Melecut Spirit Kebangsaan
A
A
A
Keempat seniman lukis, yakni S.Wito, Vukar Lodak, Sudjadiono, dan mas Padhik mengangkat keresahan ini ke atas kanvas danmencoba menyebarkan dan membangkitkan kembali virus positif berupa semangat bagi para pengunjung.
”Keempatnya berusaha menandai semangat dalam sejarah kehidupan ini, sejarah sosial, sejarah dunia, termasuk sejarah kebangsaan,” ungkap pemerhati seni, Sihar Ramses Simatupang. Menurut Sihar, seniman mempunyai caranya sendiri dalam menyorot sekaligus menandai semangat dan roh kebangsaan yang menjadi spiritnegeri ini.
Takhanya dalam falsafah dan perenungan intelektual untuk memberikan kesadaran dari labirin maya yang canggih, serum untuk virus ilusi global sesungguhnya adalah kesadaran pemihakan terhadap komunitas dan habitatnya. Di Tanah Air, di tengah globalisasi, spirit ini dinilai Sihar sangat dekat dengan kelompok yang temarginalkan, yakni kaum jelata. Para seniman ini juga menandai, membuat peta, dan marka terhadap jalannya sejarah. Objek pilihannya pun bermacam-macam.
Ada sebanyak 29 lukisan yang dipajang di lantai satu dan dua di pameran lukisan bersama Spirit Indonesia, hasil karyamereka. Keempatnya bermain dengan objek, warna, dan pesan yang bermacam- macam, sesuai selera dan pilihan mereka. Di lantai satu, karya berjudul Masihkah Ada Harapan karya S.Wito cukup mengetuk hati nurani para pengunjung. Seorang figur lelaki terlihat sedang mengelap dan membersihkan sepasang sepatu kulit hitam tepat di belakang sebuah mobil Alphard putih bernomor polisi B451LO.
Atau jika dibaca,menjadi ”basi lo”. Sepertinya sang seniman terlihat begitu khusyuk menekuni tema sosial di sekitar kehidupan masyarakat. Insting sosialnya sangat kuat di ranah seni lukis,membuat dia tetap dapat menuangkan objek dan tema yang dekat dengan kedinamisan dan pluralitasmasyarakat kota.
Ini terlihat pada karya lainnya yakni Harapan Baru, Tumpah Darahku untuk Negeriku yang menampilkan figur seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang memakai kebaya berwarna putih terang dan berkonde terlihat sedang memegang senapan di tengah kobaran api. Tepat di bawahnya terdapat banyak bendera merah putih yang terpasang di lautan luas. Kemudian ada pula NKRI Harga Mati,Menjunjung Tinggi, dan Tauladan yang menampilkan Jenderal Hoegeng yang memakai seragam kepolisian lengkap dengan topi dan kacamata.
Wajahnya terlihat berwibawa. Semuanya dipoles dengan warna abu-abu terang dan gelap. Seniman Vukar Lodak lain lagi. Lewat sapuan kuasnya yang terkadang bias dan sesekali mengalami distorsi, lukisan lelaki 45 tahun ini sangat kuat. Figur-figur atau siluetnya terkesan tak tegas, namun justru menghadirkan kesan dan makna yang menghadirkan narasi lebih dalam pada sosok manusia yang dia hadirkan di kanvas.
Beberapa karyanya, yakni Jemuran Ibu, Kampung di Sisi Sungai, Jalan Rawa Menuju Desa, Lelap di Lubang Memoar, dan lainnya. Sementara itu, Sudjadiono khas menghasilkan karya yang berlatar wayang dengan suasana dekoratif, namun kuat dalam figural. Dengan gaya itu, purnawirawan 62 tahun ini mampumembaca suasana kekinian danmengulas persoalan kekinian di Tanah Air lewat simbolsimbol dan filosofi Jawa di lukisannya tersebut.
Misalnya karya berjudul Jati Diri yang menampilkan wayang khas Tanah Air. Wayang orang bercampur dengan wayang kulit, burung garudalambangnegarakita sekaliguspetugas keamanan Perserikatan Bangsa- Bangsa lengkap dengan seragam, senapan, dan topi prajurit. Lalu, lukisannya yang lain seperti Gerhana, Isine Doanya Ana, dan Guyup Rukun juga masih menampilkan khas wayang milik Tanah Air.
