Centhini Merangkum Jawa, Islam, dan Tionghoa

Minggu, 01 Maret 2015 - 11:33 WIB
Centhini Merangkum Jawa,...
Centhini Merangkum Jawa, Islam, dan Tionghoa
A A A
Seiring Imlek-Capgomeh (19 Februari 2015 sampai dengan 6 Maret 2014), penulis bahkan dihubungi beberapakalanganTionghoa yang punyaminat besar pada Centhini.

Tonggak Serat Centhini jadi kian populer terjadi 10 tahun silam, setelah seorang kontributor sebuah surat kabar Prancis, Elizabeth D Inandiak, menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis dengan judul Les Chants de lLes Chants de lile a dormir debout le Livre de Centhini (Baru diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, Galang Press, Yogyakarta, April 2005) Serat Centhini adalah puncak karya sastra tulis Jawa klasik, karya tiga orang pujangga istana Kraton Surakarta yaitu Yasadipura 11, Ranggasutrasna, dan R Ng Sastradipura alias Haji Ahmadilhar atas perintah Raja Keraton Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono V, atau K G P A A Amengkunegara II tatkala menjadi putra mahkota pada 1814.

Centhini, yang dipakai untuk nama Serat, sebenarnya adalah nama seorang gadis pembantu rumah tangga suami-istri, Jayengresmi alias Amongraga dan Tembanglaras. Serat yang ditulis bergaya tembang macapat ini menceritakan pengembaraan Jayengresmi, seorang putra Sunan Giri III, setelah Sultan Agung dari Mataram menaklukkan Kewalian Giri di Gresik.

Jayengsari dan istrinya, Rancangkapti, berkelana dengan diiringi santri Buras ke Sidaserma, Pasuruhan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tosari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argapura, Banyuwangi, terus ke Pekalongan, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas dan seterusnya.

Dalam perjalanan itu, mereka berdua mendapatkan pengetahuanmengenai adat-istiadat tanah Jawi, kisah Sri Sadana, perhitungan selamatan orang meninggal dunia serta perwatakan Kurawa dan Pandawa. Pokoknya Serat Centhini yang terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) itu sangat beragam isinya, mulai dari ilmu lahir batin, gending, tari, hari buruk dan baik, tembang, sampai masakan Jawa.

Bahkan soal keris, kuda, kesaktian, hingga ke soal hubungan intim suamiistri yang paling rahasia pun terangkum di sana. Khusus yang menyangkut seks itu, memang menjadi salah satu faktor yang melambungkan popularitas Centhini ke seluruh dunia. Sayangnya, karena tonjolan soal seks ini, isi dan topik selain seks sering tersisih. Padahal kalau dikaji lebih dalam, topik tentang keterkaitan budaya Jawa dengan Islam misalnya juga sangat menonjol.

Karena itu, Centhini juga menyoal syariat para nabi, pengetahuan mengenai wudu, salat, pengetahuan mengenai zat Allah, sifat, asma, dan afngal-Nya, sifat dua puluh, Hadis Markum, dan sebagainya. Soal keterkaitan Serat Centhini dengan Islam serta budaya Jawa secara khusus pernah diteliti Drs H Muzairi MA danlima koleganya.Hasilnya adalah sebuah buku berjudul Kitab Kuning dan Suluk Serat CenthiniKajianTentang Islam dan Budaya Jawa yang dipublikasikan dalam jurnal penelitian IAIN Yogyakarta dan terdiri atas 12 jilid, meliputi 3.216 halaman huruf Jawa dan 3.500 halaman tulisan Latin sehingga layak disebut sebagai ”Ensiklopedi Jawa”.

Yang tak pernah disinggung dalam berbagai wacana menyangkut Centhini adalah soal China atau Tionghoa. Ketika kewalian Gresik di bawah Sunan Giri III ditaklukkan oleh Pangeran Surabaya atas perintah Sultan Agung. Nah, ternyata, Sunan Giri III itu memiliki anak angkat beretnis Tionghoa.

Dalam tembang kedelapan dikisahkan ketika Sunan Giri III menggelar pengajian, dia ketamuan Pangeran Surabaya yang mengusulkan agar tidak terjadi peperangan dengan meminta Sang Sunan tunduk pada kekuasaan Sultan Agung. Nah, ketika suasana pembicaraan hening, datang sosok duduk di atas tikar, di sebelah Sunan Giri.

Ia seorang China belia dan tampan, yang karena kepentingan dagangnya, pergi jauh meninggalkan kerajaan langit dan diangkat anak oleh Sunan Giri. Endrasena namanya. Islamagamanya. Saat melihat Endrasena, hati Pangeran Surabaya tergetarmelihat para pengawal Endrasena yang berada di belakangnya, dalam keadaan tegang. Ada sekitar 200 prajurit dibawa. Karena usulan damai ditolak, perang pun tak terelakkan.

Endra sena menjadi senapati atau panglima perang yang membela kewalian Giri. Pada mulanya Pangeran Surabaya dan balatentaranya berhasil dipukul mundur, lewat kepiawaian Endrasena memainkan pedang dan jurus DewaMabuk. Saking bangganya Sunan Giri akan kemenangan yang diraih Endrasena, Sang Sunan bahkan menjanjikan Negeri Giri akan diberi nama Endrasena. Tetapi, Pangeran Surabaya dan istrinya, Ratu Pandansari, masih bisa menghimpun kekuatan kembali.

Perang pun kembali bergolak di bumi Giri. Ketika Endrasena dihujani tombak, ia melontarkan pandangan terakhir kepada Pandansari seraya berkata: ”Wahai Ratu, jihad kecil usai sudah. Tapi, di dalam jihad kecil ini kita berdua belum menempuh gurun roh dan jurang raga.....Sekarang kita harus berangkat ke jihad besar...”(Serat Centhini, Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, Elizabeth D Inandiak, Galang Press, Yogyakarta, 2005 hal, 64).

Kata-kata terakhir Endrasena sebenarnya merupakan Hadis Nabi Muhammad sendiri sepulang dari pertempuran. Jihad besar adalah perang melawan semua nafsu karena begitu banyak kejahatan dalam batin kita sendiri.

Tom Saptaatmaja
Teolog dan Pemerhati Budaya
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2210 seconds (0.1#10.140)