Tiga Tahun Kemoterapi, Sembuh dan Juara
A
A
A
Langit seperti runtuh bagi Lidya Afrilianti dan Arif Kurniaji ketika dokter menjatuhkan vonis kanker pada putra semata wayang mereka, Marshall Ravi Pratama (kini tujuh tahun).
Dunia yang biasanya dirasakan terang benderang bertakhtakan kebahagiaan mendadak jadi gelap gulita. Kelam, sunyi, dan menakutkan. ”Hati saya hancur saat itu. Orang tua mana yang tega melihat buah hatinya harus berhadapan dengan penyakit mematikan,” kata Lidya dalam perbincangan di HighEnd Building, Kebon Sirih Raya, Jakarta, Selasa (3/2) lalu.
Tak ada yang menduga Ravi bakal terserang kanker Limfoma Hodgkin . Balita itu begitu lucu, menggemaskan, dan terlihat baik-baik saja. Semuanya berawal pada September 2010 jelang ulang tahunnya yang ke-3. Ravi terserang batukpilek. Sewajarnya orang tua, Lidya membawanya ke rumah sakit untuk diperiksa. ”Dokter hanya melakukan observasi ringan. Dia lantas memberikan obat batuk dan pilek,” tuturnya.
Lidya mulai merasakan ada yang tak beres ketika batuk-pilek itu tak kunjung sembuh selama beberapa hari kemudian. Demi mendapatkan kejelasan mengenai sakit yang diderita putranya, Lidya bersama suami mencari second opinion dengan mendatangi rumah sakit berbeda. Pada pemeriksaan itu ditemukan benjolan seperti biji kedelai di leher Ravi.
Dokter memperkirakan itu gangguan tenggorokan dan menyarankan untuk periksa ke dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). Persoalannya benjolan tersebut hilang-timbul. Ketika kondisi tubuh Ravi fit, benjolan itu tak terlihat. Demikian sebaliknya. Gejala itu makin membuat Lidya penasaran bercampur cemas. Untuk kedua kalinya dia mencari pendapat medis lain.
Lidya memutuskan, Ravi harus dirujuk ke dokter lain dengan pertimbangan benjolan itu mungkin saja tak terkait dengan gangguan THT. Setelah mencari referensi ke sana kemari, mereka akhirnya bertemu seorang dokter spesialis kanker. Sang dokter, kata Lidya, tak lagi melakukan observasi. Begitu melihat benjolan di leher Ravi, dia seketika menyarankan agar dilakukan rontgen seluruh badan. Hasilnya?
Seperti dihantam godam, analisis medik membuat jantung Lidya seolah berhenti berdegup. ”Paruparu Ravi telah digerogoti kanker Limfoma Hodgkin 12 titik. Waktu itu sudah stadium 2, naik 3 dan langsung ganas,” kenangnya. Limfoma Hodgkin, sering disebut penyakit Hodgkin, adalah tipe limfoma yang pertama kali dideskripsikan oleh Thomas Hodgkin pada 1832.
Limfoma Hodgkin merupakan kanker pada sistem getah bening (bagian dari sistem kekebalan tubuh yang mengalirkan saluran getah bening menuju jantung). Penderita Limfoma Hodgkin biasanya menunjukkan gejala tidak nyeri, pembengkakan kelenjar getah bening di leher, lipat paha atau daerah ketiak. Vonis kanker itu begitu memukul Lidya dan Arif. Mereka shock . Betapa tidak, kata ”kanker” selama ini memang begitu menyeramkan.
Penyakit ganas yang selalu diasosiasikan dengan kematian. Hari-hari gelap pun dimulai. Lidya mengaku tak segera membawa Ravi berobat ke dokter ketika itu. Bukan tanpa alasan dia berbuat demikian. ”Ravi masih takut menjalani operasi,” katanya. Mereka pun memilih pengobatan alternatif demi mendapatkan kesembuhan. Namun, situasi makin berat. Kondisi Ravi dari waktu ke waktu kian memprihatinkan.
