Online Asing Dipaksa Berbadan Hukum

Minggu, 22 Maret 2015 - 09:54 WIB
Online Asing Dipaksa Berbadan Hukum
Online Asing Dipaksa Berbadan Hukum
A A A
JAKARTA - Cengkeraman media online global juga memicu keprihatinan pemerintah. Apalagi, sebagian besar dari mereka mengeruk keuntungan, terutama dari iklan, tanpa memberikan kontribusi pada Indonesia.

Karena itu, pemerintah akan bertindak tegas untuk melakukan penertiban. Kepala Bagian Humas Kemenkominfo Ismail Cawidu menjelaskan, pemerintah akan memaksa semua perusahaan penyedia jasa online asing yang mendapat keuntungan di Indonesia untuk memiliki badan hukum.

Langkah ini merupakan implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8/ 2012 tentang Penyelenggaraan Transaksi Komunikasi di Indonesia. ”Ada semacam pemaksaan bagi yang belum berbadan hukum,” ujar Ismail tadi malam.

Menurut dia, keberadaan badan hukum diperlukan untuk memudahkan proses pengawasan serta memberikan kepastian kepada masyarakat sebagai konsumen penggunanya. Apalagi pangsa pasar online di Tanah Air sangat besar. ”Kita minta dia berbadan hukum kalau memang menyelenggarakan transaksi di sini. Tapi kalau hanya sebatas online saja (tanpa mendapatkan iklan) silakan saja,” lanjutnya.

Ismail menuturkan, saat ini sudah ada beberapa perusahaan online yang telah membuka kantor perwakilan di Indonesia. Yang terbaru, Ismail membocorkan online Twitter akan segera membuka kantor perwakilannya. Diaberharap onlinelainnya bisa mengikuti.

Adapun Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara mengaku bersama Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan regulasi tentang pemasangan iklan di media online. ”Kita sudah membicarakan dengan Menkeu dan Dirjen Pajak regulasinya bagaimana. Dirjen Pajak sudah sangat setuju,” ujarnya .

Kapan regulasi akan diterapkan, Rudiantara belum bisa menentukan. Namun dia memastikan penerapan kebijakan itu dilakukan setelah ada pembicaraan dengan pihak fiskal. ”Yang jelas tahun ini (regulasi), setelah dibahas dengan fiskal, saya nggak bisa bicara bulannya. Tepatnya belum tahu,” jelasnya.

Rudiantara mengakui pendapatan yang diperoleh dari pemasangan iklan tersebut cukup besar. Karena itu, pihaknya meminta agar mereka membangun perusahaan di Indonesia dan membayarnya dengan mata uang rupiah. ”Selama ini bayar iklannya lewat online. Kalau mereka perusahaan Indonesia, aspek fiskalnya bisa ter-addres . Nilai pendapatan iklannya cukup besar. Kami minta mereka sebaiknya membayar dengan rupiah karena perusahaannya ada di Indonesia,” ucapnya.

Pakar komunikasi Ade Armando meminta pemerintah lebih tegas dan antisipatif dalam menyikapi masuknya online asing yang hanya mengeruk keuntungannya di Tanah Air tanpa ada timbal balik bagi kepentingan nasional. Pilihan menutup akses bagi mereka memang dapat menjadi pilihan terbaik apabila pada akhirnya tidak ada kesepakatan yang tercapai di antara kedua belah pihak.

”Memang kebijakan memblokir itu menjadi tidak populis karena apabila itu diakukan kemungkinan merugikan kelas menengah. Tapi saya termasuk yang mendukung pemblokiran itu apabila mereka ini hanya ingin mendapatkan keuntungan saja di Indonesia,” ujar Ade.

Menurut dia, semestinya dengan modal pangsa pasar yang besar, pemerintah tidak perlu ragu untuk sedikit menggertak para perusahaan online asing ini. Sebab apabila ketegasan itu diaplikasikan, mereka tentu akan kehilangan pangsa pasar yang menguntungkannya selama ini.

Ade pun tidak ingin masalah dirugikannya Indonesia karena ekspansi online asing ini dibiarkan berlarut-larut. ”Kominfo dalam hal ini bisa mengeluarkan aturan. Sebenarnya kalau mereka diancam, saya yakin mereka akan bersedia menjalankannya,” jelasnya.

