Politik Belum Munculkan Pemimpin Negarawan
A
A
A
JAKARTA - Kegaduhan politik yang ditandai kisruh antara dua lembaga penegak hukum dan tarik- menarik kepentingan antara eksekutif dan legislatif pada pemerintahan baru dipicu minimnya pemimpin nasional yang memiliki integritas dan bisa menjadi teladan bagi publik.
Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia Yudi Latief mengatakan, kegaduhan ini merupakan sebuah konsekuensi karena yang muncul saat ini hanya aktor-aktor politik. ”Saat ini terjadi surplus politisi dan defisit negarawan, politik hanya dipersatukan oleh dua hal, yakni kepentingan dan ketakutan,” ujarnya pada diskusi bertema ”Meretas Kegaduhan Politik” di Jakarta kemarin.
Menurut Yudi, politik yang diwarnai dengan kepentingan dan ketakutan akan menimbulkan kegaduhan karena tidak ada lagi kepercayaan. Akibatnya, sesama anak bangsa saling mengkhianati dan siapa yang lebih dahulu dia yang mendapatkan apa. ”Kalau pemimpin bisa menunjukkan keteladanannya, masyarakat akan mengikutinya,” ujar dia.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai orang nomor satu di republik ini, seharusnya menempatkan dirinya sebagai negarawan, bukan hanya sebagai politisi. Yudi menduga, proses politik Jokowi dari wali kota, gubernur kemudian menjadi presiden terlalu cepat sehingga dalam beberapa hal, ada yang tidak sepenuhnya dikuasai.
”Daya baca dan penguasaanpenguasaan ideologis, basis kenegaraan lemah. Kalau Jokowi memiliki itu, tentunya dia sangat memahami jika dirinya mengangkat orang-orang yang tidak tepat untuk jabatan politik,” sebutnya. Dia mencontohkan, bagaimana pemilihan orang-orang yang duduk di kementrian. Saat ini banyak menteri yang tidak memenuhi standar.
Padahal, menteri itu bukan jabatan politik biasa, tapi juga penyelenggara pemerintahan sehari-hari. Begitu juga dengan pengangkatan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). ”Wantimpres semestinya diisi oleh orang agung atau luhur yang punya kemuliaan sebagai negarawan, itulah yang pantas jadi penasihat Presiden. Tapi ternyata mereka rata-rata berasal dari partai politik.
Ketika ada kasus KPK-Polri, Wantimpres sama sekali tidak berfungsi sehingga Jokowi menambalnya dengan Tim 9,” katanya. Pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochtar Pabottingi menilai kegaduhan politik yang terjadi saat ini karena adanya kecenderungan suatu kubu yang ingin menguasai pimpinan lembaga-lembaga hukum mulai dari kejaksaan, kehakiman hingga Kemenko Polhukam.
”Dan kini Polri mau dikuasai. Padahal hukum itu menentukan ke depannya. Proyek besar Nawacita akan kandas kalau dikuasai satu kubu,” jelasnya. Selain itu, adanya upaya dari pimpinan PDIP untuk menjadikan Presiden sebagai petugas partai. Kondisi tersebut sangat disayangkan karena dalam pengangkatan pejabat ada tuntutan integritas dan kompetensi.
”Tuntutan integritas ini hendak dibalikkan substansinya sesuai dengan kepentingan,” urainya. Sebagai presiden, Jokowi semestinya tidak dilabeli petugas partai. Sebab kepala negara merupakan milik rakyat Indonesia. ”Wacana petugas partai sangat merugikan. Kekisruhan akan mereda, syaratnya Presiden harus tahu posisinya sebagai negarawan. Membuktikan diri bukan petugas partai, tapi negarawan,” ucapnya.
Sucipto
Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia Yudi Latief mengatakan, kegaduhan ini merupakan sebuah konsekuensi karena yang muncul saat ini hanya aktor-aktor politik. ”Saat ini terjadi surplus politisi dan defisit negarawan, politik hanya dipersatukan oleh dua hal, yakni kepentingan dan ketakutan,” ujarnya pada diskusi bertema ”Meretas Kegaduhan Politik” di Jakarta kemarin.
Menurut Yudi, politik yang diwarnai dengan kepentingan dan ketakutan akan menimbulkan kegaduhan karena tidak ada lagi kepercayaan. Akibatnya, sesama anak bangsa saling mengkhianati dan siapa yang lebih dahulu dia yang mendapatkan apa. ”Kalau pemimpin bisa menunjukkan keteladanannya, masyarakat akan mengikutinya,” ujar dia.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai orang nomor satu di republik ini, seharusnya menempatkan dirinya sebagai negarawan, bukan hanya sebagai politisi. Yudi menduga, proses politik Jokowi dari wali kota, gubernur kemudian menjadi presiden terlalu cepat sehingga dalam beberapa hal, ada yang tidak sepenuhnya dikuasai.
”Daya baca dan penguasaanpenguasaan ideologis, basis kenegaraan lemah. Kalau Jokowi memiliki itu, tentunya dia sangat memahami jika dirinya mengangkat orang-orang yang tidak tepat untuk jabatan politik,” sebutnya. Dia mencontohkan, bagaimana pemilihan orang-orang yang duduk di kementrian. Saat ini banyak menteri yang tidak memenuhi standar.
Padahal, menteri itu bukan jabatan politik biasa, tapi juga penyelenggara pemerintahan sehari-hari. Begitu juga dengan pengangkatan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). ”Wantimpres semestinya diisi oleh orang agung atau luhur yang punya kemuliaan sebagai negarawan, itulah yang pantas jadi penasihat Presiden. Tapi ternyata mereka rata-rata berasal dari partai politik.
Ketika ada kasus KPK-Polri, Wantimpres sama sekali tidak berfungsi sehingga Jokowi menambalnya dengan Tim 9,” katanya. Pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochtar Pabottingi menilai kegaduhan politik yang terjadi saat ini karena adanya kecenderungan suatu kubu yang ingin menguasai pimpinan lembaga-lembaga hukum mulai dari kejaksaan, kehakiman hingga Kemenko Polhukam.
”Dan kini Polri mau dikuasai. Padahal hukum itu menentukan ke depannya. Proyek besar Nawacita akan kandas kalau dikuasai satu kubu,” jelasnya. Selain itu, adanya upaya dari pimpinan PDIP untuk menjadikan Presiden sebagai petugas partai. Kondisi tersebut sangat disayangkan karena dalam pengangkatan pejabat ada tuntutan integritas dan kompetensi.
”Tuntutan integritas ini hendak dibalikkan substansinya sesuai dengan kepentingan,” urainya. Sebagai presiden, Jokowi semestinya tidak dilabeli petugas partai. Sebab kepala negara merupakan milik rakyat Indonesia. ”Wacana petugas partai sangat merugikan. Kekisruhan akan mereda, syaratnya Presiden harus tahu posisinya sebagai negarawan. Membuktikan diri bukan petugas partai, tapi negarawan,” ucapnya.
Sucipto
(bbg)