Berat tubuhnya anjlok, dari semula di atas 30 kg, susut hingga 13 kg. Lebih tragis, benjolan yang semula hanya satu, mulai menjalar. Benjolan-benjolan lain tumbuh memenuhi lehernya. ”Lehernya itu bukan kayak leher lagi. Dia malu kalau ke sekolah,” jelasnya. Psikologis Ravi juga jatuh saat teman-temannya menyebutnya monster. Ravi pun menyadari ada yang tak beres dengan tubuhnya.
”Leher aku kenapa, ya, Ma? Kok , enggak kaya teman-teman, sih ?” tanya Ravi mengulang pertanyaannya beberapa waktu lalu. Ravi siang itu memang menemani orang tuanya. Lidya mencatat telah berobat ke lima tempat pengobatan alternatif selama tujuh bulan. Selama itu, bocah kelahiran 9 September 2007 itu mengonsumsi sekitar 800 tablet obat herbal.
Namun, upaya itu tak membawa hasil signifikan. Atas dasar itulah, Lidya akhirnya memutuskan untuk kembali ke pertolongan medis. Di salah satu rumah sakit di Jakarta Pusat, perjuangan sembuh itu dimulai lagi. Pada perjalanannya, kemoterapi pun dilakukan. Dalam sepekan, Ravi diharuskan menjalani dua kali kemoterapi. Bukan di situ saja derita muncul.
Selama kemoterapi, Ravi mengalami 17 kali kegagalan pembukaan jalur untuk pemasangan selang kemoterapinya. ”Semua pembuluh darahnya itu sudah pecah. Jadi, kalau gagal, dibuat lubang baru,” kata Lidya. Inilah satu masa paling gelap dalam hidupnya. ”Saya nangis terus. Stres, depresi.
Papanya juga sama kayak gitu, tapi dia tetap kerja,” sambungnya. Di luar faktor medis, Lidya juga sempat frustrasi melihat begitu besarnya biaya kemoterapi. Belum lagi bayangan buruk mengenai efek samping dari pengobatan itu. Semuanya berseliweran di kepala, membuatnya putus asa.
Audisi Membawa Kesembuhan
Saat menjalani kemoterapi selama 3 tahun itu, Ravi kerap menyita perhatian. Dia sering bernyanyi, bergoyang, dan membanyol. Sikap itu memberikan ketenteraman pada ibu dan ayahnya. Mereka yakin ada sinar kesembuhan mendekat. Kelucuan Ravi itu kemudian membuka lembaran baru dalam hidupnya.
Ravi meminta agar diikutkan dalam audisi pencarian bakat yang diselenggarakan sebuah televisi swasta. Awalnya Lidya bimbang. Belum lagi suaminya juga tak mendukung. ”Anak itu lagi sakit. Lagian pencarian bakat itu hanya untuk senang-senang doang,” kata Arif ketika itu. Namun, Lidya berpandangan lain.
Dia menuruti keinginan Ravi demi menyenangkan hatinya. Jadilah Ravi mengikuti kontestasi itu. Hebatnya, Ravi tak memperlihatkan tanda-tanda sakit ketika lomba. Penyuka serial kartun Upin&Ipin ini malah terus bersemangat. Selama lima bulan mengikuti babak demi babak acara tersebut, Ravi menunjukkan tanda positif. Ibunya yang semula tak berharap banyak menjadi kian yakin.
”Di sana dia ketemu banyak anak-anak kecil. Jadi, bawaannya main. Senang terus,” ungkap Lidya. Aura positif makin deras terpancar ketika hasil rontgen memperlihatkan beberapa benjolan di paru-paru dan lehernya berangsur hilang sedikit demi sedikit. ”Dari 12, jadi 8, 6, 4 biji saja,” ceritanya senang.
Kebahagiaan akhirnya benarbenar datang 12 September 2013. Tiga hari setelah hari ulang tahunnya, hasil pemeriksaan terakhir menunjukkan bocah berkulit putih ini bebas dari kanker yang selama ini bersarang di tubuhnya. ”Syukur alhamdulillah. Doa yang tak putus dipanjatkan akhirnya terkabul. Tuhan izinkan putraku sembuh. Terima kasih ya Allah.....,” kata Lidya haru.