Adapun, mas Padhik menampilkangaya relief batudi setiap sentuhankuasnyadikanvas. Sehinggamenjadi kekhasan dan orisinalitas gaya dirinya. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakangnya yang mengenyam pendidikan di Seni Rupa Jurusan Seni Patung di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI), yang sekarang dikenal dengan nama Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Bentuk anatomi dan tekstur yang telah dilewatinya memperlihatkan kematangan teknik dalam mengolah lukisan yang mengambil objek-objek figural belakangan ini.
Para pengunjung dapat melihat latar ornamen berupa candi, stupa, serta puing masa lalu yang seakan memperkuat sang seniman dalam menghubungkan antaramasa kini, masa lalu, danmasa depan. Tampaknya, lelaki 54 tahun ini menandai beberapa tonggak di dalam sejarah perjalanan Indonesia baik berupa artifak, monumen, tokoh dalam mitologi, wayang, ataupun folklor, hingga tokoh panutan atau para pahlawan. Jika dilihat dengan teliti, bentuk- bentuk lukisan mas Pandhik terlihat surealis.
Namun, perpaduan antar objek yang dapat melompat waktu, juga latar objek yang memperlihatkan semesta dengan ruang waktu yang berbeda, orang dapat saja menganggap karyanya sebagai bentuk surealisme. Dia sendiri lebih suka menganggap karyanya tetap dalam bingkai realisme.
Spirit Menular
Bagi beberapa anak muda, tepatnya yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas negeri (SMAN), apa yang dilakukan keempat seniman ini benar terasamenular semangatnya. Deane MT, Amelia Indah, dan ThaliaThambella, siswi dari SMAN 1 Boedi Oetomo merasakan semangat atau spirit yang menular saat melihat lukisan para seniman.
Meski masih berseragam abuabu, ketiganya kompak mengaku mengerti isi pesan lukisan yang dimaksud pelukis. Namun, ada beberapa lukisan seperti karya abstrak yang pesannya tidak terlalu dimengerti. ”Kita sih tahu pesannya. Seperti lukisan Menteri Susi yang sedang meledakkan kapal-kapal asing yang masuk dan mencuri ikan di laut kita. Ini seperti menumbuhkan semangat kebangsaan kita yang dulunya cuek-cuek saja,” ungkap Deane.
Namun, bukan anakmuda kalau tanpa berfoto diri atau selfie. Ketiga gadis belia ini pun tak melewatkan ber-selfie ria di beberapa lukisan. Bahkan, tak segan mereka mengikuti gayaMenteri Susi atau gaya wayang sesuai yang ada di dalam lukisan. ”Anak muda foto selfie wajib itu,” ujarmereka berbarengan.
Susi susanti
”Keempatnya berusaha menandai semangat dalam sejarah kehidupan ini, sejarah sosial, sejarah dunia, termasuk sejarah kebangsaan,” ungkap pemerhati seni, Sihar Ramses Simatupang. Menurut Sihar, seniman mempunyai caranya sendiri dalam menyorot sekaligus menandai semangat dan roh kebangsaan yang menjadi spiritnegeri ini.
Takhanya dalam falsafah dan perenungan intelektual untuk memberikan kesadaran dari labirin maya yang canggih, serum untuk virus ilusi global sesungguhnya adalah kesadaran pemihakan terhadap komunitas dan habitatnya. Di Tanah Air, di tengah globalisasi, spirit ini dinilai Sihar sangat dekat dengan kelompok yang temarginalkan, yakni kaum jelata. Para seniman ini juga menandai, membuat peta, dan marka terhadap jalannya sejarah. Objek pilihannya pun bermacam-macam.
Ada sebanyak 29 lukisan yang dipajang di lantai satu dan dua di pameran lukisan bersama Spirit Indonesia, hasil karyamereka. Keempatnya bermain dengan objek, warna, dan pesan yang bermacam- macam, sesuai selera dan pilihan mereka. Di lantai satu, karya berjudul Masihkah Ada Harapan karya S.Wito cukup mengetuk hati nurani para pengunjung. Seorang figur lelaki terlihat sedang mengelap dan membersihkan sepasang sepatu kulit hitam tepat di belakang sebuah mobil Alphard putih bernomor polisi B451LO.
Atau jika dibaca,menjadi ”basi lo”. Sepertinya sang seniman terlihat begitu khusyuk menekuni tema sosial di sekitar kehidupan masyarakat. Insting sosialnya sangat kuat di ranah seni lukis,membuat dia tetap dapat menuangkan objek dan tema yang dekat dengan kedinamisan dan pluralitasmasyarakat kota.
