Perilaku Menkumham Permalukan Presiden

Jum'at, 13 Maret 2015 - 04:28 WIB
Perilaku Menkumham Permalukan Presiden
Perilaku Menkumham Permalukan Presiden
A A A
JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly yang telah mengintervensi penyelesaian konflik internal di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar dinilai mempermalukan Presiden Jokowi.

Karenanya sejumlah partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) sepakat menggulirkan Hak Angket kepada Menkumham.

Juru Bicara Koalisi Merah Putih (KMP) Tantowi Yahya membenarkan adanya pertemuan sejumlah partai yang tergabung dalam koalisi di kediaman Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais.

"Iya benar tadi malam, membahas situasi politik terkini terutama sikap Menkumham yang menyetujui Munas Ancol," ujarnya, Kamis (12/3/2015).

Menurut Tantowi, sikap Menkumham dianggap telah menciderai keadilan dan demokrasi. Karenanya, KMP menyayangkan langkah Menkumham yang seharusnya menjadi penengah dalam penyelesaian konflik internal partai namun masih memposisikan dirinya sebagai kader partai politik.

"Seharusnya Menkumham memposisikan dirinya sebagai penyelenggara negara yang netral dan tidak politis. Karenanya, KMP mendukung perlawanan yang dilakukan oleh Golkar dan PPP dengan mem-PTUN-kan keputusan Menkumham tersebut," kata Tantowi.

Tidak hanya itu, KMP juga akan menggunakan hak politiknya. Ada beberapa hak politik yang dimiliki DPR di antaranya, Hak Interpelasi, Hak Angket, Hak menyatakan pendapat.

"KMP mendukung penggunaan hak-hak tersebut. Nanti setelah reses, 23 Maret mulai dilakukan penggalangan. Sebab, tidak menutup kemungkinan terjadi pada partai-partai lain kalau tidak melakukan perlawanan. Sekarang terjadi di Golkar dan PPP," ujarnya.

Senada, Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Fernita Darwis mengatakan, sebetulnya hak angket yang ditujukkan kepada Menkumham sejak awal sudah diusulkan PPP ke DPR.

Namun, karena sekarang ada Partai Golkar yang juga menjadi korban intervensi maka semakin jelas kalau Menkumham melakukan intervensi.

"Perilaku Menkumham telah memalukan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden harus ambil tindakan teguran ke menterinya, karena mengganggu kabinet kerja. Ini menjadi masukan dan jadi pertimbangan presiden sudah banyak kesalahan yang dilakukan Menkumham," katanya.

Fernita mencontohkan, kesalahan yang dilakukan Menkumham adalah, saat yang bersangkutan mengatakan bahwa putusan yang diambil atas dasar putusan Mahkamah Partai Golkar.

Sementara, Ketua Mahkamah Partai Golkar Muladi, menyatakan tidak ada yang satupun dimenangkan.

"Waktu Majelis Syariah PPP menyatakan keputusan Muktamar PPP Surabaya tidak sah dan Muktamar PPP Jakarta pada 30 Oktober yang sah, kenapa tidak disahkan Menkumham," timpalnya.

Fernita menegaskan, penggunaan Hak Angket yang ditujukan kepada Yasonna sudah tepat. Begitu juga dengan sikap Presiden yang meminta kajian Menkumham terhadap persoalan tersebut, karena menganggap kabinetnya telah menciptakan kegaduhan politik.

"Jokowi sudah bagus meminta pertanggungjawaban kepada menteri Yasonna. Dia sudah pantas dipecat," katanya.

Sebagai Menkumham, sambung Fernita, Yasonna seharusnya berada paling depan dalam memberikan contoh pemimpin yang patuh terhadap putusan hukum.

Tapi, yang terjadi sebaliknya, kebijakan Menkumham tidak berdasarkan pada putusan hukum.

"Dalam kasus PPP Menkumham justru melakukan banding, inikan nggak patuh. Upaya banding yang dilakukan tidak relevan," ucapnya.

Putusan PTUN yang membatalkan putusan Menkumham, kata Fernita, tidak seharusnya dibanding, sebab hal itu tidak mengganggu fungsi pemerintahan, kecuali bila putusan PTUN menganggu kerja-kerja Menkumham.

"Anggap saja dia (Menkumham) salah lakukan keputusan, tinggal ganti putusan dan stempel. Inikan rumah tangga partai. Ketika Golkar berdasarkan putusan Mahkamah Partai tapi PPP tidak. Kita gugat dan menang, tapi kenapa nggak mau mengakui, padahal sudah kalah dua kosong," imbuhnya.

Dengan upaya banding yang dilakukan Menkumham, hal ini secara jelas dan gamblang yang bersangkutan telah mengobok-obok partai. Bukan hanya itu, Menkumham juga telah menciptakan konflik semakin panjang.

"Kebijakan Menkumham memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan politiknya. Terkait Hak Angket, itu adalah hak orang per orang kita lihat perkembangannya, ini jadi masukan kalau Presiden mau lakukan reshuffle tidak usah menunggu angket karena kalau nunggu angket, Jokowi akan terseret-seret. Presiden harus ambil tindakan, kalau menterinya mengganggu kabinet kerja. Jokowi harus menempatkan Menkumham yang mengerti hukum bukan kepentingan politis yang dikedepankan," paparnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4330 seconds (0.1#10.140)