Rumah Refleksi Kental Akan Budaya
A
A
A
Ramainya suasana Sabtu sore kala itu terlihat jelas saat KORAN SINDO sampai di kawasan Jatijajar, Depok, guna mengunjungi kediaman Arist Merdeka Sirait.
Kali pertama memasuki rumah ini, sudah terasa nuansa budaya Nusantara di sana. Sambil bercengkerama, aktivis perlindungan anak itu menceritakan bagaimana kehidupan yang ia jalani di rumah yang sudah ditempati sekitar 17 tahun ini.
Arist mengatakan, awal tertarik untuk tinggal di daerah Depok karena ingin menenangkan diri dari kebisingan Kota Jakarta. Arist juga ingin menghindari bencana banjir sehingga mencari tempat tinggal yang memang termasuk dataran tinggi.
Banyaknya tanaman dan berbagai macam kebun buah membuat daerah tempat tinggalnya itu sangat sejuk dan terasa asri. ”Pilihan saya tinggal di sini juga karena saya ingin berbaur dengan masyarakat. Jadi saya tidak ingin tinggal di perumahan,” ujarnya. Rumah yang memiliki luas tanah sekitar 350 m2 dan luas bangunan 250 m2 ini sarat akan budaya. Semua itu terlihat dari tiap sudut ruangan di rumah Arist.
Di area ruang tamu, banyak dihiasi aksesori hasil kerajinan dari berbagai daerah seperti Kalimantan, Papua, Sulawesi, Lombok, dan Batak. Selain itu, juga terdapat berbagai pajangan piagam serta foto keluarga. Konsep rumah yang diusung Arist adalah menyatukan unsur budaya, seni, dan keilmuan.
”Unsur budaya itu saya bawa dan terlihat dari interior rumah. Salah satunya dengan gorga batak yang terdapat di rumah ini,” katanya. Arist menjelaskan, gorga artinya ukiran. Ukiran ini memiliki kombinasi tiga warna khas Batak yaitu warna merah, hitam, dan putih. Gorga batak juga dapat menandakan status orang tersebut. Lebih spesial lagi, ukiran yang terdapat pada gorga batak tidak memilik garis putus dan tidak ada titiknya.
”Saya datangkan tukang langsung dari Sumatera untuk membuat gorga itu,” ungkapnya. Di bawah hiasan gorga batak itu terdapat ruang tengah sebagai tempat berkumpul dengan anggota keluarga lain. Selain sarat dengan budaya, rumah Arist juga kental akan unsur seni. Arist memang menyukai seni. Itu terlihat dari berbagai koleksi alat musik serta lukisan yang dimilikinya. Di lantai dua rumahnya terdapat ruang tempat Arist merelaksasikan diri dengan hiburan.
”Ada piano yang biasanya saya gunakan untuk karaoke bersama istri, kemudian ada alat musik tradisional akustik seperti gendang, gitar, dan lain-lain. Dengan bermain alat musik, saya sudah merasa mendapatkan hiburan,” katanya. Bukan hanya musik, Arist juga senang dengan lukisan-lukisan yang mencerminkan kehidupan nyata yang terjadi di Indonesia. ”Kebanyakan lukisan itu hasil permintaan saya kepada pelukis. Saya ungkapkan tentang apa yang saya lihat dan saya rasakan,” tuturnya.
Di antaranya terlihat lukisan tentang anak jalanan, kemudian anak yang masih berusia muda sedang istirahat makan siang ketika bekerja di pabrik. Bagian rumah yang menjadi tempat favorit Arist adalah ruang kerja. Di dalam ruangan itu terdapat berbagai macam buku dengan jumlah kurang lebih 11.000 buku. Temanya beragam, namun yang paling banyak adalah buku tentang anak dan psikologi.
”Kalau sudah berada di ruangan ini, saya tidak bisa diganggu lagi. Saya menghabiskan waktu di sini sekitar malam hari setelah pulang kerja,” tuturnya. Bagian yang menjadi favorit juga karena ruangan ini langsung menghadap ke arah matahari. ”Kadang saya tidak perlu menggunakan AC lagi. Saya cukup membuka jendela dan pintu,” ujarnya.
