Maksimalkan Hidup untuk Belajar
A
A
A
Indonesia memiliki salah satu tokoh ilmuwan wanita, yakni Sidrotun Naim. Prestasi pendidikan yang diraih telah banyak mengantarkan Naim menerima berbagai penghargaan dunia. Bahkan, Naim sempat menjalani program master di beberapa jurusan sekaligus dan di berbagai universitas terbaik dunia.
Lantas, bagaimana cerita Naim bisa menjalani program doktor hingga turut mengharumkan nama Indonesia? Berikut kutipan wawancara KORAN SINDO dengan wanita kelahiran 29 Mei 1979 itu, yang ditemui di Surya University, Serpong.
Bagaimana awal hidup Anda sebelum menjadi ilmuwan?
Saya menjalani hidup mengalir saja. Saya sekolah dari SD hingga SMA di Solo, kemudian kuliah S-1 di ITB jurusan Biologi. Hingga akhirnya saya mencoba lanjut sekolah S-2 di Univeristy of Queensland, Australia. Saya juga tidak pernah membayangkan bisa kuliah hingga S-3 di University of Arizona, Amerika Serikat. Namun, saya sadar setiap orang punya takdir dan jalan masingmasing dalam hidupnya. Saya hanya mengikuti ke mana jalan hidup saya.
Mengapa tertarik dengan dunia biologi kelautan?
Awal ketertarikan saya juga sangat sederhana. Setelah saya menyelesaikan studi S-1, saya menerima tawaran pekerjaan di Freeport. Itu yang membuat saya kali pertama merasakan bagaimana naik pesawat terbang. Di atas pesawat terbang itu, saya kagum terhadap keindahan laut. Dari situ saya sadar, saya belum banyak belajar tentang laut selama kuliah S-1.
Akhirnya saya tertarik untuk melanjutkan studi S-2 saya di bidang biologi kelautan, yaitu program Master of Marine Studies di University of Queensland. Setelah saya jalani, ternyata susah juga pelajaran tersebut. Saya harus melakukan pengamatan setiap minggu. Misalnya saya harus diving.
Awalnya saya enjoy untuk relaksasi. Tetapi, lama-lama saya juga merasa berat. Saya ingin belajar biologi kelautan, tapi tidak ada bayangan seperti ini. Akhirnya saya menghadap ke kepala dekan. Kemudian berdiskusi bahwa saya ingin melakukan studi tentang budi daya saja. Saya disarankan untuk mengambil studi aqua culture, dan sejak saat itu saya mulai konsen dengan budi daya laut.
Apa kendala yang pernah Anda alami?
Dengan bekal pendidikan S-2 di Australia, saya berpikir akan mudah mencari pekerjaan. Ternyata sulit dan tidak semudah yang saya bayangkan. Saya punya keinginan bisa mengajar di universitas. Namun karena tidak ada kesempatan, akhirnya saya mengajar di SD. Alasannya karena saya ingin mengamalkan ilmu saya dan saya merasa sanggup karena dekat dengan rumah. Saya juga harus memberikan ASI eksklusif kepada anak saya yang masih kecil saat itu.
Bagaimana proses hingga mendapatkan gelar doktor di Amerika?
Awalnya saya mendapatkan tawaran dari teman saya bernama Cut Desyana untuk bersama memberikan pendampingan melalui program WWF kepada petambak udang korban tsunami di Aceh. Momen inilah yang membawa ketertarikan saya dalam melakukan riset tentang udang. Ketertarikan terhadap udang membuat saya ingin terus belajar, terutama masalah penyakit udang.
Alasan ini yang akhirnya mengantarkan saya untuk meraih pendidikan S-2 di dua program master sekaligus, yaitu Master of Science in Environmental Science dan Master of Science in Microbiology and Pathobiology, kemudian program doktor atau S-3 di Environmental Microbiology, University of Arizona, Amerika Serikat. Semua itu tidak pernah saya rencanakan. Kemudian, tesis S-2 saya yang berisi penelitian tentang virus udang, membuat saya memiliki kesempatan bekerja di Harvard Medical School.
Apakah Anda tidak pernah merasakan beban?
