Kakek Harso Tunggu Vonis, Nenek Asyani Tuai Simpati
A
A
A
JAKARTA - Kisah warga tidak berdaya yang diseret ke pengadilan gara-gara memotong kayu ternyata tidak hanya menimpa Nenek Asyani, 63. Harso Taruna, 67, juga mengalami nasib serupa.
Bahkan dia kini tengah menanti vonis di Pengadilan Negeri (PN) Wonosari. Rencananya sidang putusan digelar Selasa lalu (10/3). Namun karena salah satu hakim berhalangan hadir, akhirnya putusan ditunda Selasa depan (17/3). Petani asal Dusun Bulurejo, Desa Kepek, Saptosari, Gunungkidul itu menjadi pesakitan kasus pencurian kayu di lahan BKSDA Paliyan.
Petani penggarap yang menyewa lahan BKSD senilai Rp2,5juta itu diseret keranah hukum setelah memotong pohon di lahan tersebut agar dapat memanfaatkan lahan. Tindakan inilah yang menyeretnya ke penjara. Dari polisi, kasusnya terus bergulir ke kejaksaan dan pengadilan. JPU menuntut Harso pidana penjara 1 tahun dan denda uang Rp400.000.
Dia dituduh merusak hutan konservasi dengan jerat pasal berlapis. Jaksa Vivit menyebut terdakwa melanggar Undang-Undang Nomor 5/1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang- Undang Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. ”Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan, terdakwa mengaku memotong kayu untuk dijadikan kayu bakar. Tindakannya ini juga merugikan negara dengan nilai materiil Rp400.000,” ujar Vivit.
Kuasa hukum Harso, M Zaki Sierrad, menilai dakwaan yang disampaikan JPU berlebihan dan tidak sesuai dengan fakta di lapangan. ”Dakwaan perusakan ekosistem hutan tidak tepat. Dakwaan seperti itu seharusnya untuk kasus-kasus pembalakan liar seperti terjadi di Kalimantan. Tindakan klien kami bukan merusak hutan,” kata dia. Harso sendiri pasrah dengan nasib yang menimpanya. Dia mengaku kecewa karena sidang putusan ditunda. Namun dia menghormati putusan hakim.
”Ya sudah saya tunggu saja pekan depan (vonisnya),” katanya kalem. Sebelumnya, Asyani alias Bu Muaris harus ditahan dan menjalani proses pengadilan di PN Situbondo. Warga Kecamatan Jatibanteng yang berusia 63 tahun itu dituduh mencuri kayu jati yang ditebang suaminya sekitar 5 tahun lalu. Dia mengaku sang suami menebang kayu tersebut dari lahan sendiri yang kini sudah dijual ke pihak lain. Asyani ditangkap saat akan memanfaatkan kayunya untuk dibuat perkakas rumah tangga pada seorang tukang kayu bernama Cipto alias Pit bin Magiyo, 47.
Atas kasus tersebut, sang nenek renta itu dijerat dengan Pasal 12 juncto Pasal 83 UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Tentu saja nasib yang menimpa Asyani menyinggung rasa keadilan karena seorang nenek yang memotong 7 batang pohon ini dituntut dengan undangundang illegal logging. Kasus ini semakin menyayat hati karena dalam beberapa kali pengadilan sang nenek menangis histeris minta dibebaskan dari tahanan.
Pakar hukum tata negara dari UniversitasParahyangan(Unpar) Bandung Asep Warlan Yusuf mengatakan, untuk kasus yang menimpa rakyat kecil, mesti ada sebuah keringanan dan rehabilitasi terhadap pelaku yang karena keterpaksaannya harus melakukan tindakan melawan hukum. ”Ketika ada pencurian karena lapar misalnya, maka dia (pelaku) tidak boleh dihukum, negara harusnya malah memberikan santunan,” ujar Asep.
Menurut dia, peran dan pertimbangan hakim akan sangat menentukan di persidangan. Bukti dakwaan yang diajukan jaksa penuntut umum tentang tindak pidana pelaku bisa saja terbukti, tetapi untuk menjatuhkanhukuman, pelakutidak serta-mertaharusmenjalani hukuman badan. ”Itu namanya onslaught. Ketika kualifikasi pencurian bisa jadi terbukti, cuma dipenuhi kualifikasi pidana tidak berarti harus dihukum,” kata Asep.