Arist menambahkan, di ruangan inilah ia mendapatkan inspirasi yang dituangkan dalam bentuk buku dan lagu. Jika sudah berada di ruang kerjanya, Arist tidak mengenal waktu dan sering tertidur setelah lelah mengerjakan tugasnya. Menurut Arist, ia sengaja menggabungkan unsur keilmuan yaitu buku, kemudian musik, dan budaya.
Baginya, buku itu sumber inspirasi, sedangkan musik untuk menenangkan. Jadi, semua seimbang antara otak kanan dan otak kiri. ”Rumah ini menginspirasi sebuah gerakan agar hidup kita bermanfaat bagi orang lain. Rumah ini juga menghadap matahari untuk menyinari hidup orang lain. Menjadi rumah refleksi untuk berpikir apa saja yang sudah dan harus dikerjakan,” katanya.
Kini Arist menempati rumah itu bersama istri dan cucunya. Arist mengungkapkan, hal yang membuatnya betah dan suka dengan rumah ini adalah matahari pagi yang langsung masuk menyinari rumah. ”Saya merasa ini rumah yang saya cari. Ketika matahari bersinar di pagi hari, keyakinan saya adalah, saya juga harus bisa menyinari orang lain,” ungkapnya. Ada bagian rumah yang tidak kalah Arist suka yaitu tempat duduk yang berada di halaman rumah, tepat di depan ruang tamu.
”Biasanya saya setiap hari berdoa jam lima pagi sambil merasakan matahari terbit. Di tempat ini saya suka merenung apa yang sudah saya kerjakan dan harus saya kerjakan. Saya melakukan doa pagi di sini,” katanya. Bagi Arist, makna rumah bukan hanya sebagai tempat peristirahatan. Rumah juga menjadi tempat merefleksikan apa yang ia kerjakan selama di luar rumah.
”Setelah saya melakukan pekerjaan, sampai di rumah saya berpikir apa yang sudah saya lakukan itu sebuah tindakan positif atau kesalahan. Maka itu, besok paginya saya berdoa,” pungkasnya.
Dina angelina
Kali pertama memasuki rumah ini, sudah terasa nuansa budaya Nusantara di sana. Sambil bercengkerama, aktivis perlindungan anak itu menceritakan bagaimana kehidupan yang ia jalani di rumah yang sudah ditempati sekitar 17 tahun ini.
Arist mengatakan, awal tertarik untuk tinggal di daerah Depok karena ingin menenangkan diri dari kebisingan Kota Jakarta. Arist juga ingin menghindari bencana banjir sehingga mencari tempat tinggal yang memang termasuk dataran tinggi.
Banyaknya tanaman dan berbagai macam kebun buah membuat daerah tempat tinggalnya itu sangat sejuk dan terasa asri. ”Pilihan saya tinggal di sini juga karena saya ingin berbaur dengan masyarakat. Jadi saya tidak ingin tinggal di perumahan,” ujarnya. Rumah yang memiliki luas tanah sekitar 350 m2 dan luas bangunan 250 m2 ini sarat akan budaya. Semua itu terlihat dari tiap sudut ruangan di rumah Arist.
Di area ruang tamu, banyak dihiasi aksesori hasil kerajinan dari berbagai daerah seperti Kalimantan, Papua, Sulawesi, Lombok, dan Batak. Selain itu, juga terdapat berbagai pajangan piagam serta foto keluarga. Konsep rumah yang diusung Arist adalah menyatukan unsur budaya, seni, dan keilmuan.
”Unsur budaya itu saya bawa dan terlihat dari interior rumah. Salah satunya dengan gorga batak yang terdapat di rumah ini,” katanya. Arist menjelaskan, gorga artinya ukiran. Ukiran ini memiliki kombinasi tiga warna khas Batak yaitu warna merah, hitam, dan putih. Gorga batak juga dapat menandakan status orang tersebut. Lebih spesial lagi, ukiran yang terdapat pada gorga batak tidak memilik garis putus dan tidak ada titiknya.