Pada awalnya ada rasa beban. Tapi saya percaya bahwa apa pun yang dikerjakan dengan bahagia, maka akan berakhir dengan bahagia juga. Apalagi, saya merasa justru mendapatkan banyak bonus. Suami saya yang punya tujuan hanya ingin mengantar ke tempat saya bersekolah, tapi ternyata juga bisa mendapatkan beasiswa.
Suami saya melihat ada peluang dan mengambil kuliah S-2 Ilmu Psikologi di University of Arizona. Belum lagi, anak saya yang semasa kecilnya ikut bersama saya selama lima tahun di Amerika, sekarang juga memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik. Jadi, saya merasa tidak ada beban, justru saya mendapatkan lebih. Jadi, saya berpikir bahwa sebaiknya keterbatasan menjadi sebuah tantangan.
Walaupun memang pasti ada kesulitannya, sebab saya harus mengerjakan tiga riset sekaligus, tetapi semua terbantu karena rumah yang saya huni dekat dengan kampus. Saya tidak merasa terbebani karena mengerjakannya senang. Saya mencoba menggunakan fasilitas yang ada semaksimal mungkin.
Kini, mengapa memilih menjadi dosen?
Saya merasa pekerjaan yang paling cocok adalah menjadi dosen. Selain itu, ada kekaguman saya kepada dosen-dosen saya, sehingga ada rasa keinginan untuk dapat menjadi seperti mereka. Walaupun backgroundsaya adalah biologi, saat ini saya tergabung dengan Program Studi Agrobisnis. Saya merasa bahwa kenyataan di lapangan, aspek teknis hanya membutuhkan sekitar 20%, sisa lainnya mencakup aspek bisnis, aspek ekonomi, aspek hukum, dan itu bisa saya pelajari di Agrobisnis.
Apa kegiatan lain yang saat ini sedang Anda jalani?
Saya sedang menulis dua bab buku teks tentang penyakit udang. Terbitnya mungkin di Kanada atau Amerika, dan Australia. Saya juga tertarik untuk menulis buku tentang penyakit udang secara lengkap dengan bahasa Indonesia. Selain itu, sejak kembali ke Indonesia sekitar Agustus 2014, saya turut membantu Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebagai salah satu tim ahli untuk penyakit udang. Saya pergi ke banyak tempat di Indonesia, menjelaskan apa yang dilakukan untuk mencegah wabah penyakit itu. Setidaknya, saya bersyukur ketika saya pulang ke Indonesia, saya masih berguna.
Siapa saja yang menjadi inspirasi Anda?
Saya melihat, inspirasi juga bisa didapatkan dari sisi kedewasaan kita sendiri. Ketika kuliah di Australia, umur saya sekitar 25 tahun. Saya punya pikiran kalau hidup saya harus mapan, punya rumah dan mobil. Namun ketika di Amerika, saya merasa aset yang paling berharga adalah pendidikan. Sehingga saat di Amerika, saya mencoba belajar dengan maksimal.
Selain itu, jelas inspirasi saya dapatkan dari keluarga, orang tua, dan dosendosen saya. Ayah saya juga menjadi orang yang berpengaruh bagi saya. Ayah saya hanya seorang guru agama di sebuah SMA, tapi dia pernah belajar S-2 di Inggris jurusan ekonomi. Saya melihat ada sebuah usaha dari ayah saya untuk mencoba hal yang berbeda.
Saat ini apa tujuan hidup Anda dan bagaimana Anda menjalani hidup?
Tujuan hidup saya adalah saya bisa memaksimalkan dan menggapai ilmu sebanyak mungkin. Di satu sisi, saya merasa beruntung. Jika kita punya pengalaman kerja di berbagai bidang, kita punya pemahaman yang lebih luas. Kita harus sadar setiap orang memiliki takdir masingmasing dan unik.
Tapi kita juga harus sadar bagaimana cara menghidupkan momentum dan kesempatan yang ada. Intinya jangan menyepelekan diri sendiri, namun jangan juga besar kepala. Dengan pengalaman, saya yang pernah belajar di pusat-pusat pendidikan terbaik di dunia, saya ingin meyakinkan generasi yang lebih muda dibandingkan saya untuk berani mencoba.
Kalau saya bisa, mereka juga bisa sebab bangsa ini akan butuh banyak inovator. Target saya yaitu membina mahasiswa yang ada di Indonesia. Saya banyak memberikan support, terutama kepada perempuan yang ingin menjadi peneliti. Saya akan memotivasi orang dan ada tanggung jawab untuk menginspirasi orang, terutama perempuan, agar memilih pekerjaan di bidang sains dan teknik.