Terkait mulai munculnya perlawanan serupa di kalangan dunia internasional, menurut Ade Indonesia juga harus mempunyai semangat yang sama bahwa kedaulatan bangsa harus dijaga dan uang yang didapat di dalam negeri harus juga dinikmati demi kepentingan nasional yang lebih luas.

”Indonesia jangan hanya menjadi penonton semata. Harus ada langkah antisipatif bahwa kalau mereka merusak kedaulatan bangsa, kita harus bertindak tegas dari sekarang,” katanya.

Optimisme Aliansi Pangaea

Sebelumnya, sejumlah media konvensional—yakni The Guardian, CNN, Financial Times, Reuters, dan The Economist— membangun persekutuan menghadang cengkeraman perusahaan internet seperti Microsoft, Google, dan Facebook.

Persekutuan yang disebut Aliansi Pangaea itu dilakukan dengan melakukan revolusi bisnis untuk merebut pangsa iklan. Mereka menawarkan pengiklan bisa mempromosikan produknya pada laman kelima media raksasa tersebut. Saat ini, proyek Pangea masih dalam tahap uji coba.

Pangea versi beta akan diluncurkan pada April mendatang sebelum versi penuh diluncurkan pada akhir tahun ini. Untuk diketahui, media tradisional memang tengah menghadapi persaingan ketat dari online. Facebook memiliki pengunjung sekitar 823 juta per bulan, 19 kali lebih banyak dari The Guardian .

Disusul Twitter (178 juta) dan Linkedln (173 juta). Berdasarkan perusahaan periset pemasaran eMarketer, Google, dan Facebook di Inggris Raya akan memotong separuh kue iklan dari total 2 juta poundsterling yang tersebar di dunia internet. Melalui Aliansi Pangaea, media tradisional menawarkan keuntungan ganda kepada para pengiklan.

Selain iklan berpeluang diakses ratusan juta pembaca di dunia, penayangannya juga bisa tersebar secara efektif. Pasalnya, kelima media itu memiliki segmen berita masing-masing. Namun, jumlah pembaca atau pelanggan mereka sangat banyak dan berasal dari berbagai kalangan.

Berdasarkan situs penyedia data iklan ComScore, sekitar 43 juta pengguna komputer per bulan mengunjungi situs The Guardian dan sekitar 89 juta mengunjungi CNN . Aliansi baru yang dipimpin The Guardian itu akan membuka peta jaringan iklan yang semakin luas.

Terlebih media seperti Reuters sudah mendunia dan hampir memiliki perwakilan di setiap negara. Begitu pun dengan CNN Internasional yang sudah didukung dengan lima bahasa dan tersedia di media internet dan televisi. Financial Times dan The Economist juga tidak kalah populer.

Sebagai media global yang lebih fokus pada perkembangan ekonomi, Financial Times dan The Economist memiliki pembaca khusus. Dengan demikian, pengiklan berkesempatan menjajakan produk kepada para pelanggan di negara dengan ekonomi besar seperti China dan Amerika Serikat (AS).

Tim Gentry, Direktur Finansial Global Guardian News & Media, mengatakan fitur lain yang mungkin akan menyokong kualitas iklan akan ditambahkan. Selain itu, The Guardian, CNN, Financial Times, Reuters, dan The Economist hanya merupakan anggota perintis. Media besar lainnya kemungkinan akan menyusul.

Program konsorsium seperti Pangea sebenarnya bukan hal baru. La PlaceMedia diPrancisdan Dansk Udgivernetværk di Denmark juga pernah melangsungkan program serupa sejak beberapa tahun lalu. Di AS, The New York Times Co , Tribune Company, Hearst, dan Gannett juga pernah membentuk QuadrantONE. Sejak saat itu, tren kolaborasi pun semakin menjamur.

Di Inggris Raya, pada akhir November lalu, Johnston Press, Newsquest, dan Local World berkolaborasi membentuk 1XL, jaringan periklanan bersama. Proyek ini didukung Rubicon Project sebagai penyedia layanan program platform komputer. Rubicon Project juga bekerja sama dengan Pangea.

”Kemitraan seperti ini mengapitalkan pertumbuhan permintaan untuk membuka kesempatan programatik premium dalam skala yang sangat besar yang hanya bisa dilakukan beberapa penerbit,” ujar Lauren Fisher, analis eMarketer, seperti dilansir Realtime Daily .

Dian ramdhani/ Sucipto/Muh shamil
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6064 seconds (0.1#10.140)