Ini terlihat pada karya lainnya yakni Harapan Baru, Tumpah Darahku untuk Negeriku yang menampilkan figur seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang memakai kebaya berwarna putih terang dan berkonde terlihat sedang memegang senapan di tengah kobaran api. Tepat di bawahnya terdapat banyak bendera merah putih yang terpasang di lautan luas. Kemudian ada pula NKRI Harga Mati,Menjunjung Tinggi, dan Tauladan yang menampilkan Jenderal Hoegeng yang memakai seragam kepolisian lengkap dengan topi dan kacamata.
Wajahnya terlihat berwibawa. Semuanya dipoles dengan warna abu-abu terang dan gelap. Seniman Vukar Lodak lain lagi. Lewat sapuan kuasnya yang terkadang bias dan sesekali mengalami distorsi, lukisan lelaki 45 tahun ini sangat kuat. Figur-figur atau siluetnya terkesan tak tegas, namun justru menghadirkan kesan dan makna yang menghadirkan narasi lebih dalam pada sosok manusia yang dia hadirkan di kanvas.
Beberapa karyanya, yakni Jemuran Ibu, Kampung di Sisi Sungai, Jalan Rawa Menuju Desa, Lelap di Lubang Memoar, dan lainnya. Sementara itu, Sudjadiono khas menghasilkan karya yang berlatar wayang dengan suasana dekoratif, namun kuat dalam figural. Dengan gaya itu, purnawirawan 62 tahun ini mampumembaca suasana kekinian danmengulas persoalan kekinian di Tanah Air lewat simbolsimbol dan filosofi Jawa di lukisannya tersebut.
Misalnya karya berjudul Jati Diri yang menampilkan wayang khas Tanah Air. Wayang orang bercampur dengan wayang kulit, burung garudalambangnegarakita sekaliguspetugas keamanan Perserikatan Bangsa- Bangsa lengkap dengan seragam, senapan, dan topi prajurit. Lalu, lukisannya yang lain seperti Gerhana, Isine Doanya Ana, dan Guyup Rukun juga masih menampilkan khas wayang milik Tanah Air.
Adapun, mas Padhik menampilkangaya relief batudi setiap sentuhankuasnyadikanvas. Sehinggamenjadi kekhasan dan orisinalitas gaya dirinya. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakangnya yang mengenyam pendidikan di Seni Rupa Jurusan Seni Patung di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI), yang sekarang dikenal dengan nama Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Bentuk anatomi dan tekstur yang telah dilewatinya memperlihatkan kematangan teknik dalam mengolah lukisan yang mengambil objek-objek figural belakangan ini.
Para pengunjung dapat melihat latar ornamen berupa candi, stupa, serta puing masa lalu yang seakan memperkuat sang seniman dalam menghubungkan antaramasa kini, masa lalu, danmasa depan. Tampaknya, lelaki 54 tahun ini menandai beberapa tonggak di dalam sejarah perjalanan Indonesia baik berupa artifak, monumen, tokoh dalam mitologi, wayang, ataupun folklor, hingga tokoh panutan atau para pahlawan. Jika dilihat dengan teliti, bentuk- bentuk lukisan mas Pandhik terlihat surealis.
Namun, perpaduan antar objek yang dapat melompat waktu, juga latar objek yang memperlihatkan semesta dengan ruang waktu yang berbeda, orang dapat saja menganggap karyanya sebagai bentuk surealisme. Dia sendiri lebih suka menganggap karyanya tetap dalam bingkai realisme.
Spirit Menular
Bagi beberapa anak muda, tepatnya yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas negeri (SMAN), apa yang dilakukan keempat seniman ini benar terasamenular semangatnya. Deane MT, Amelia Indah, dan ThaliaThambella, siswi dari SMAN 1 Boedi Oetomo merasakan semangat atau spirit yang menular saat melihat lukisan para seniman.
Meski masih berseragam abuabu, ketiganya kompak mengaku mengerti isi pesan lukisan yang dimaksud pelukis. Namun, ada beberapa lukisan seperti karya abstrak yang pesannya tidak terlalu dimengerti. ”Kita sih tahu pesannya. Seperti lukisan Menteri Susi yang sedang meledakkan kapal-kapal asing yang masuk dan mencuri ikan di laut kita. Ini seperti menumbuhkan semangat kebangsaan kita yang dulunya cuek-cuek saja,” ungkap Deane.
Namun, bukan anakmuda kalau tanpa berfoto diri atau selfie. Ketiga gadis belia ini pun tak melewatkan ber-selfie ria di beberapa lukisan. Bahkan, tak segan mereka mengikuti gayaMenteri Susi atau gaya wayang sesuai yang ada di dalam lukisan. ”Anak muda foto selfie wajib itu,” ujarmereka berbarengan.
Susi susanti
(ars)