YUNI YULI (MOM&KIDDIE)
Jakarta
Dunia yang biasanya dirasakan terang benderang bertakhtakan kebahagiaan mendadak jadi gelap gulita. Kelam, sunyi, dan menakutkan. ”Hati saya hancur saat itu. Orang tua mana yang tega melihat buah hatinya harus berhadapan dengan penyakit mematikan,” kata Lidya dalam perbincangan di HighEnd Building, Kebon Sirih Raya, Jakarta, Selasa (3/2) lalu.
Tak ada yang menduga Ravi bakal terserang kanker Limfoma Hodgkin . Balita itu begitu lucu, menggemaskan, dan terlihat baik-baik saja. Semuanya berawal pada September 2010 jelang ulang tahunnya yang ke-3. Ravi terserang batukpilek. Sewajarnya orang tua, Lidya membawanya ke rumah sakit untuk diperiksa. ”Dokter hanya melakukan observasi ringan. Dia lantas memberikan obat batuk dan pilek,” tuturnya.
Lidya mulai merasakan ada yang tak beres ketika batuk-pilek itu tak kunjung sembuh selama beberapa hari kemudian. Demi mendapatkan kejelasan mengenai sakit yang diderita putranya, Lidya bersama suami mencari second opinion dengan mendatangi rumah sakit berbeda. Pada pemeriksaan itu ditemukan benjolan seperti biji kedelai di leher Ravi.
Dokter memperkirakan itu gangguan tenggorokan dan menyarankan untuk periksa ke dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). Persoalannya benjolan tersebut hilang-timbul. Ketika kondisi tubuh Ravi fit, benjolan itu tak terlihat. Demikian sebaliknya. Gejala itu makin membuat Lidya penasaran bercampur cemas. Untuk kedua kalinya dia mencari pendapat medis lain.
Lidya memutuskan, Ravi harus dirujuk ke dokter lain dengan pertimbangan benjolan itu mungkin saja tak terkait dengan gangguan THT. Setelah mencari referensi ke sana kemari, mereka akhirnya bertemu seorang dokter spesialis kanker. Sang dokter, kata Lidya, tak lagi melakukan observasi. Begitu melihat benjolan di leher Ravi, dia seketika menyarankan agar dilakukan rontgen seluruh badan. Hasilnya?
Seperti dihantam godam, analisis medik membuat jantung Lidya seolah berhenti berdegup. ”Paruparu Ravi telah digerogoti kanker Limfoma Hodgkin 12 titik. Waktu itu sudah stadium 2, naik 3 dan langsung ganas,” kenangnya. Limfoma Hodgkin, sering disebut penyakit Hodgkin, adalah tipe limfoma yang pertama kali dideskripsikan oleh Thomas Hodgkin pada 1832.
Limfoma Hodgkin merupakan kanker pada sistem getah bening (bagian dari sistem kekebalan tubuh yang mengalirkan saluran getah bening menuju jantung). Penderita Limfoma Hodgkin biasanya menunjukkan gejala tidak nyeri, pembengkakan kelenjar getah bening di leher, lipat paha atau daerah ketiak. Vonis kanker itu begitu memukul Lidya dan Arif. Mereka shock . Betapa tidak, kata ”kanker” selama ini memang begitu menyeramkan.
Penyakit ganas yang selalu diasosiasikan dengan kematian. Hari-hari gelap pun dimulai. Lidya mengaku tak segera membawa Ravi berobat ke dokter ketika itu. Bukan tanpa alasan dia berbuat demikian. ”Ravi masih takut menjalani operasi,” katanya. Mereka pun memilih pengobatan alternatif demi mendapatkan kesembuhan. Namun, situasi makin berat. Kondisi Ravi dari waktu ke waktu kian memprihatinkan.
