Mantan Wakakorlantas Dituntut 7 Tahun
A
A
A
JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjatuhkan tuntutan pidana penjara 7 tahun kepada mantan Wakil Kepala Korlantas (Wakakorlantas) Mabes Polri Brigjen Pol Didik Purnomo.
Surat tuntutan tersebut dibacakan secara bergantian oleh JPU KMS Abdul Roni selaku ketua merangkap anggota dengan anggota Haerudin, Hendra Eka Saputra, Ni Nengah Gina Saraswati, dan Fitriansyah Akbar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta tadi malam.
JPU meyakini berdasarkan bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan, keterangan saksisaksi, ahli, dan terdakwa, bahwa Didik Purnomo selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) di Korlantas Mabes Polri terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dalam pengadaan simulator kemudi R2 dan R4 tahun anggaran 2011.
Pihak yang bersama-sama Didik adalah mantan Kakorlantas yang juga kuasa pengguna anggaran (KPA) Irjen Pol Djoko Susilo (sudah divonis dan berkekuatan hukum tetap), Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) Budi Susanto (sudah divonis dan berkekuatan hukum tetap), Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) Sukotjo Sastronegoro Bambang (akan dituntut dalam berkas terpisah), dan Ketua Panitia Lelang AKBP Teddy Rusmawan (akan dituntut dalam berkas terpisah).
“Menuntut supaya majelis hakim tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Didik Purnomo berupa pidana selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp250 juta subsider 6 bulan,” tandas Haerudin saat membacakan surat tuntutan.
JPU juga meminta majelis menghukum Didik untuk membayar uang pengganti Rp50 juta. Uang tersebut merupakan hasil keuntungan Didik dari proyek pengadaan simulator. Apabila uang pengganti tersebut tidak dibayarkan setelah satu bulan putusannya berkekuatan hukum tetap, harta bendanya disita negara untuk dilelang.
Bila belum mencukupi diganti dengan penjara selama dua tahun. “Menghukum terdakwa dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk dipilih dalam jabatan publik,” tegas Haerudin.
Dia menandaskan, perbuatan Didik terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke- (1) KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. “Sebagaimana dalam dakwaan primer,” ujar Haerudin.
KMS Abdul Roni menyatakan, perbuatan pidana Didik dilakukan dengan berbagai penyimpangan. Ada lima poin besar. Pertama, penyimpangan dalam proses penganggaran dengan cara melibatkan CMMA. Kedua, penyimpangan dalam proses pengadaan khususnya aktivitas CMMA dan ITI yang sudah melakukan aktivitas sebelum lelang dimulai.
Ketiga, penyimpangan berupa penggelembungan (markup ) nilai kontrak. Penggelembungan itu terutama karena spesifikasi dan harga perkiraan sementara (HPS) yang disusun Sukotjo atas perintah Budi Susanto.
“Terdakwa mengetahui itu. Terdakwa sudah mengetahui pemenangan tersebut adalah arahan dari Djoko Susilo. Harusnya terdakwa memeriksa seluruh persyaratan lelang dan bila ditemukan yang tidak benar maka selaku PPK harus mengoreksinya dan melakukan penolakan,” tegas Roni.
Keempat, penyimpangan dalam proses pembayaran. Pembayaran dilakukan 100% meski barang belum diserahkan sepenuhnya. Kelima, penyimpangan pada proses penyerahan barang. Spesifikasi teknis simulator yang diserahkan PT CMMA tidak sesuai dengan yang diatur dalam kontrak. Roni membeberkan, mark-up yang terjadi adalah Rp100,342 miliar.
Perbuatan Didik melanggar sejumlah peraturan perundang- undangan dan peraturan presiden (perpres). Di antaranya Pasal 11 Perpres 54/2010. “Sehingga PPK tetap harus bertanggung jawab atas SPJB (surat perjanjian jual beli) dan SPMK (surat perintah mulai kerja) yang dia tanda tangani,” ujar Roni.
Didik dan tim penasihat hukumnya kemudian diberi kesempatan oleh majelis hakim untuk menanggapi tuntutan tersebut. Ketua tim penasihat hukum Didik, Harry Pontoh, mengaku pihaknya akan mengajukan nota pembelaan (pleidoi). “Nanti pembelaan dari kami dan dari terdakwa sendiri,” ungkap Harry.
