Dihukum 6 Tahun, Romi Herton Menangis
A
A
A
JAKARTA - Wali Kota Palembang nonaktif Romi Herton dan istrinya, Masyito, menangis seusai divonis masing-masing enam tahun dan empat tahun oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kemarin.
Romi dan Masyito terlihat serius selama menjalani persidangan lebih dari tiga jam. Keduanya bahkan berpegangan tangan erat di bangku terdakwa. Keduanya menarik nafas panjang saat Ketua Majelis Hakim Much Muhlis membacakan amar pidana penjara. Selepas sidang keduanya tidak mau berkomentar banyak.
Pasangan suami istri itu langsung menuju ruang terdakwa bersama keluarga dan beberapa pendukung. Dari selasela kaca terlihat tangis mereka pecah. Romi didampingi Masyito pun sempat menemui para pendukungnya dengan air mata yang bercucuran. “Pesan saya untuk pendukung- pendukung, jangan bikin repot di Jakarta ini. Kalau yang datang terus mau pulang tidak ada ongkos, ya dewe-dewe lah.
Jadi kawan-kawan, mudahmudahan bisa jadi jalan terbaik, doakan kami. Kalaupun nanti ini inkracht, doakan kami supaya kami bisa menjalani ini dengan baik ya. Kami akan kembali untuk berkarya di Kota Palembang. Terima kasih ya kawankawan. Assalamualaikum,” ungkap Romi di hadapan para pendukungnya.
Dalam sidang kemarin majelis hakim dengan ketua sekaligus anggota Much Muhlis dan anggota majelis Supriyono, Alexander Marwata, Sofialdi, dan Saiful Arif menyatakan Romi Herton dan Masyito terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi dalam dua delik sesuai dua dakwaan yang dituangkan jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Mengadili, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Romi Herton dengan pidana penjara selama enam tahun dan terdakwa Masyito selama empat tahun. Dan masingmasing terdakwa dipidana dengan denda Rp200 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar setelah putusan ini satu bulan berkekuatan hukum tetap maka diganti pidana kurungan dua bulan,” kata Muhlis saat membacakan amar putusan.
Ada dua delik yang dilakukan Romi dan Masyito. Pertama, secara bersama-sama dan berlanjut memberikan suap Rp11,395 miliar dan USD316.700 kepada mantan KetuaMK, MAkil Mochtar, melalui orang dekat Akil yang juga pemilik PT Promic Internasional, Muhtar Ependy. Kedua, secara sendiri-sendiri Romi dan Masyito selaku saksi pada sidang Akil dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau keteranganpalsu.
Dalam pemberian keterangan palsu ini majelis tidak sependapat dengan dakwaan dan tuntutan JPU bahwa kedua terdakwamelakukannya secara bersama- sama. Majelis tidak sependapat dengan tuntutan JPU soal pidana penjara 9 tahun untuk Romi dan 6 tahun untuk Masyito. “Terdakwa 1 (Romi) dan terdakwa 2 (Masyito) disumpah secara sendiri-sendiri dan bertanggung jawab atas kesaksian mereka masing-masing,” ungkap Alexander Marwata.
Atas perbuatan suap, tutur Muhlis, Romi dan Masyito terbukti melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidanajo Pasal64ayat (1) KUHPidana, sebagaimana dalam dakwaan kesatu pertama.
Pada delik keterangan palsu, pasangan suami istri itu terbukti menurut hukum bersalah melanggar Pasal 22 jo Pasal 35 UU Pemberantasan Tipikor. “Sebagaimana dalam dakwaan kedua pertama,” papar Muhlis. Dalam menyusun amar putusan, majelis mempertimbangkan hal meringankan dan memberatkan. Yang meringankan bagi Romi dan Masyito ada enam.
Yakni, berlaku sopan, bersikap kooperatif, mengakui perbuatannya, Romi berjasa memajukanPalembang, Masyi-to sebagai istri bersama Romi mempunyai tanggungan keluarga, danbelumpernahdihukum. Hal yang memberatkan ada dua. Pertama , kedua terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
“Perbuatan terdakwa 1 dan terdakwa 2 dapat menciderai lembaga peradilan khususnya Mahkamah Konstitusi (MK),” beber Alexander. Majelis juga tidak sependapat dengan tuntutan pencabutan hak politik selama 11 tahun terhadap Romi seperti disampaikan JPU. Ada dua alasan yang dikemukakan. Pertama , tuntutan tersebut tidak jelas maksud hak memilih dan dipilih yang mana dan dalam kaitan apa.