Berat tubuhnya anjlok, dari semula di atas 30 kg, susut hingga 13 kg. Lebih tragis, benjolan yang semula hanya satu, mulai menjalar. Benjolan-benjolan lain tumbuh memenuhi lehernya. ”Lehernya itu bukan kayak leher lagi. Dia malu kalau ke sekolah,” jelasnya. Psikologis Ravi juga jatuh saat teman-temannya menyebutnya monster. Ravi pun menyadari ada yang tak beres dengan tubuhnya.
”Leher aku kenapa, ya, Ma? Kok , enggak kaya teman-teman, sih ?” tanya Ravi mengulang pertanyaannya beberapa waktu lalu. Ravi siang itu memang menemani orang tuanya. Lidya mencatat telah berobat ke lima tempat pengobatan alternatif selama tujuh bulan. Selama itu, bocah kelahiran 9 September 2007 itu mengonsumsi sekitar 800 tablet obat herbal.
Namun, upaya itu tak membawa hasil signifikan. Atas dasar itulah, Lidya akhirnya memutuskan untuk kembali ke pertolongan medis. Di salah satu rumah sakit di Jakarta Pusat, perjuangan sembuh itu dimulai lagi. Pada perjalanannya, kemoterapi pun dilakukan. Dalam sepekan, Ravi diharuskan menjalani dua kali kemoterapi. Bukan di situ saja derita muncul.
Selama kemoterapi, Ravi mengalami 17 kali kegagalan pembukaan jalur untuk pemasangan selang kemoterapinya. ”Semua pembuluh darahnya itu sudah pecah. Jadi, kalau gagal, dibuat lubang baru,” kata Lidya. Inilah satu masa paling gelap dalam hidupnya. ”Saya nangis terus. Stres, depresi.
Papanya juga sama kayak gitu, tapi dia tetap kerja,” sambungnya. Di luar faktor medis, Lidya juga sempat frustrasi melihat begitu besarnya biaya kemoterapi. Belum lagi bayangan buruk mengenai efek samping dari pengobatan itu. Semuanya berseliweran di kepala, membuatnya putus asa.
Audisi Membawa Kesembuhan
Saat menjalani kemoterapi selama 3 tahun itu, Ravi kerap menyita perhatian. Dia sering bernyanyi, bergoyang, dan membanyol. Sikap itu memberikan ketenteraman pada ibu dan ayahnya. Mereka yakin ada sinar kesembuhan mendekat. Kelucuan Ravi itu kemudian membuka lembaran baru dalam hidupnya.
Ravi meminta agar diikutkan dalam audisi pencarian bakat yang diselenggarakan sebuah televisi swasta. Awalnya Lidya bimbang. Belum lagi suaminya juga tak mendukung. ”Anak itu lagi sakit. Lagian pencarian bakat itu hanya untuk senang-senang doang,” kata Arif ketika itu. Namun, Lidya berpandangan lain.
Dia menuruti keinginan Ravi demi menyenangkan hatinya. Jadilah Ravi mengikuti kontestasi itu. Hebatnya, Ravi tak memperlihatkan tanda-tanda sakit ketika lomba. Penyuka serial kartun Upin&Ipin ini malah terus bersemangat. Selama lima bulan mengikuti babak demi babak acara tersebut, Ravi menunjukkan tanda positif. Ibunya yang semula tak berharap banyak menjadi kian yakin.
”Di sana dia ketemu banyak anak-anak kecil. Jadi, bawaannya main. Senang terus,” ungkap Lidya. Aura positif makin deras terpancar ketika hasil rontgen memperlihatkan beberapa benjolan di paru-paru dan lehernya berangsur hilang sedikit demi sedikit. ”Dari 12, jadi 8, 6, 4 biji saja,” ceritanya senang.
Kebahagiaan akhirnya benarbenar datang 12 September 2013. Tiga hari setelah hari ulang tahunnya, hasil pemeriksaan terakhir menunjukkan bocah berkulit putih ini bebas dari kanker yang selama ini bersarang di tubuhnya. ”Syukur alhamdulillah. Doa yang tak putus dipanjatkan akhirnya terkabul. Tuhan izinkan putraku sembuh. Terima kasih ya Allah.....,” kata Lidya haru.
YUNI YULI (MOM&KIDDIE)
Jakarta
(bbg)