”Saya datangkan tukang langsung dari Sumatera untuk membuat gorga itu,” ungkapnya. Di bawah hiasan gorga batak itu terdapat ruang tengah sebagai tempat berkumpul dengan anggota keluarga lain. Selain sarat dengan budaya, rumah Arist juga kental akan unsur seni. Arist memang menyukai seni. Itu terlihat dari berbagai koleksi alat musik serta lukisan yang dimilikinya. Di lantai dua rumahnya terdapat ruang tempat Arist merelaksasikan diri dengan hiburan.
”Ada piano yang biasanya saya gunakan untuk karaoke bersama istri, kemudian ada alat musik tradisional akustik seperti gendang, gitar, dan lain-lain. Dengan bermain alat musik, saya sudah merasa mendapatkan hiburan,” katanya. Bukan hanya musik, Arist juga senang dengan lukisan-lukisan yang mencerminkan kehidupan nyata yang terjadi di Indonesia. ”Kebanyakan lukisan itu hasil permintaan saya kepada pelukis. Saya ungkapkan tentang apa yang saya lihat dan saya rasakan,” tuturnya.
Di antaranya terlihat lukisan tentang anak jalanan, kemudian anak yang masih berusia muda sedang istirahat makan siang ketika bekerja di pabrik. Bagian rumah yang menjadi tempat favorit Arist adalah ruang kerja. Di dalam ruangan itu terdapat berbagai macam buku dengan jumlah kurang lebih 11.000 buku. Temanya beragam, namun yang paling banyak adalah buku tentang anak dan psikologi.
”Kalau sudah berada di ruangan ini, saya tidak bisa diganggu lagi. Saya menghabiskan waktu di sini sekitar malam hari setelah pulang kerja,” tuturnya. Bagian yang menjadi favorit juga karena ruangan ini langsung menghadap ke arah matahari. ”Kadang saya tidak perlu menggunakan AC lagi. Saya cukup membuka jendela dan pintu,” ujarnya.
Arist menambahkan, di ruangan inilah ia mendapatkan inspirasi yang dituangkan dalam bentuk buku dan lagu. Jika sudah berada di ruang kerjanya, Arist tidak mengenal waktu dan sering tertidur setelah lelah mengerjakan tugasnya. Menurut Arist, ia sengaja menggabungkan unsur keilmuan yaitu buku, kemudian musik, dan budaya.
Baginya, buku itu sumber inspirasi, sedangkan musik untuk menenangkan. Jadi, semua seimbang antara otak kanan dan otak kiri. ”Rumah ini menginspirasi sebuah gerakan agar hidup kita bermanfaat bagi orang lain. Rumah ini juga menghadap matahari untuk menyinari hidup orang lain. Menjadi rumah refleksi untuk berpikir apa saja yang sudah dan harus dikerjakan,” katanya.
Kini Arist menempati rumah itu bersama istri dan cucunya. Arist mengungkapkan, hal yang membuatnya betah dan suka dengan rumah ini adalah matahari pagi yang langsung masuk menyinari rumah. ”Saya merasa ini rumah yang saya cari. Ketika matahari bersinar di pagi hari, keyakinan saya adalah, saya juga harus bisa menyinari orang lain,” ungkapnya. Ada bagian rumah yang tidak kalah Arist suka yaitu tempat duduk yang berada di halaman rumah, tepat di depan ruang tamu.
”Biasanya saya setiap hari berdoa jam lima pagi sambil merasakan matahari terbit. Di tempat ini saya suka merenung apa yang sudah saya kerjakan dan harus saya kerjakan. Saya melakukan doa pagi di sini,” katanya. Bagi Arist, makna rumah bukan hanya sebagai tempat peristirahatan. Rumah juga menjadi tempat merefleksikan apa yang ia kerjakan selama di luar rumah.
”Setelah saya melakukan pekerjaan, sampai di rumah saya berpikir apa yang sudah saya lakukan itu sebuah tindakan positif atau kesalahan. Maka itu, besok paginya saya berdoa,” pungkasnya.
Dina angelina
(ars)