Publik Harus Tolak Niat Mendagri Kucurkan Dana Parpol Rp1 T
A
A
A
JAKARTA - Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky khadafi meminta publik menolak rencana pemerintah untuk membiayai partai politik (parpol) dari APBN.
Sebab tak tanggung-tanggung wacana pembiayaan yang dikeluarkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) nilainya mencapai Rp1 triliun untuk setiap parpol.
Menurut Uchok sejumlah alasan kenapa wacana pembiayaan parpol sebesar Rp1 triliun itu harus ditolak karena sistem pengawasannya akan lemah setelah KPK digerogoti melalui proses kriminalisasi.
"(Anggaran) Rp1 triliun ini bisa bukan untuk kepentingan partai atau rakyat. Uang satu triliun bisa jatuh ke tangan pemilik partai," ujar Uchok kepada wartawan, di Jakarta, Senin (9/3/2015).
Uchok meminta anggaran Rp1 triliun belum pantas digelontorkan kepada parpol, karena sistem manajemen partai masih berantakan. Apalagi petinggi partai masih didominasi kelas pengusaha.
Menurut dia, susah menjamin dana tersebut akan direalisasikan untuk kebutuhan kaderisasi yang maksimal. Sebaliknya, kader akan berlomba-lomba untuk dapat menikmati dana itu.
"Karena keuangan partai biasanya bisa dibelanjakan atas perintah elite partai, daripada mengikuti program yang sudah disepakati," ucapnya.
Hal lain yang menjadi kewajiban publik menolak wacana pemerintah karena juga, sistem kepartaian di Indonesia belum seutuhnya demokratis.
Parpol masih mengandalkan hierarki politik dalam keluarga maupun sistem oligarki. Sehingga dana RP1 triliun berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan mereka.
Terakhir menurut dia, selain lemahnya pengawasan di KPK, juga sistem pemeriksaan keuangan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap parpol yang dianggapnya belum seluruhnya independen.
"Apalagi ini dana partai, tidak berani BPK mempublikasi penyimpangan dana partai ini karena orang-orang BPK itu orang orang partai," ungkapnya.
"Tidak mungkin orang BPK berani mengungkap anggaran partai mereka. Jadi, antara bus kota jangan saling mendahului," imbuhnya.
Sebelumnya Mendagri Tjahjo sempat menyatakan, perlu adanya wacana jangka panjang dari pemerintah untuk membiayai parpol dengan APBN.
Jika didukung oleh DPR dan masyarakat prodemokrasi, Mendagri mengusulkan dana Rp1 triliun untuk parpol dari APBN. Saran ini, kata Tjahjo, hanyalah saran pribadinya bukan dengan jabatannya sebagai Mendagri.
"Khususnya untuk meningkatkan transparansi dan demokrasi dengan memikirkan membiayai parpol melalui APBN dengan rincian satu parpol misalnya maksimal Rp1 triliun, setelah adanya hasil pemilu parpol yang memenuhi threshold 2019 misalnya," ujar Tjahjo melalui keterangan tertulis kepada media 8 Maret 2015.
Sebab tak tanggung-tanggung wacana pembiayaan yang dikeluarkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) nilainya mencapai Rp1 triliun untuk setiap parpol.
Menurut Uchok sejumlah alasan kenapa wacana pembiayaan parpol sebesar Rp1 triliun itu harus ditolak karena sistem pengawasannya akan lemah setelah KPK digerogoti melalui proses kriminalisasi.
"(Anggaran) Rp1 triliun ini bisa bukan untuk kepentingan partai atau rakyat. Uang satu triliun bisa jatuh ke tangan pemilik partai," ujar Uchok kepada wartawan, di Jakarta, Senin (9/3/2015).
Uchok meminta anggaran Rp1 triliun belum pantas digelontorkan kepada parpol, karena sistem manajemen partai masih berantakan. Apalagi petinggi partai masih didominasi kelas pengusaha.
Menurut dia, susah menjamin dana tersebut akan direalisasikan untuk kebutuhan kaderisasi yang maksimal. Sebaliknya, kader akan berlomba-lomba untuk dapat menikmati dana itu.
"Karena keuangan partai biasanya bisa dibelanjakan atas perintah elite partai, daripada mengikuti program yang sudah disepakati," ucapnya.
Hal lain yang menjadi kewajiban publik menolak wacana pemerintah karena juga, sistem kepartaian di Indonesia belum seutuhnya demokratis.
Parpol masih mengandalkan hierarki politik dalam keluarga maupun sistem oligarki. Sehingga dana RP1 triliun berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan mereka.
Terakhir menurut dia, selain lemahnya pengawasan di KPK, juga sistem pemeriksaan keuangan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap parpol yang dianggapnya belum seluruhnya independen.
"Apalagi ini dana partai, tidak berani BPK mempublikasi penyimpangan dana partai ini karena orang-orang BPK itu orang orang partai," ungkapnya.
"Tidak mungkin orang BPK berani mengungkap anggaran partai mereka. Jadi, antara bus kota jangan saling mendahului," imbuhnya.
Sebelumnya Mendagri Tjahjo sempat menyatakan, perlu adanya wacana jangka panjang dari pemerintah untuk membiayai parpol dengan APBN.
Jika didukung oleh DPR dan masyarakat prodemokrasi, Mendagri mengusulkan dana Rp1 triliun untuk parpol dari APBN. Saran ini, kata Tjahjo, hanyalah saran pribadinya bukan dengan jabatannya sebagai Mendagri.
"Khususnya untuk meningkatkan transparansi dan demokrasi dengan memikirkan membiayai parpol melalui APBN dengan rincian satu parpol misalnya maksimal Rp1 triliun, setelah adanya hasil pemilu parpol yang memenuhi threshold 2019 misalnya," ujar Tjahjo melalui keterangan tertulis kepada media 8 Maret 2015.
(maf)