Kedua, hak memilih dan dipilih adalah hak yang melekat pada warga negara. Karena itu, ujar Alexander, tuntutan tersebut tidak bisa dipenuhi. Romi mengaku menghormati putusan majelis hakim. Disinggung apakah akan banding, dia mengaku pikir-pikir. “Saya kira sudah jelas, kami akan pikir- pikir. Kita hormati putusan majelis hakim sebagai warga negara yang baik. Jadi kami akan gunakan waktu tujuh hari untuk pikir-pikir,” kata Romi didampingi Masyito.
Sirra Prayuna, selaku kuasa hukum Romi dan Masyito, mengatakan menghargai putusan majelis hakim. Secara objektif keseluruhan putusan majelis hakim sudah mempertimbangkan dua hal dari sisi terdakwa dan JPU. Pertama , majelis sepakat bahwa Pasal 55 ayat (1) ke-(1) dalam dakwaan pemberian keterangan palsu tidak terbukti karena itu berdiri sendiri dan tanggung jawab masing-masing.
Hal itu sudah diakui dua kliennya. Kedua , majelis melihat bahwa satu situasi yang diciptakan Muhtar Ependy untuk melakukan suatu tindak pidana. Mengenai tuntutan pencabutan hak politik selama 11 tahun, bagi Sirra, majelis jelas mempertimbangkan bahwa hak itu merupakan hak sipil dan politik secara jelas yang dijamin sebagai hak individu yang melekat pada diri seseorang.
“Dan tidak dicabut hak politiknya dan alhamdulillah hakim sependapat dengan pandangan kami. Pidana tambahan itu berlebihan, terlalu berat, dan saya kira sudah cukup jelas posisinya,” tandas Sirra. Secara pribadi Sirra akan ada saran yang disampaikan kepada dua kliennya.
Sebaiknya Romi dan Masyito mempertimbangkan betul putusan ini untuk tidak melakukan perlawanan hukum, yakni tidak mengajukan banding. Sebab, bagaimana pun Sirra menyadari betul tren pemidanaan tipikor pada perkara-perkara lain dan tingkatan setelahnya, yakni banding dan kasasi. Hasilnya, hukuman selalu meningkat.
Sabir laluhu
Romi dan Masyito terlihat serius selama menjalani persidangan lebih dari tiga jam. Keduanya bahkan berpegangan tangan erat di bangku terdakwa. Keduanya menarik nafas panjang saat Ketua Majelis Hakim Much Muhlis membacakan amar pidana penjara. Selepas sidang keduanya tidak mau berkomentar banyak.
Pasangan suami istri itu langsung menuju ruang terdakwa bersama keluarga dan beberapa pendukung. Dari selasela kaca terlihat tangis mereka pecah. Romi didampingi Masyito pun sempat menemui para pendukungnya dengan air mata yang bercucuran. “Pesan saya untuk pendukung- pendukung, jangan bikin repot di Jakarta ini. Kalau yang datang terus mau pulang tidak ada ongkos, ya dewe-dewe lah.
Jadi kawan-kawan, mudahmudahan bisa jadi jalan terbaik, doakan kami. Kalaupun nanti ini inkracht, doakan kami supaya kami bisa menjalani ini dengan baik ya. Kami akan kembali untuk berkarya di Kota Palembang. Terima kasih ya kawankawan. Assalamualaikum,” ungkap Romi di hadapan para pendukungnya.
Dalam sidang kemarin majelis hakim dengan ketua sekaligus anggota Much Muhlis dan anggota majelis Supriyono, Alexander Marwata, Sofialdi, dan Saiful Arif menyatakan Romi Herton dan Masyito terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi dalam dua delik sesuai dua dakwaan yang dituangkan jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Mengadili, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Romi Herton dengan pidana penjara selama enam tahun dan terdakwa Masyito selama empat tahun. Dan masingmasing terdakwa dipidana dengan denda Rp200 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar setelah putusan ini satu bulan berkekuatan hukum tetap maka diganti pidana kurungan dua bulan,” kata Muhlis saat membacakan amar putusan.