Dia kemudian menuturkan, di dunia hukum saat ini berkembang sebuah pola penegakan keadilan yang lebih mengedepankan substansi dan bukan hanya pada kontekstual pasal per pasal. Dengan cara hukum progresif seperti ini, sang pengadil akan melihat lebih dalam latar belakang kenapa pelaku melaksanakan perbuatan ilegalnya. ”Sekarang diajarkan hukum yang substantif atau hukum progresif di mana hakim sangat mengedepankan keadilan,” ujar Asep.
Jaksa juga bisa ikut andil dalam memberikan dakwaan yang berbeda untuk kasus semacam ini. Sebab apa yang diperbuat pelaku semacam Nenek Asyani bukanlah kasus pencurian pada umumnya seperti halnya pelaku kejahatan.
”Bisa didalami lagi apakah dari pencurian yang dia lakukan ada kerugian besar bagi pemiliknya, keuntungan bagi pelakunya, dan sudah berapa kali dia melakukannya. Di situ dimungkinkan jaksa menuntut hukuman bebas. Tapi kalau jaksa tetap menuntut hukuman, maka hakim yang berperan untuk mengedepankan hukum substantif atau hukum progresif,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Pengurus LBH Keadilan Abdul Hamim Jauzie menilai penegakan hukum saat ini bagikan pisau yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hukum dengan tajam menindak masyarakat miskin dan akan jadi lemah jika pelakunya orang kuat seperti pejabat. Hamim pun mengingatkan, hukum belum ditegakkan jika aparat hanya bisa menerapkan pasal illegal logging kepada nenek renta. Sebab, realitas yang ada, hutan gundul dikarenakan penebangan yang sistematis dan besar-besaran.
”Bukan yang mengambil beberapa batang pohon yang menjadi target operasi. Aparat seharusnya membidik korporasi-korporasi nakal yang melakukan pembalakan liar secara brutal,” ujarnya.
Dia juga melihat diadilinya Nenek Asyani menandakan aparat penegak hukum berorientasi pada penegakan peraturan ketimbang penegakan keadilan.”Hakim harus memiliki sense of justice dalam memutus perkara! LBH Keadilan meminta majelis hakim yang mengadili agar segera memberikan penangguhan penahanan atas Nenek Asyani,” tandasnya.
Sikap Pemerintah
Kasus yang menimpa Asyani mendapat respons pemerintah. Kemarin Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya berharap Asyani tidak ditahan. Untuk menjajaki kemungkinan tersebut, Siti Nurbaya melakukan pertemuan dengan Jaksa Agung M Prasetyo untuk mendalami kasus hukum yang menimpa Asyani dan untuk memastikan dipenuhinya rasa keadilan bagi masyarakat.
”Terkait kasus Nenek Asyani tentang kasus kayu Perhutani, hari Jumat (13/3) Menteri LHK mengambil langkah dalam rangka rasa keadilan bagi masyarakat kecil. Tadi (Jumat) sore dilakukan koordinasi dengan Jaksa Agung untuk mendalami kasusnya,” kata Siti Nurbaya dalam pesan singkat kepada wartawan kemarin.
Siti Nurbaya juga mengaku telah menghubungi Direktur Utama Perhutani agar bisa meminta kepada pihak yang berwajib untuk tidak melakukan penahanan terhadap Asyani. Apalagi usia Asyani sudah sangat tua dan tidak mungkin untuk melarikan diri.
”Bersama Jaksa Agung kami terus mengikuti perkembanganuntukprosesdan putusan yang adil,” katanya. Sebelumnya, Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Timur menyerahkan sepenuhnya kasus Asyani (alias Muaris) kepada PN Situbondo karena permasalahan pencurian 38 batang kayu jati olahan (4/7) sudah masuk ranah hukum(11/3).
”Kami bukan aparat penegak hukum sehingga kasus ini lebih tepat ditindak oleh aparat penegak hukum seperti Polri, kejaksaan, dan pengadilan. Untuk itu kami harap mereka bisa memantaunya agar berjalan adil, bijaksana, dan dapat dipertanggungjawabkan,” kata Sekretaris Divisi Regional Perum Perhutani Jatim Yahya Amin.