Dina Angelina
Lantas, bagaimana cerita Naim bisa menjalani program doktor hingga turut mengharumkan nama Indonesia? Berikut kutipan wawancara KORAN SINDO dengan wanita kelahiran 29 Mei 1979 itu, yang ditemui di Surya University, Serpong.
Bagaimana awal hidup Anda sebelum menjadi ilmuwan?
Saya menjalani hidup mengalir saja. Saya sekolah dari SD hingga SMA di Solo, kemudian kuliah S-1 di ITB jurusan Biologi. Hingga akhirnya saya mencoba lanjut sekolah S-2 di Univeristy of Queensland, Australia. Saya juga tidak pernah membayangkan bisa kuliah hingga S-3 di University of Arizona, Amerika Serikat. Namun, saya sadar setiap orang punya takdir dan jalan masingmasing dalam hidupnya. Saya hanya mengikuti ke mana jalan hidup saya.
Mengapa tertarik dengan dunia biologi kelautan?
Awal ketertarikan saya juga sangat sederhana. Setelah saya menyelesaikan studi S-1, saya menerima tawaran pekerjaan di Freeport. Itu yang membuat saya kali pertama merasakan bagaimana naik pesawat terbang. Di atas pesawat terbang itu, saya kagum terhadap keindahan laut. Dari situ saya sadar, saya belum banyak belajar tentang laut selama kuliah S-1.
Akhirnya saya tertarik untuk melanjutkan studi S-2 saya di bidang biologi kelautan, yaitu program Master of Marine Studies di University of Queensland. Setelah saya jalani, ternyata susah juga pelajaran tersebut. Saya harus melakukan pengamatan setiap minggu. Misalnya saya harus diving.
Awalnya saya enjoy untuk relaksasi. Tetapi, lama-lama saya juga merasa berat. Saya ingin belajar biologi kelautan, tapi tidak ada bayangan seperti ini. Akhirnya saya menghadap ke kepala dekan. Kemudian berdiskusi bahwa saya ingin melakukan studi tentang budi daya saja. Saya disarankan untuk mengambil studi aqua culture, dan sejak saat itu saya mulai konsen dengan budi daya laut.
Apa kendala yang pernah Anda alami?
Dengan bekal pendidikan S-2 di Australia, saya berpikir akan mudah mencari pekerjaan. Ternyata sulit dan tidak semudah yang saya bayangkan. Saya punya keinginan bisa mengajar di universitas. Namun karena tidak ada kesempatan, akhirnya saya mengajar di SD. Alasannya karena saya ingin mengamalkan ilmu saya dan saya merasa sanggup karena dekat dengan rumah. Saya juga harus memberikan ASI eksklusif kepada anak saya yang masih kecil saat itu.
Bagaimana proses hingga mendapatkan gelar doktor di Amerika?
Awalnya saya mendapatkan tawaran dari teman saya bernama Cut Desyana untuk bersama memberikan pendampingan melalui program WWF kepada petambak udang korban tsunami di Aceh. Momen inilah yang membawa ketertarikan saya dalam melakukan riset tentang udang. Ketertarikan terhadap udang membuat saya ingin terus belajar, terutama masalah penyakit udang.
Alasan ini yang akhirnya mengantarkan saya untuk meraih pendidikan S-2 di dua program master sekaligus, yaitu Master of Science in Environmental Science dan Master of Science in Microbiology and Pathobiology, kemudian program doktor atau S-3 di Environmental Microbiology, University of Arizona, Amerika Serikat. Semua itu tidak pernah saya rencanakan. Kemudian, tesis S-2 saya yang berisi penelitian tentang virus udang, membuat saya memiliki kesempatan bekerja di Harvard Medical School.
Apakah Anda tidak pernah merasakan beban?
Pada awalnya ada rasa beban. Tapi saya percaya bahwa apa pun yang dikerjakan dengan bahagia, maka akan berakhir dengan bahagia juga. Apalagi, saya merasa justru mendapatkan banyak bonus. Suami saya yang punya tujuan hanya ingin mengantar ke tempat saya bersekolah, tapi ternyata juga bisa mendapatkan beasiswa.
