Pengawasan Internal Pemerintah Belum Maksimal
A
A
A
JAKARTA - Salah satu pekerjaan rumah yang harus dituntaskan untuk mewujudkan reformasi birokrasi adalah memaksimalkan pengawasan internal pemerintahan.
Sekalipun pengawas internal ada, namun pada saat yang sama pelanggaran pejabat negara juga marak terjadi. “Pengawasan internal mutlak harus ada. Tapi, hingga kini tak ada undang-undang (UU) yang mengatur pengawasan internal,” ungkap mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan - RB) Azwar Abubakar di Jakarta akhir pekan lalu.
Menurut Azwar, kehadiran UU pengawas internal pemerintahan sangatlah penting mengingat banyak penyelewengan penggunaan anggaran yang dilakukan pejabat negara. “Inspektorat provinsi/kota dan kementerian/lembaga itu seperti jeruk makan jeruk. Mereka melekat dengan yang diawasi,” ujarnya.
Politikus PAN ini mengatakan, seharusnya pengawas internal berdiri secara independen. Pengawas internal pemerintah tidak boleh sejajar dengan lembaga yang diawasi. Misalnya saja saat ini inspektorat kabupaten diangkat oleh bupati. “Ini yang membuat inspektorat yang merupakan pengawas internal terlihat canggung dan tidak independen dalam memeriksa,” ucapnya.
Belum lagi aparat pengawas internal dinilai masih kurang profesional. Ini karena para pengawas memiliki latar belakang yang tidak sesuai sehingga integritas, kompetensi, dan komitmen menjadi lemah. Selain itu juga sistem pengawasan internal dinilai lemah karena tidak jelas pembagian tugas antarlembaga dan pengawas.
Menurut dia, ada usulan agar Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) digabungkan dengan inspektorat di tingkat kabupaten/kota, inspektorat wilayah di tingkat provinsi, dan inspektorat jenderal. Nanti lembaga ini bernama inspektorat nasional. Dengan penggabungan tersebut, akan diperoleh dua keuntungan.
Pertama, akan didapat orang-orang yang lebih kompeten karena menguasai audit kinerja. Kedua, akan diperoleh orang-orang yang independen karena tidak sepenuhnya di bawah lembaga pemerintahan.
“Kalau pakaian kotor, itu cukup dicuci dengan sabun. Itulah pengawas internal atau gabungan tadi. Kalau ada noda lain, baru pakai bahan kimia atau cairan pemutih. Ini baru BPK dan KPK. Ini nanti di ujung, yang terpenting pengawasan internal dulu,” paparnya.
Kemenpan - RB sebenarnya telah menuntaskan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pengawasan Internal Pemerintah (SPIP). Sayangnya, RUU tersebut tidak masuk dalam peraturan yang diprioritaskan pembahasannya tahun ini sekalipun masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-1019, Deputi Bidang Program dan Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kemenpan - RB Muhammad Yusuf Ateh menyatakan, RUU itu tidak menjadi prioritas pembahasan tahun ini.
Meski demikian, ujarnya, Kemenpan - RB terus menyempurnakan substansi RUU SPIP.
Dita angga
Sekalipun pengawas internal ada, namun pada saat yang sama pelanggaran pejabat negara juga marak terjadi. “Pengawasan internal mutlak harus ada. Tapi, hingga kini tak ada undang-undang (UU) yang mengatur pengawasan internal,” ungkap mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan - RB) Azwar Abubakar di Jakarta akhir pekan lalu.
Menurut Azwar, kehadiran UU pengawas internal pemerintahan sangatlah penting mengingat banyak penyelewengan penggunaan anggaran yang dilakukan pejabat negara. “Inspektorat provinsi/kota dan kementerian/lembaga itu seperti jeruk makan jeruk. Mereka melekat dengan yang diawasi,” ujarnya.
Politikus PAN ini mengatakan, seharusnya pengawas internal berdiri secara independen. Pengawas internal pemerintah tidak boleh sejajar dengan lembaga yang diawasi. Misalnya saja saat ini inspektorat kabupaten diangkat oleh bupati. “Ini yang membuat inspektorat yang merupakan pengawas internal terlihat canggung dan tidak independen dalam memeriksa,” ucapnya.
Belum lagi aparat pengawas internal dinilai masih kurang profesional. Ini karena para pengawas memiliki latar belakang yang tidak sesuai sehingga integritas, kompetensi, dan komitmen menjadi lemah. Selain itu juga sistem pengawasan internal dinilai lemah karena tidak jelas pembagian tugas antarlembaga dan pengawas.
Menurut dia, ada usulan agar Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) digabungkan dengan inspektorat di tingkat kabupaten/kota, inspektorat wilayah di tingkat provinsi, dan inspektorat jenderal. Nanti lembaga ini bernama inspektorat nasional. Dengan penggabungan tersebut, akan diperoleh dua keuntungan.
Pertama, akan didapat orang-orang yang lebih kompeten karena menguasai audit kinerja. Kedua, akan diperoleh orang-orang yang independen karena tidak sepenuhnya di bawah lembaga pemerintahan.
“Kalau pakaian kotor, itu cukup dicuci dengan sabun. Itulah pengawas internal atau gabungan tadi. Kalau ada noda lain, baru pakai bahan kimia atau cairan pemutih. Ini baru BPK dan KPK. Ini nanti di ujung, yang terpenting pengawasan internal dulu,” paparnya.
Kemenpan - RB sebenarnya telah menuntaskan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pengawasan Internal Pemerintah (SPIP). Sayangnya, RUU tersebut tidak masuk dalam peraturan yang diprioritaskan pembahasannya tahun ini sekalipun masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-1019, Deputi Bidang Program dan Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kemenpan - RB Muhammad Yusuf Ateh menyatakan, RUU itu tidak menjadi prioritas pembahasan tahun ini.
Meski demikian, ujarnya, Kemenpan - RB terus menyempurnakan substansi RUU SPIP.
Dita angga
(ftr)