Pemerintah Tegaskan Tidak Ada Dualisme Kepengurusan TKI
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah menegaskan tidak ada dualisme kepengurusan tenaga kerja Indonesia (TKI) khususnya anak buah kapal (ABK) yang bekerja di luar negeri.
Dalam Undang-Undang (UU) 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI) jelas dikatakan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan yang bertanggung jawab. “Dalam Pasal 28 dan penjelasannya sudah jelas sebab Pasal 1 angka 17 adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan,” ungkap Dirjen Binapenta Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) Reyna Usman saat memberikan keterangan dalam pengujian UU PPTKI di Gedung MK, Jakarta, kemarin.
Karena itu, menurut dia, dualisme kepengurusan TKI yang dilontarkan pemohon hanyalah persoalan penerapan norma dan bukan konstitusionalitas. Reyna menyatakan, memang berdasarkan perjanjian tertulis, pemerintah mendelegasikan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sebagai pelaksana penempatan TKI. Namun, tidak mengurangi kewenangan menaker seperti diamanatkan Pasal 28 UU PPTKI.
Pengujian ini diajukan 29 ABK yang mempersoalkan Pasal 26 ayat 2 huruf f dan Pasal 28 UU 39 Tahun 2004 tentang PPTKI. Dua pasal itu dinilai berpotensi menimbulkan tafsir berbeda atas kementerian yang bertanggung jawab terhadap penempatan dan perlindungan TKI. Itu memunculkan dualisme pengurusan TKI, khususnya peraturan kewajiban mengantongi kartu tenaga kerja luar negeri (KTKLN).
Ketidaktegasan UU PPTKI menimbulkan perbedaan persyaratan penerbitan KTKLN yang ditetapkan sejumlah instansi seperti Kemenaker, Kemenhub, dan BNP2TKI. Anggota Komisi III DPR Junimart Girsang yang juga diajukan sebagai saksi menyatakan, Pasal 62 UU PPTKI sudah menyebutkan bahwa setiap TKI yang ditempatkan di luar negeri wajib memiliki dokumen KTKLN yang dikeluarkan pemerintah. KTKLN ini sebagai bukti TKI telah memenuhi prosedur untuk bekerja ke luar negeri.
Mengenai alasan pemohon sebagai pelaut yang merasa dirugikan karena UU PPTKI dinilai tidak tegas dalam menunjuk kementerian, menurut dia, adalah tidak beralasan. Dalam penjelasan Pasal 28 UU PPTKI dikatakan pekerjaan tertentu sebagai pelaut, termasuk ABK, harus memiliki KTKLN yang lebih lanjut diatur dalam peraturan menteri ketenagakerjaan, bukan menteri perhubungan.
“Sehingga, sudah jelas ketentuan mengenai pembuatan KTKLN menjadi wewenang Kementerian Ketenagakerjaan,” ungkap Junimart. Selain itu, alasan pemohon yang mengatakan tidak ada kepastian hukum dalam membuat KTKLN pun tidak benar.
Nurul adriyana
Dalam Undang-Undang (UU) 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI) jelas dikatakan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan yang bertanggung jawab. “Dalam Pasal 28 dan penjelasannya sudah jelas sebab Pasal 1 angka 17 adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan,” ungkap Dirjen Binapenta Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) Reyna Usman saat memberikan keterangan dalam pengujian UU PPTKI di Gedung MK, Jakarta, kemarin.
Karena itu, menurut dia, dualisme kepengurusan TKI yang dilontarkan pemohon hanyalah persoalan penerapan norma dan bukan konstitusionalitas. Reyna menyatakan, memang berdasarkan perjanjian tertulis, pemerintah mendelegasikan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sebagai pelaksana penempatan TKI. Namun, tidak mengurangi kewenangan menaker seperti diamanatkan Pasal 28 UU PPTKI.
Pengujian ini diajukan 29 ABK yang mempersoalkan Pasal 26 ayat 2 huruf f dan Pasal 28 UU 39 Tahun 2004 tentang PPTKI. Dua pasal itu dinilai berpotensi menimbulkan tafsir berbeda atas kementerian yang bertanggung jawab terhadap penempatan dan perlindungan TKI. Itu memunculkan dualisme pengurusan TKI, khususnya peraturan kewajiban mengantongi kartu tenaga kerja luar negeri (KTKLN).
Ketidaktegasan UU PPTKI menimbulkan perbedaan persyaratan penerbitan KTKLN yang ditetapkan sejumlah instansi seperti Kemenaker, Kemenhub, dan BNP2TKI. Anggota Komisi III DPR Junimart Girsang yang juga diajukan sebagai saksi menyatakan, Pasal 62 UU PPTKI sudah menyebutkan bahwa setiap TKI yang ditempatkan di luar negeri wajib memiliki dokumen KTKLN yang dikeluarkan pemerintah. KTKLN ini sebagai bukti TKI telah memenuhi prosedur untuk bekerja ke luar negeri.
Mengenai alasan pemohon sebagai pelaut yang merasa dirugikan karena UU PPTKI dinilai tidak tegas dalam menunjuk kementerian, menurut dia, adalah tidak beralasan. Dalam penjelasan Pasal 28 UU PPTKI dikatakan pekerjaan tertentu sebagai pelaut, termasuk ABK, harus memiliki KTKLN yang lebih lanjut diatur dalam peraturan menteri ketenagakerjaan, bukan menteri perhubungan.
“Sehingga, sudah jelas ketentuan mengenai pembuatan KTKLN menjadi wewenang Kementerian Ketenagakerjaan,” ungkap Junimart. Selain itu, alasan pemohon yang mengatakan tidak ada kepastian hukum dalam membuat KTKLN pun tidak benar.
Nurul adriyana
(ars)