Privatisasi BUMN di Indonesia Belum Terkonsep
A
A
A
JAKARTA - Privatisasi atau pengalihan aset badan usaha milik negara (BUMN) di Indonesia dinilai belum memiliki konsep yang jelas.
Kebijakan yang dilakukan kerap berseberangan dengan amanat undang-undang. Pernyataan tersebut diungkapkan Tito Sulistio saat bedah buku berjudul ”Privatisasi Berkerakyatan” hasil karyanya.
Dia menilai, privatisasi aset yang sebelumnya dikuasai negara saat ini banyak dimiliki swasta seperti PT Telkom, PT Indosat, PT Aneka Tambang, PT Indofarma, dan lainnya. ”Ini tidak selaras dengan arah kebijakan negara. Terlihat tidak efektifnya kebijakan dan program privatisasi di Indonesia,” kata Tito di Jakarta kemarin.
Dalam bukunya, Tito menggagas suatu konsep privatisasi kerakyatan sebagai suatu model privatisasi yang selaras dengan UUD 1945 sebagai panduan konstitusional negara dengan tetap memperhatikan kondisi dan praktik usaha.
Gagasan yang dirancangnya dibuat secara strategis agar kebijakan dan arah privatisasi yang dilakukan pemerintah terhadap BUMN dapat tetap memenuhi atau mewujudkan tujuan berdirinya negara ini yakni melindungi hak-hak dan menyejahterakan rakyatnya. ”Keberpihakan terhadap rakyat harus tercermin dan tertuang secara jelas dan konkret dari seluruh dasar hukum yang mendasarinya,” ungkapnya.
Menurut dia, negara dalam hal ini diwakili oleh pemerintah mesti berperan sebagai institusi atau pelaku ekonomi untuk memainkan peran dan fungsinya dalam memastikan terpenuhinya hak-hak ekonomi rakyat. Tito menyatakan, privatisasi harus menggunakan prinsip efisiensi yang berkeadilan.
Pelepasan peran negara dalam melaksanakan privatisasi dikendalikan oleh Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan panduan dalam menjalankan privatisasi. Dengan kata lain, ujarnya, privatisasi harus memenuhi amanat konstitusi yang merupakan penjelmaan dari aspirasi rakyat dalam bernegara.
”Gagasan privatisasi ini harus diakomodasi ke dalam suatu UU khusus seperti UU Privatisasi Berkerakyatan yang menjadi pelengkap dari UU BUMN yang sudah dikenal dalam sistem hukum Indonesia saat ini,” paparnya.
Menurut dia, kebijakan privatisasi harus menjadi stabilisator dalam mengantarkan transisi sistem ekonomi pasar. Secara metode pelaksanaan privatisasi harus dieksplorasi berbagai cara yang juga digunakan di belahan dunia lain.
Penggunaan dana privatisasi juga harus dipastikan dikembalikan kepada masyarakat melalui penguatan struktur ekonomidanbukanuntukmenutupi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengapresiasi gagasan yang dicetuskan Tito melalui privatisasi kerakyatan.
Fahri juga mengusulkan agar privatisasi kerakyatan tersebut menjadi UU Kepemilikan Rakyat. ”Privatisasi dulu punya konotasi negatif di masyarakat. Gagasan ini saya usulkan agar dibuat UU Kepemilikan Rakyat saja agar jelas dan paham apa yang sebenarnya dimiliki dan diperuntukkan masyarakat Indonesia,” ucapnya.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman turut mengapresiasi hasil disertasi Tito yang dijadikan buku tersebut. Menurut dia, buku ini pantas menjadi rujukan bagi pemerintah yang berfokus pada privatisasi BUMN.
“Saya dukung ada payung hukum soal perandanfungsiBUMNini. DPD dan DPR diberi kewenangan untuk inisiatif buat RUU. Kita belum bicara soal BUMN ini. Soal bagaimana rumusannya nanti, kita kokohkan agar BUMN menjadi penguat,” katanya.
Mula akmal
Kebijakan yang dilakukan kerap berseberangan dengan amanat undang-undang. Pernyataan tersebut diungkapkan Tito Sulistio saat bedah buku berjudul ”Privatisasi Berkerakyatan” hasil karyanya.
Dia menilai, privatisasi aset yang sebelumnya dikuasai negara saat ini banyak dimiliki swasta seperti PT Telkom, PT Indosat, PT Aneka Tambang, PT Indofarma, dan lainnya. ”Ini tidak selaras dengan arah kebijakan negara. Terlihat tidak efektifnya kebijakan dan program privatisasi di Indonesia,” kata Tito di Jakarta kemarin.
Dalam bukunya, Tito menggagas suatu konsep privatisasi kerakyatan sebagai suatu model privatisasi yang selaras dengan UUD 1945 sebagai panduan konstitusional negara dengan tetap memperhatikan kondisi dan praktik usaha.
Gagasan yang dirancangnya dibuat secara strategis agar kebijakan dan arah privatisasi yang dilakukan pemerintah terhadap BUMN dapat tetap memenuhi atau mewujudkan tujuan berdirinya negara ini yakni melindungi hak-hak dan menyejahterakan rakyatnya. ”Keberpihakan terhadap rakyat harus tercermin dan tertuang secara jelas dan konkret dari seluruh dasar hukum yang mendasarinya,” ungkapnya.
Menurut dia, negara dalam hal ini diwakili oleh pemerintah mesti berperan sebagai institusi atau pelaku ekonomi untuk memainkan peran dan fungsinya dalam memastikan terpenuhinya hak-hak ekonomi rakyat. Tito menyatakan, privatisasi harus menggunakan prinsip efisiensi yang berkeadilan.
Pelepasan peran negara dalam melaksanakan privatisasi dikendalikan oleh Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan panduan dalam menjalankan privatisasi. Dengan kata lain, ujarnya, privatisasi harus memenuhi amanat konstitusi yang merupakan penjelmaan dari aspirasi rakyat dalam bernegara.
”Gagasan privatisasi ini harus diakomodasi ke dalam suatu UU khusus seperti UU Privatisasi Berkerakyatan yang menjadi pelengkap dari UU BUMN yang sudah dikenal dalam sistem hukum Indonesia saat ini,” paparnya.
Menurut dia, kebijakan privatisasi harus menjadi stabilisator dalam mengantarkan transisi sistem ekonomi pasar. Secara metode pelaksanaan privatisasi harus dieksplorasi berbagai cara yang juga digunakan di belahan dunia lain.
Penggunaan dana privatisasi juga harus dipastikan dikembalikan kepada masyarakat melalui penguatan struktur ekonomidanbukanuntukmenutupi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengapresiasi gagasan yang dicetuskan Tito melalui privatisasi kerakyatan.
Fahri juga mengusulkan agar privatisasi kerakyatan tersebut menjadi UU Kepemilikan Rakyat. ”Privatisasi dulu punya konotasi negatif di masyarakat. Gagasan ini saya usulkan agar dibuat UU Kepemilikan Rakyat saja agar jelas dan paham apa yang sebenarnya dimiliki dan diperuntukkan masyarakat Indonesia,” ucapnya.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman turut mengapresiasi hasil disertasi Tito yang dijadikan buku tersebut. Menurut dia, buku ini pantas menjadi rujukan bagi pemerintah yang berfokus pada privatisasi BUMN.
“Saya dukung ada payung hukum soal perandanfungsiBUMNini. DPD dan DPR diberi kewenangan untuk inisiatif buat RUU. Kita belum bicara soal BUMN ini. Soal bagaimana rumusannya nanti, kita kokohkan agar BUMN menjadi penguat,” katanya.
Mula akmal
(ftr)