Imajinasi Sawah, Masa Lalu

Minggu, 08 Maret 2015 - 09:59 WIB
Imajinasi Sawah, Masa Lalu
Imajinasi Sawah, Masa Lalu
A A A
Sawah bergelimang imajinasi dan makna. Joko Widodo mengajak kita mengartikan sawah demi mencapai swasembada pangan.

Sang Presiden mengunjungi pelbagai desa, turun ke sawah. Nasib Indonesia juga bergantung pada sawah. Situasi kehidupan abad XXI tak harus menghilangkan imajinasi dan pemaknaan sawah.

Di sawah sang Presiden menebar pesan tentang kemakmuran dan kesejahteraan. Sawah menjadi tumpuan kekuasaan dan kehendak mewarisi adab agraris. Sang Presiden tak berpuisi, tapi bergairah mengartikan sawah berlatar kekuasaan. Imajinasi sawah belum berakhir.

Dulu imajinasi sawah ada dalam pelbagai teks sastra klasik. Tahun demi tahun berlalu, imajinasi sawah mulai berkurang akibat perubahan situasi zaman dan keengganan para sastrawan mengantarkan teks-teks sastra bercerita sawah. Sejak masa 1930–an, situasi kolonial dan modernisasi tak bisa menghilangkan tema lawas: sawah. Para pujangga tetap tekun menggubah puisi-puisi agraris.

Sawah terus diceritakan meski tak melimpah. Puluhan pujangga menggubah puisi, dipersembahkan pada pembaca. Puisi itu sebagai refleksi: mengenang masa lalu atau rangsangan bergerak ke masa depan. Puisi-puisi masih menempatkan sawah sebagai sumber pengisahan tak usai. Sawah tetap hadir, diimajinasikan berbarengan situasi kolonialisme dan arus modernitas. Pujangga bernama A Hasjmy menggubah puisi berjudul Toeroen ke Sawah (1936).

Nostalgia sawah mengiringi biografi pujangga. Ingatan pada sawah tak bakal hilang meski zaman berubah: Kalau hari hampir pagi/ Mendering genta kerbaoe/ Dihalaoe ajahkoe pergi ke sawah. Bagi pujangga, sawah adalah cerita besar, tak habis dimaknai. Puisi berjudul Padi Moeda (1936) menjelaskan keterikatan hidup pada sawah.

Sang pujangga menulis: Kalau tedoeh angin tenang,/ Padikoe diam tiada bergema,/ Sajoe piloe aku memandang/ memandang padi berdoeka tjita… Di ujung puisi, ada pengharapan: Oh, padikoe nan baroe berhajat/ Engkaoe koeharap pembawa rahmat.

Kehidupan di negeri agraris dipengaruhi kesanggupan bertani. Hidup dijelaskan melalui sawah. Puisi berjudul Sawah (1940) mengenang kehidupan berangan makmur, subur, tenang, dan bahagia. Sang pujangga menulis: Melihat padi mengoening oerai/ Hati noerani menjeni seni,/ Meloekiskan keindahan ini,/ Bersawah loeas, berpandang permai. Sawah bertaut rasa seni dan ekspresi bersukacita.

Pada masa lalu sawah diberi julukan sebagai “Permata Benoea Timoer”. Sawah adalah bukti peradaban di Timur terus berkembang, sejak ribuan tahun silam. Sawah mengartikan nafas hidup belum selesai, keringat tak pernah mengeri, dan kerja menjadi ejawantah ibadah. Pengisahan sawah juga muncul dalam puisipuisi gubahan Sanoesi Pane. Pada masa 1930–an, Sanoesi Pane menganjurkan kiblat kultural ke Timur. Sikap itu berhadapan dengan ajakan Sutan Takdir Alisjahbana: mencapai “kemadjoean” berkiblat Barat.

Di Timur, Sanoesi Pane merasa ada kemuliaan bereferensi adab agraris ketimbang bernafsu memuja industrialisasi. Puisi berjudul Sawah menjelaskan imajinasi kultural pujangga atas peradaban agraris: Sawah di bawah emas padoe,/ Padi melambai, melalai terkoelai./ Naik soeara saloeng seroenai,/ Sedjoek didengar, mendamaikan kalboe. Sawah menjadi sumber ketenangan, kebahagiaan, kemakmuran, dan keindahan. Puisi ini terkesan puja tak berkesudahan pada sawah. Imajinasi sawah semakin menguat dalam puisi berjudul Menoemboek Padi.

Pujangga berlaku sebagai pengisah: menimbulkan pikat dan pemaknaan atas sawah. Penghidupan berlanjut dan pantas dimeriahkan mengacu ke adegan menumbuk padi. Ekspresi sukacita dan pengharapan. Puisi tampak “berlebihan” dan romantis: Dalam tjahaja boelan poernama,/ Anak dara menoemboek padi,/ Aloe arah lesoeng bersama,/ Naik toeroen berganti-ganti.

Adab agraris, selebrasi puitis atas sawah memungkinkan pujangga menebar godaan imajinasi asmara: Datang berombak soeara saloeng,/ Tjinta berahi tjinta kandoeng,/ Hendak mengambil hati perawan. Sawah tak cuma berkisah tanah, air, padi, ular, atau burung. Sawah menggerakkan imajinasi asmara, menggoda perasaanperasaan tak biasa. Sawah perlahan menjadi masa lalu, gampang terlupakan. Puisi-puisi bercerita sawah mirip nostalgia di bilik sepi. Indonesia berubah: memiliki cerita-cerita baru tentang pabrik, kota, jalan, mesin, hotel, dan pusat perbelanjaan.

Pujangga masih menulis sawah. Pembaca bisa menemukan puisi di tepian ingatan atas arus peradaban agraris. Pujangga merasa tak lagi bergairah mempersembahkan imajinasi sawah saat pembahasaan atas kehidupan dan Indonesia mulai berubah. Begitu.

Bandung Mawardi
Pengelola Jagat Abjad Solo Menulis di bandungmawardi.wordpress.com
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4423 seconds (0.1#10.140)