik di Cianjur, sering melakukan aktivitas pengiriman barang ke Jakarta sekitar tiga sampai empat kali dalam sepekan. Karena itu, kami memiliki rumah singgah untuk beristirahat di kawasan Puncak. Dengan lokasi yang strategis, saya berpikir bahwa rumah ini sayang jika hanya dijadikan tempat singgah. Akhirnya, kami memutuskan untuk memanfaatkan rumah ini menjadi restoran. Saya merasa usaha kuliner paling cocok untuk daerah Puncak yang banyak dikunjungi dan dilintasi wisatawan. Mereka tentu mendambakan sajian khas Sunda sebagai menu salah satu kegiatan makan selama berada dan melintas di kawasan ini.
Sejak kapan restoran Pare Anyar berdiri?
Restoran berdiri sejak 2012. Soal konsepnya saya mempunyai tagline “Da Asa Imah Mitoha” yang artinya serasa di rumah mertua. Kebetulan, saya punya ibu dan mertua juga orang Cianjur. Ketika Lebaran semua berkumpul, makanan yang dimasak juga masakan kampung khas Sunda. Dari sana saya punya ide untuk mengusung makanan khas Sunda dengan konsep prasmanan. Itu karena banyak orang yang butuh makanan cepat, enak, bebas sesuka hati memilih lauk dan bebas mengambil porsi sesuai keinginan. Saya memang memiliki konsep agak nyeleneh agar restoran ini cepat menarik perhatian dan berbeda. Kalau mau biasa-biasa saja tidak bisa, karena di sini sudah banyak yang mendirikan usaha rumah makan. Sebenarnya, cepat kan salah satu prinsip utama pelayanan kepada konsumen.
Apa target pertama Anda saat itu?
Tujuannya karena ingin mengangkat makanan khas Sunda. Saya juga berniat memberikan lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar. Bahkan, dengan usaha ini saya juga bisa menjalin silaturahmi dengan orang banyak. Selain itu, tentu untuk menambah penghasilan.
Apa saja kendala Anda saat mengembangkan restoran ini?
Banyak jatuh bangunnya. Ada suatu ketika bahan-bahan untuk diolah menjadi masakan naik drastis secara serentak. Tentu perlu kiat tertentu agar kita bisa menghadapi kenaikan harga tersebut tanpa mengurangi kualitas sajian dan menaikkan harga. Saya juga pernah mencoba membuka cabang restoran Pare Anyar di sebuah mal di kawasan Sentul. Ternyata, tidak berjalan dengan baik sebab memang terburu-buru dan tidak melalui perhitungan yang matang. Makanan tradisional mungkin tidak cocok dijual di mal di daerah itu. Lebih cocok di kawasan wisata. Saya bersyukur suami, orang tua, keluarga besar, dan temanteman sangat mendukung bisnis ini. Awalnya saya ragu karena tidak punya sedikit pun latar belakang dan keahlian dalam memasak. Suami saya yang memang seorang pengusaha selalu memberi nasihat yang sangat memotivasi. Katanya, tidak apa-apa tidak bisa memasak. Yang penting saya mampu mengelola restoran ini.
Ada pengalaman manis yang Anda ingat pada masa-masa awal mendirikan usaha ini?
Selain kendala-kendala tadi, sisanya memang kesan. Ketika awal Pare Anyar berdiri, saya masih turun langsung ke pasar untuk berbelanja bahan-bahan makanan. Pukul 02.00 WIB dini hari saya sudah berangkat ke pasar. Itu pengalaman cukup berkesan dan menantang. Hingga sekarang urusan kelengkapan bahan masih langsung di bawah saya meski tak lagi langsung ke pasar. Saya berkomunikasi dengan pemasok cukup lewat telepon seluler. Justru, urusan keuangan yang sudah saya delegasikan sepenuhnya ke staf. Tinggal mengontrol.
Apa prinsip hidup Anda?
Saya berpikir jalani hidup ini sederhana saja dan jangan pernah berhenti berbuat kebaikan. Walaupun orang lain mau berbuat hal yang buruk kepada kita, tetap saja harus dibalas dengan kebaikan. Itu karena apa yang kita lakukan semua juga akan kembali kepada kita. Kalau kita baik, maka kebaikan akan datang kepada kita. Kalau kita berbuat buruk, maka suatu saat akan datang keburukan.
Apa saran Anda bagi mereka yang ingin berwirausaha?
Jangan takut untuk memulai usaha. Jika kita tidak pernah memulai, maka kita tidak pernah tahu bagaimana rasanya sukses. Tetapi, semua juga harus melalui perhitungan yang matang. Siapkan mental. Memulai bisnis harus berbekal mental baja. Saya juga banyak belajar dari suami, bagaimana jatuh bangun dia menjalankan usaha. Bagi saya, yang penting tidak merepotkan orang dan tidak korupsi. Saya dan suami pernah mengalami masa-masa sulit ketika terjadi krisis moneter 1998. Saat itu saya sedang hamil anak kedua dan dokter menyatakan bahwa saya harus menjalani persalinan secara Caesar. Padahal, ketika itu uang kami pas-pasan. Saya pun mencari ke sana kemari dokter yang bersedia membantu saya melahirkan tanpa perlu operasi.
Apakah Anda memiliki bisnis sampingan lainnya?
Saya punya restoran lain yang lokasinya di Puncak juga. Restoran itu bernama Rumah Makan Ma Haji Jamilah. Konsepnya berbeda dengan Pare Anyar. Makanan yang disajikan juga berbeda. Saya belum berani jauhjauh dari puncak, selama ini sudah banyak teman yang mengajak kerja sama. Namun, saya memilih menjalankannya sendiri agar lebih fokus. Saat ini target saya adalah mengembangkan usaha restoran Pare Anyar hingga punya cabang di beberapa tempat bahkan sampai di Jakarta.
Dina angelina
(ftr)