Suami saya melihat ada peluang dan mengambil kuliah S-2 Ilmu Psikologi di University of Arizona. Belum lagi, anak saya yang semasa kecilnya ikut bersama saya selama lima tahun di Amerika, sekarang juga memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik. Jadi, saya merasa tidak ada beban, justru saya mendapatkan lebih. Jadi, saya berpikir bahwa sebaiknya keterbatasan menjadi sebuah tantangan.
Walaupun memang pasti ada kesulitannya, sebab saya harus mengerjakan tiga riset sekaligus, tetapi semua terbantu karena rumah yang saya huni dekat dengan kampus. Saya tidak merasa terbebani karena mengerjakannya senang. Saya mencoba menggunakan fasilitas yang ada semaksimal mungkin.
Kini, mengapa memilih menjadi dosen?
Saya merasa pekerjaan yang paling cocok adalah menjadi dosen. Selain itu, ada kekaguman saya kepada dosen-dosen saya, sehingga ada rasa keinginan untuk dapat menjadi seperti mereka. Walaupun backgroundsaya adalah biologi, saat ini saya tergabung dengan Program Studi Agrobisnis. Saya merasa bahwa kenyataan di lapangan, aspek teknis hanya membutuhkan sekitar 20%, sisa lainnya mencakup aspek bisnis, aspek ekonomi, aspek hukum, dan itu bisa saya pelajari di Agrobisnis.
Apa kegiatan lain yang saat ini sedang Anda jalani?
Saya sedang menulis dua bab buku teks tentang penyakit udang. Terbitnya mungkin di Kanada atau Amerika, dan Australia. Saya juga tertarik untuk menulis buku tentang penyakit udang secara lengkap dengan bahasa Indonesia. Selain itu, sejak kembali ke Indonesia sekitar Agustus 2014, saya turut membantu Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebagai salah satu tim ahli untuk penyakit udang. Saya pergi ke banyak tempat di Indonesia, menjelaskan apa yang dilakukan untuk mencegah wabah penyakit itu. Setidaknya, saya bersyukur ketika saya pulang ke Indonesia, saya masih berguna.
Siapa saja yang menjadi inspirasi Anda?
Saya melihat, inspirasi juga bisa didapatkan dari sisi kedewasaan kita sendiri. Ketika kuliah di Australia, umur saya sekitar 25 tahun. Saya punya pikiran kalau hidup saya harus mapan, punya rumah dan mobil. Namun ketika di Amerika, saya merasa aset yang paling berharga adalah pendidikan. Sehingga saat di Amerika, saya mencoba belajar dengan maksimal.
Selain itu, jelas inspirasi saya dapatkan dari keluarga, orang tua, dan dosendosen saya. Ayah saya juga menjadi orang yang berpengaruh bagi saya. Ayah saya hanya seorang guru agama di sebuah SMA, tapi dia pernah belajar S-2 di Inggris jurusan ekonomi. Saya melihat ada sebuah usaha dari ayah saya untuk mencoba hal yang berbeda.
Saat ini apa tujuan hidup Anda dan bagaimana Anda menjalani hidup?
Tujuan hidup saya adalah saya bisa memaksimalkan dan menggapai ilmu sebanyak mungkin. Di satu sisi, saya merasa beruntung. Jika kita punya pengalaman kerja di berbagai bidang, kita punya pemahaman yang lebih luas. Kita harus sadar setiap orang memiliki takdir masingmasing dan unik.
Tapi kita juga harus sadar bagaimana cara menghidupkan momentum dan kesempatan yang ada. Intinya jangan menyepelekan diri sendiri, namun jangan juga besar kepala. Dengan pengalaman, saya yang pernah belajar di pusat-pusat pendidikan terbaik di dunia, saya ingin meyakinkan generasi yang lebih muda dibandingkan saya untuk berani mencoba.
Kalau saya bisa, mereka juga bisa sebab bangsa ini akan butuh banyak inovator. Target saya yaitu membina mahasiswa yang ada di Indonesia. Saya banyak memberikan support, terutama kepada perempuan yang ingin menjadi peneliti. Saya akan memotivasi orang dan ada tanggung jawab untuk menginspirasi orang, terutama perempuan, agar memilih pekerjaan di bidang sains dan teknik.
Dina Angelina
(bbg)