Sabir laluhu
Surat tuntutan tersebut dibacakan secara bergantian oleh JPU KMS Abdul Roni selaku ketua merangkap anggota dengan anggota Haerudin, Hendra Eka Saputra, Ni Nengah Gina Saraswati, dan Fitriansyah Akbar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta tadi malam.
JPU meyakini berdasarkan bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan, keterangan saksisaksi, ahli, dan terdakwa, bahwa Didik Purnomo selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) di Korlantas Mabes Polri terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dalam pengadaan simulator kemudi R2 dan R4 tahun anggaran 2011.
Pihak yang bersama-sama Didik adalah mantan Kakorlantas yang juga kuasa pengguna anggaran (KPA) Irjen Pol Djoko Susilo (sudah divonis dan berkekuatan hukum tetap), Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) Budi Susanto (sudah divonis dan berkekuatan hukum tetap), Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) Sukotjo Sastronegoro Bambang (akan dituntut dalam berkas terpisah), dan Ketua Panitia Lelang AKBP Teddy Rusmawan (akan dituntut dalam berkas terpisah).
“Menuntut supaya majelis hakim tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Didik Purnomo berupa pidana selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp250 juta subsider 6 bulan,” tandas Haerudin saat membacakan surat tuntutan.
JPU juga meminta majelis menghukum Didik untuk membayar uang pengganti Rp50 juta. Uang tersebut merupakan hasil keuntungan Didik dari proyek pengadaan simulator. Apabila uang pengganti tersebut tidak dibayarkan setelah satu bulan putusannya berkekuatan hukum tetap, harta bendanya disita negara untuk dilelang.
Bila belum mencukupi diganti dengan penjara selama dua tahun. “Menghukum terdakwa dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk dipilih dalam jabatan publik,” tegas Haerudin.
Dia menandaskan, perbuatan Didik terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke- (1) KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. “Sebagaimana dalam dakwaan primer,” ujar Haerudin.
KMS Abdul Roni menyatakan, perbuatan pidana Didik dilakukan dengan berbagai penyimpangan. Ada lima poin besar. Pertama, penyimpangan dalam proses penganggaran dengan cara melibatkan CMMA. Kedua, penyimpangan dalam proses pengadaan khususnya aktivitas CMMA dan ITI yang sudah melakukan aktivitas sebelum lelang dimulai.
Ketiga, penyimpangan berupa penggelembungan (markup ) nilai kontrak. Penggelembungan itu terutama karena spesifikasi dan harga perkiraan sementara (HPS) yang disusun Sukotjo atas perintah Budi Susanto.
“Terdakwa mengetahui itu. Terdakwa sudah mengetahui pemenangan tersebut adalah arahan dari Djoko Susilo. Harusnya terdakwa memeriksa seluruh persyaratan lelang dan bila ditemukan yang tidak benar maka selaku PPK harus mengoreksinya dan melakukan penolakan,” tegas Roni.
Keempat, penyimpangan dalam proses pembayaran. Pembayaran dilakukan 100% meski barang belum diserahkan sepenuhnya. Kelima, penyimpangan pada proses penyerahan barang. Spesifikasi teknis simulator yang diserahkan PT CMMA tidak sesuai dengan yang diatur dalam kontrak. Roni membeberkan, mark-up yang terjadi adalah Rp100,342 miliar.
Perbuatan Didik melanggar sejumlah peraturan perundang- undangan dan peraturan presiden (perpres). Di antaranya Pasal 11 Perpres 54/2010. “Sehingga PPK tetap harus bertanggung jawab atas SPJB (surat perjanjian jual beli) dan SPMK (surat perintah mulai kerja) yang dia tanda tangani,” ujar Roni.
Didik dan tim penasihat hukumnya kemudian diberi kesempatan oleh majelis hakim untuk menanggapi tuntutan tersebut. Ketua tim penasihat hukum Didik, Harry Pontoh, mengaku pihaknya akan mengajukan nota pembelaan (pleidoi). “Nanti pembelaan dari kami dan dari terdakwa sendiri,” ungkap Harry.
Sabir laluhu
(ftr)