Pemerintah Lalai Antisipasi Kenaikan Harga

Minggu, 08 Maret 2015 - 09:55 WIB
Pemerintah Lalai Antisipasi Kenaikan Harga
Pemerintah Lalai Antisipasi Kenaikan Harga
A A A
JAKARTA - Tim ekonomi pemerintah lalai mengantisipasi kenaikan barang saat ini karena tidak mempunyai strategi yang bersifat langsung dan cepat untuk mendorong daya beli masyarakat miskin.

Pemerintah juga tidak mempunyai mitigasi risiko terhadap kenaikan berbagai harga. Akibatnya daya beli masyarakat terpukul.

Pandangan demikian disampaikan Ketua Komisi VII DPR Satya Yudha serta pengamat ekonomi Yanuar Rizky dan pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistianingsih. Mereka pun mengingatkan laju inflasi tidak akan terbendung jika pemerintah tidak mengambil langkah konkret.

”Kenaikan harga BBM tidak diikuti dengan subsidi langsung kepada masyarakat. Akibatnya, masyarakat dibiarkan menyaksikan harga-harga seperti beras, elpiji, listrik mengalami kenaikan. Masyarakat hanya menerima tiga kartu yang fungsinya belum maksimal, ditambah masyarakat tidak menerima subsidi langsung sehingga membuat daya beli masyarakat terpukul,” ujar Satya Yudha di Jakarta kemarin.

Dia melihat pemerintah saat ini terpaku strategi jangka panjang. Sebagai bukti, dia menunjuk anggaran penghematan BBM tidak digunakan untuk bantuan jangka pendek dan hanya fokus pada rencana jangka panjang, seperti untuk penyertaan modal atau PMN kepada 30 BUMN pada APBN-P 2015 sebesar Rp43,2 triliun. ”Seharusnya itu untuk meningkatkan daya beli masyarakat,” ujar Satya.

Karena tidak adanya program yang langsung diterima masyarakat, dia memprediksi inflasi tidak terbendung dan bisa mencapai 6%. Untuk itulah, DPR RI menyarankan agar pola pengalihan subsidi energi diberikan kepada masyarakat yang tidak mampu. ”Elpiji tidak boleh didistribusikan secara terbuka, harus kepada kelompok masyarakat kategori di bawah yang telah disepakati yakni, sangat miskin dan miskin. Orang diluar itu tidak boleh elpiji 3kg. Jika ini dilakukan maka akan menekan inflasi. Namun, yang ada pola retribusi tidak terjaga dengan baik,” ucapnya.

Dia juga meminta Menteri Koordinator Perekonomian untuk berkoordinasi dan melakukan operasi pasar secara masif, terutama untuk komoditi utama seperti beras, gula, dan air. ”Kita akan memantau sampai pertengahan tahun ini sekitar Juni berdasarkan perhitungan neraca belanja setahun. Kalau pemerintah gagal maka tahun-tahun ke depan juga diprediksi akan gagal,” kata Satya. Lana Soelistianingsih melihat pemerintah tidak mengantisipasi gagal panen. Akibatnya, harga beras dimainkan para spekulan dan pedagang. Semestinya kondisi ini bisa diantisipasi dengan melakukan operasi pasar.

”Karena tidak ada operasi pasar, akibatnya harga dimainkan oleh para pedagang ketika petani gagal panen. Apalagi pemerintah tidak pegang stok, yang pegang stok adalah para pedagang,” katanya. Dia juga menilai masa transisi kepemimpinan nasional menjadi penyebab pemerintah tidak mewaspadai siklus tersebut yang sebenarnya bisa dideteksi. Termasuk karena melemahnya nilai tukar rupiah, naiknya harga BBM yang sangat tinggi pada November lalu yakni Rp8.500/liter.

Walau ada penurunan BBM, para pedagang tidak mau menurunkan harga. ”Supaya inflasi tetap terjaga maka faktor stok komoditi, siklus harus benar-benar diperhatikan. Menko perekonomian harus sering-sering melakukan operasi pasar, jangan di belakang meja terus. Apa perlu peran Bulog diperluas juga sehingga tidak hanya stok beras, tapi juga gula dan sebagainya,” ucapnya.

Lana kemudian mengingatkan, dalam waktu dekat masyarakat akan menjalankan ibadah puasa Ramadan dan Lebaran. Pemerintah harus melakukan upaya antisipasi terhadap stok pangan. Karena itu, dirinya sepakat dengan pernyataan anggota Komisi VII DPR RI yang akan memantau sampai Juni mendatang. ”Daya beli masyarakat masih cukup lumayan karena PDB per kapita pada 2014 ada kenaikan menjadi 13,6%. Namun, tetap perlu diperhatikan,” katanya.

Adapun Yanuar Rizky berpendapatnaiknya harga BBM, harga beras, tarif listrik, gas elpiji secara bersamaan akan memicu inflasi. Menurutnya, sumbangan inflasi yang paling besar akan dikontribusikan dari kenaikan harga beras dibandingkan dengan kenaikan harga listrik dan lainnya. Namun sayang, Yanuar belum bisa menyebutkan berapa besaran angka pengaruhnya ke inflasi. ”Tapi yang pasti Maret inflasi,” ujar Yanuar kemarin.