Suharjono/ dian ramdhani/ant
Bahkan dia kini tengah menanti vonis di Pengadilan Negeri (PN) Wonosari. Rencananya sidang putusan digelar Selasa lalu (10/3). Namun karena salah satu hakim berhalangan hadir, akhirnya putusan ditunda Selasa depan (17/3). Petani asal Dusun Bulurejo, Desa Kepek, Saptosari, Gunungkidul itu menjadi pesakitan kasus pencurian kayu di lahan BKSDA Paliyan.
Petani penggarap yang menyewa lahan BKSD senilai Rp2,5juta itu diseret keranah hukum setelah memotong pohon di lahan tersebut agar dapat memanfaatkan lahan. Tindakan inilah yang menyeretnya ke penjara. Dari polisi, kasusnya terus bergulir ke kejaksaan dan pengadilan. JPU menuntut Harso pidana penjara 1 tahun dan denda uang Rp400.000.
Dia dituduh merusak hutan konservasi dengan jerat pasal berlapis. Jaksa Vivit menyebut terdakwa melanggar Undang-Undang Nomor 5/1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang- Undang Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. ”Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan, terdakwa mengaku memotong kayu untuk dijadikan kayu bakar. Tindakannya ini juga merugikan negara dengan nilai materiil Rp400.000,” ujar Vivit.
Kuasa hukum Harso, M Zaki Sierrad, menilai dakwaan yang disampaikan JPU berlebihan dan tidak sesuai dengan fakta di lapangan. ”Dakwaan perusakan ekosistem hutan tidak tepat. Dakwaan seperti itu seharusnya untuk kasus-kasus pembalakan liar seperti terjadi di Kalimantan. Tindakan klien kami bukan merusak hutan,” kata dia. Harso sendiri pasrah dengan nasib yang menimpanya. Dia mengaku kecewa karena sidang putusan ditunda. Namun dia menghormati putusan hakim.
”Ya sudah saya tunggu saja pekan depan (vonisnya),” katanya kalem. Sebelumnya, Asyani alias Bu Muaris harus ditahan dan menjalani proses pengadilan di PN Situbondo. Warga Kecamatan Jatibanteng yang berusia 63 tahun itu dituduh mencuri kayu jati yang ditebang suaminya sekitar 5 tahun lalu. Dia mengaku sang suami menebang kayu tersebut dari lahan sendiri yang kini sudah dijual ke pihak lain. Asyani ditangkap saat akan memanfaatkan kayunya untuk dibuat perkakas rumah tangga pada seorang tukang kayu bernama Cipto alias Pit bin Magiyo, 47.
Atas kasus tersebut, sang nenek renta itu dijerat dengan Pasal 12 juncto Pasal 83 UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Tentu saja nasib yang menimpa Asyani menyinggung rasa keadilan karena seorang nenek yang memotong 7 batang pohon ini dituntut dengan undangundang illegal logging. Kasus ini semakin menyayat hati karena dalam beberapa kali pengadilan sang nenek menangis histeris minta dibebaskan dari tahanan.
Pakar hukum tata negara dari UniversitasParahyangan(Unpar) Bandung Asep Warlan Yusuf mengatakan, untuk kasus yang menimpa rakyat kecil, mesti ada sebuah keringanan dan rehabilitasi terhadap pelaku yang karena keterpaksaannya harus melakukan tindakan melawan hukum. ”Ketika ada pencurian karena lapar misalnya, maka dia (pelaku) tidak boleh dihukum, negara harusnya malah memberikan santunan,” ujar Asep.
Menurut dia, peran dan pertimbangan hakim akan sangat menentukan di persidangan. Bukti dakwaan yang diajukan jaksa penuntut umum tentang tindak pidana pelaku bisa saja terbukti, tetapi untuk menjatuhkanhukuman, pelakutidak serta-mertaharusmenjalani hukuman badan. ”Itu namanya onslaught. Ketika kualifikasi pencurian bisa jadi terbukti, cuma dipenuhi kualifikasi pidana tidak berarti harus dihukum,” kata Asep.