Ada dua delik yang dilakukan Romi dan Masyito. Pertama, secara bersama-sama dan berlanjut memberikan suap Rp11,395 miliar dan USD316.700 kepada mantan KetuaMK, MAkil Mochtar, melalui orang dekat Akil yang juga pemilik PT Promic Internasional, Muhtar Ependy. Kedua, secara sendiri-sendiri Romi dan Masyito selaku saksi pada sidang Akil dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau keteranganpalsu.
Dalam pemberian keterangan palsu ini majelis tidak sependapat dengan dakwaan dan tuntutan JPU bahwa kedua terdakwamelakukannya secara bersama- sama. Majelis tidak sependapat dengan tuntutan JPU soal pidana penjara 9 tahun untuk Romi dan 6 tahun untuk Masyito. “Terdakwa 1 (Romi) dan terdakwa 2 (Masyito) disumpah secara sendiri-sendiri dan bertanggung jawab atas kesaksian mereka masing-masing,” ungkap Alexander Marwata.
Atas perbuatan suap, tutur Muhlis, Romi dan Masyito terbukti melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidanajo Pasal64ayat (1) KUHPidana, sebagaimana dalam dakwaan kesatu pertama.
Pada delik keterangan palsu, pasangan suami istri itu terbukti menurut hukum bersalah melanggar Pasal 22 jo Pasal 35 UU Pemberantasan Tipikor. “Sebagaimana dalam dakwaan kedua pertama,” papar Muhlis. Dalam menyusun amar putusan, majelis mempertimbangkan hal meringankan dan memberatkan. Yang meringankan bagi Romi dan Masyito ada enam.
Yakni, berlaku sopan, bersikap kooperatif, mengakui perbuatannya, Romi berjasa memajukanPalembang, Masyi-to sebagai istri bersama Romi mempunyai tanggungan keluarga, danbelumpernahdihukum. Hal yang memberatkan ada dua. Pertama , kedua terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
“Perbuatan terdakwa 1 dan terdakwa 2 dapat menciderai lembaga peradilan khususnya Mahkamah Konstitusi (MK),” beber Alexander. Majelis juga tidak sependapat dengan tuntutan pencabutan hak politik selama 11 tahun terhadap Romi seperti disampaikan JPU. Ada dua alasan yang dikemukakan. Pertama , tuntutan tersebut tidak jelas maksud hak memilih dan dipilih yang mana dan dalam kaitan apa.
Kedua, hak memilih dan dipilih adalah hak yang melekat pada warga negara. Karena itu, ujar Alexander, tuntutan tersebut tidak bisa dipenuhi. Romi mengaku menghormati putusan majelis hakim. Disinggung apakah akan banding, dia mengaku pikir-pikir. “Saya kira sudah jelas, kami akan pikir- pikir. Kita hormati putusan majelis hakim sebagai warga negara yang baik. Jadi kami akan gunakan waktu tujuh hari untuk pikir-pikir,” kata Romi didampingi Masyito.
Sirra Prayuna, selaku kuasa hukum Romi dan Masyito, mengatakan menghargai putusan majelis hakim. Secara objektif keseluruhan putusan majelis hakim sudah mempertimbangkan dua hal dari sisi terdakwa dan JPU. Pertama , majelis sepakat bahwa Pasal 55 ayat (1) ke-(1) dalam dakwaan pemberian keterangan palsu tidak terbukti karena itu berdiri sendiri dan tanggung jawab masing-masing.
Hal itu sudah diakui dua kliennya. Kedua , majelis melihat bahwa satu situasi yang diciptakan Muhtar Ependy untuk melakukan suatu tindak pidana. Mengenai tuntutan pencabutan hak politik selama 11 tahun, bagi Sirra, majelis jelas mempertimbangkan bahwa hak itu merupakan hak sipil dan politik secara jelas yang dijamin sebagai hak individu yang melekat pada diri seseorang.
“Dan tidak dicabut hak politiknya dan alhamdulillah hakim sependapat dengan pandangan kami. Pidana tambahan itu berlebihan, terlalu berat, dan saya kira sudah cukup jelas posisinya,” tandas Sirra. Secara pribadi Sirra akan ada saran yang disampaikan kepada dua kliennya.
Sebaiknya Romi dan Masyito mempertimbangkan betul putusan ini untuk tidak melakukan perlawanan hukum, yakni tidak mengajukan banding. Sebab, bagaimana pun Sirra menyadari betul tren pemidanaan tipikor pada perkara-perkara lain dan tingkatan setelahnya, yakni banding dan kasasi. Hasilnya, hukuman selalu meningkat.
Sabir laluhu
(bbg)