Dia melanjutkan, faktor lain yang membuat bulan ini akan terjadi inflasi lantaran dolar AS juga mengalami penguatan. Yanuar juga memandang kenaikan harga secara bersamaan akan berpengaruh kepada masyarakat. Menurut dia, seharusnya sudah ada mitigasi risiko jangka pendek dari pemerintah terkait persoalan ini. Sayangnya, pemerintah sekarang kurang mempunyai sebuah planning jangka pendek, tapi hanya berbicara jangka panjang saja seperti pembangunan infrastruktur dan lainlain.

”Kalau kita ngomong inflasi itu kan dari arus barang, sekarang gini, secara politis kan pemerintah menginginkan BI Rate turun untuk menurunkan suku bunga kredit,” ujarnya. Dia pun mengingatkan, jika pemerintah tidak bisa mengendalikan arus barang maka kebijakannya yang diambil akan kontraproduktif.

Pasalnya, pemilik dana tetap akan mengompensasi inflasinya sehingga membuat rupiah melemah namun sahamnya naik.”Itu juga kan orang akhirnya akan melihat. Kalau anda misalkan dikasih bunga rupiah turun dari sisi deposan anda akanlari keUSDkarenaUSD naik. Nah, itukankontraksi, tidak menyelesaikan persoalan inflasi akhirnya,” jelas dia.

Kekhawatiran Rupiah

Pengamat ekonomi kebijakan publik Ichsanudin Noorsy menilai pernyataan pemerintah bahwa pelemahan rupiah yang sempat menyentuh Rp13.000 per dolar AS tidak mengkhawatirkan hanya sebagai pembelaan diri. Dia pun mengingatkan fundamental makro yang dimiliki oleh Indonesia sangat buruk.

”Itu pembelaan diri yang tidak melihat bahwa sesungguhnya fundamental makro kita jelek,” ujarnya, di Jakarta, kemarin. Karena itu, Noorsy meminta pemerintah melakukan langkah serius untuk mengatasi pelemahan rupiah, salah satunya dengan mempertemukan visi dan misi lembaga negara yang berkaitan dengan stabilitas ekonomi agar mampu menyeimbangkan perekonomian nasional, khususnya dalam menstabilkan nilai tukar rupiah.

”Artinya tidak boleh lamalamasituasisepertiini, karenakalau lama-lama bisa membuat Indonesia menjadi ekonomi pesakitan bukan hanya residivis, tapi ekonomi pesakitan,” tukasnya. Dia sendiri memprediksi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih akan berlangsung lama. Beberapa faktor yang bisa membuat nilai tukar rupiah menguat apabila Indonesia bisa memperkuat sumber daya yang berelasi dengan produksi.

”Indonesia tidak punya relasi sumber daya ke produksi, di mana produksi juga tidak berelasi dengan distribusi. Dan menariknya tidak ada nilai tambah kita ke produksi,” kata Noorsy di Jakarta kemarin. Ekonom Bank Permata Josua Pardede meminta pemerintah memperkuat cadangan devisa. Pasalnya, cadangan devisa yang tinggi dapat digunakan sebagai penyangga (buffer ) agar dapat menahan pembalikan arus modal dana asing yang keluar dari Indonesia.

Untuk diketahui, posisi cadangan devisa Indonesia akhir Februari 2015 tercatat sebesar USD115,5 miliar, meningkat USD1,3 miliar dari posisi akhir Januari 2015 sebesar USD114,2 miliar. ”Cadangan devisa kita memang selalu meningkat tiap bulan, diharapkan ke depan cadangan devisa bisa lebih ditingkatkan dengan cara seperti mengeluarkan sukuk global, kemudian penerbitan samurai bonds dll. Nah, karena dengan itu diharapkan dapat menarik investasi asing,” ujar Josua kemarin.

Senada, Ekonom Indef Eko Listiyanto menilai dengan cadangan devisa menjadi USD115,5 miliar masih terbilang aman. Pasalnya, cadangan devisa yang angkanya sudah di atas USD100 miliar artinya sudah dapat membiayai lebih dari 6,5 bulan impor dan pembayaran utang swasta. Akan tetapi, lanjut dia, jika melihat kondisi sekarang di mana nilai tukar rupiah terus merosot maka cadangan devisa yang tinggi tidak banyak membantu.

”Nah, akan lebih baik digunakan untuk operasi moneter. Supaya nilai tukar rupiahnya bisa stabil,” ujar Eko kemarin. Menurutnya, pemerintah harus ada pemahaman antara menjaga nominal dengan menjaga fundamental perekonomian. Pasalnya, nominal rupiah yang ditetapkan awal tahun sekitar Rp12.500 belum ada sebulan sudah hampir ke Rp13.000. ”Nah, ini kan sesuatu yang dipersepsikan pasar kok . Ini kebijakan moneter berat sekali’. Padahal mungkin amunisinya belum dikeluarkan,” imbuhnya.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Tirta Segara mengungkapkan, peningkatan cadangan devisa tersebut terutama berasal dari devisa hasil ekspor migas bagian pemerintah yang melebihi pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah. Menurutnya, posisi cadangan devisa per akhir Februari 2015 dapat membiayai 7,0 bulan impor atau 6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.

”Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan,” pungkas dia.

Kunthi fahmar sandy/ sucipto/dian ramdhani
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7481 seconds (0.1#10.140)