Dia kemudian menuturkan, di dunia hukum saat ini berkembang sebuah pola penegakan keadilan yang lebih mengedepankan substansi dan bukan hanya pada kontekstual pasal per pasal. Dengan cara hukum progresif seperti ini, sang pengadil akan melihat lebih dalam latar belakang kenapa pelaku melaksanakan perbuatan ilegalnya. ”Sekarang diajarkan hukum yang substantif atau hukum progresif di mana hakim sangat mengedepankan keadilan,” ujar Asep.
Jaksa juga bisa ikut andil dalam memberikan dakwaan yang berbeda untuk kasus semacam ini. Sebab apa yang diperbuat pelaku semacam Nenek Asyani bukanlah kasus pencurian pada umumnya seperti halnya pelaku kejahatan.
”Bisa didalami lagi apakah dari pencurian yang dia lakukan ada kerugian besar bagi pemiliknya, keuntungan bagi pelakunya, dan sudah berapa kali dia melakukannya. Di situ dimungkinkan jaksa menuntut hukuman bebas. Tapi kalau jaksa tetap menuntut hukuman, maka hakim yang berperan untuk mengedepankan hukum substantif atau hukum progresif,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Pengurus LBH Keadilan Abdul Hamim Jauzie menilai penegakan hukum saat ini bagikan pisau yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hukum dengan tajam menindak masyarakat miskin dan akan jadi lemah jika pelakunya orang kuat seperti pejabat. Hamim pun mengingatkan, hukum belum ditegakkan jika aparat hanya bisa menerapkan pasal illegal logging kepada nenek renta. Sebab, realitas yang ada, hutan gundul dikarenakan penebangan yang sistematis dan besar-besaran.
”Bukan yang mengambil beberapa batang pohon yang menjadi target operasi. Aparat seharusnya membidik korporasi-korporasi nakal yang melakukan pembalakan liar secara brutal,” ujarnya.
Dia juga melihat diadilinya Nenek Asyani menandakan aparat penegak hukum berorientasi pada penegakan peraturan ketimbang penegakan keadilan.”Hakim harus memiliki sense of justice dalam memutus perkara! LBH Keadilan meminta majelis hakim yang mengadili agar segera memberikan penangguhan penahanan atas Nenek Asyani,” tandasnya.
Sikap Pemerintah
Kasus yang menimpa Asyani mendapat respons pemerintah. Kemarin Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya berharap Asyani tidak ditahan. Untuk menjajaki kemungkinan tersebut, Siti Nurbaya melakukan pertemuan dengan Jaksa Agung M Prasetyo untuk mendalami kasus hukum yang menimpa Asyani dan untuk memastikan dipenuhinya rasa keadilan bagi masyarakat.
”Terkait kasus Nenek Asyani tentang kasus kayu Perhutani, hari Jumat (13/3) Menteri LHK mengambil langkah dalam rangka rasa keadilan bagi masyarakat kecil. Tadi (Jumat) sore dilakukan koordinasi dengan Jaksa Agung untuk mendalami kasusnya,” kata Siti Nurbaya dalam pesan singkat kepada wartawan kemarin.
Siti Nurbaya juga mengaku telah menghubungi Direktur Utama Perhutani agar bisa meminta kepada pihak yang berwajib untuk tidak melakukan penahanan terhadap Asyani. Apalagi usia Asyani sudah sangat tua dan tidak mungkin untuk melarikan diri.
”Bersama Jaksa Agung kami terus mengikuti perkembanganuntukprosesdan putusan yang adil,” katanya. Sebelumnya, Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Timur menyerahkan sepenuhnya kasus Asyani (alias Muaris) kepada PN Situbondo karena permasalahan pencurian 38 batang kayu jati olahan (4/7) sudah masuk ranah hukum(11/3).
”Kami bukan aparat penegak hukum sehingga kasus ini lebih tepat ditindak oleh aparat penegak hukum seperti Polri, kejaksaan, dan pengadilan. Untuk itu kami harap mereka bisa memantaunya agar berjalan adil, bijaksana, dan dapat dipertanggungjawabkan,” kata Sekretaris Divisi Regional Perum Perhutani Jatim Yahya Amin.
Suharjono/ dian ramdhani/ant
(ars)