Tak Putus Dirundung Malang
A
A
A
ANDA boleh tertawa. Tapi kegemasan mereka yang kerap digambarkan ataupun menggambarkan diri sebagai aktivis demokrasi, ‘kelambanan’ Presiden Joko Widodo mengambil kata putus soal jadi tidaknya dia melantik Kapolri terpilih, Budi Gunawan, sudah sampai di ubun-ubun.
Kabar yang berhembus di pekan yang lewat menyebutkan di kalangan aktivis sempat terlontar ide ‘seram’ menghidupkan kembali Rengasdengklok; sejumlah kaum muda melarikan presiden ke suatu tempat yang tersembunyi agar dia bisa punya keleluasaan mengambil keputusan tanpa tekanan berbagai pihak yang selama ini, menurut pandangan mereka, sukses mengunci dan mengurung presiden di Istana. Tapi, seperti bisa ditebak, perbincangan seputar itu padam seketika saat seseorang di antaranya bertanya realistis: siapa yang mau jadi Supeni?
Yang bermimpi jadi tokoh muda nekat seperti Supeni di era Kemerdekaan bisa jadi banyak. Tapi keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan gugatan praperadilan Budi -atas status tersangka yang disematkan Komisi Pemberatasan Korupsi- menjadikan masa lalu terlalu rumit untuk masuk dalam politik nasional kontemporer.
Di satu sisi, putusan itu meruntuhkan palang hukum terakhir yang menghalangi Presiden Joko Widodo dari melantik Budi otomatis. Tapi, di sisi lain, pelantikan Budi membawa risiko runtuhnya kepercayaan publik pada komitmen presiden dalam soal pemberantasan korupsi.
Ibarat badai, apa mau dikata: landskap politik terlanjur mendekati perfect storm. Bahkan eks Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa sudah saatnya orang banyak sama berdoa demi keselamatan bersama. “Ya Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa,” katanya di Twitter. “Pemimpin, bangsa dan negara kami tengah Engkau uji sekarang ini. Tolonglah kami.”
Orang bisa saja mencibir. Toh, dalam 10 tahun pemerintahan, Susilo memang dekat dengan gambaran sebagai ‘raja drama’. Tapi faktanya tak terbantahkan: Presiden Jokowi, begitu dia kerap disapa, sedang terjepit. Di Senayan sejak awal pekan ini, partai-partai yang selama ini memberi keluasan dan permakluman memilih menaikkan tempo tekanan. “Sebaiknya Presiden Jokowi segera melantik Budi Gunawan karena (dia) sudah bebas dari tersangka," kata bos Golkar, Aburizal Bakrie.
Suara dari kubu partai berkuasa, PDI Perjuangan, dan koalisi di belakangnya tak usah ditanya. Dari hari pertama, mereka lah yang berkeras mendorong presiden melantik Budi dan seperti tak peduli dengan urusan penilaian orang banyak.
Ahmad Syafii Maarif, sesepuh Tim 9, gugus penasehat independen yang menelorkan rekomendasi pembatalan pengangkatan terkait kasus Budi, terang-terangan meminta presiden melawan semua tekanan dan menuruti keinginan publik. "Dilantik atau tidak dilantik pasti punya risiko,” katanya. “Jadilah rajawali, jangan tiru kelelawar. Kelelawar itu siang matanya redup, kalau rajawali itu tajam."
Harapan presiden bisa terbang dan melihat dari ketinggian itu ada benarnya. Toh, dari sisi manapun, politik terlanjut pekat. Lepas kemenangan Budi di sidang prapengadilan, gelombang serangan polisi –atau begitulah menurut tudingan sebagian kalangan, pada Komisi naik beberapa oktaf. Dari Makassar, Sulawesi Selatan, polisi menetapkan bos Komisi Abraham Samad sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen kependudukan (Abraham menampik tudingan ini).
Tak hanya itu. Kepala Badan Reserse Kriminal, Budi Waseso, mengumumkan rencana memeriksa 21 orang polisi yang bekerja di Komisi. Tuduhannya? Cukup serius: melarikan senjata. Polisi juga ingin memeriksa penyidik cemerlang Komisi, eks perwira polisi Novel Baswedan, dalam sebuah kasus lama; saat dia masih jadi kepala reserse di Bengkulu pada 2004.
Kasus yang serupa, pada 2012, sempat memicu perseteruan terbuka antara polisi dan Komisi. Intervensi Presiden Susilo kala itu berhasil mendinginkan keadaan dan menyelamatkan Novel dari jerat institusinya sendiri.
Mempertaruhkan Pemerintahan
Bagi Syafii Maarif, presiden tak lagi punya banyak waktu. Sementara yang dipertaruhkan di meja politik kian tinggi: nasib Komisi, reputasi dan keutuhan polisi dan kepercayaan publik pada pemerintahan secara keseluruhan.
Dalam sebuah rekomendasi anyar pada Selasa malam, Tim 9 secara khusus meminta presiden melindungi keselamatan pimpinan KPK dari jerat kriminaliasi. Tim juga meminta presiden mencari calon kepala polisi yang baru, senyampang mencoba berabgai cara agar Komjen Pol Budi Gunawan “bersedia untuk mengundurkan diri dalam pencalonan Kapolri demi kepentingan Bangsa dan Negara”.
Sumber-sumber SINDO Weekly menggambarkan sejumlah tokoh politik yang terafiliasi pada partai berkuasa maupun pesohor yang berjasa pada presiden dalam Pemilu 2014, relatif bebas mengakses ruang kerja presiden untuk kepentingan lobi ini dan itu. Lobi dan desakan inilah yang, menurut sumber, menjelaskan kenapa sejumlah keputusan presiden seperti kena gunting dari dalam.
Contoh: terganjalnya rencana awal presiden mengukuhkan keberadaan Tim 9 via sebuah Keputusan Presiden. Padahal, Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, sudah sempat menyatakan surat segera terbit. Sumber lainnya menggambarkan lingkaran dalam kekuasaan belakangan relatif berhasil ‘mengisolasi’ presiden dan mencegah akses lobi kelompok yang menginginkan presiden mendengar pandangan lain terkait sosok kontroversial Budi Gunawan.
Presiden dikelilingi politisi, dapat tekanan dan lobi dari sana sini, soal yang wajar. Pelik baru muncul bila presiden -meski bukan bos partai dan tak punya basis politik yang riil- lupa kalau dia punya kuasa lebih dari semua orang di sekelilingnya. (Alfian Hamzah)
Selengkapnya baca SINDO Weekly No.413/Tahun 3, Terbit Kamis 19 Februari 2015
Kabar yang berhembus di pekan yang lewat menyebutkan di kalangan aktivis sempat terlontar ide ‘seram’ menghidupkan kembali Rengasdengklok; sejumlah kaum muda melarikan presiden ke suatu tempat yang tersembunyi agar dia bisa punya keleluasaan mengambil keputusan tanpa tekanan berbagai pihak yang selama ini, menurut pandangan mereka, sukses mengunci dan mengurung presiden di Istana. Tapi, seperti bisa ditebak, perbincangan seputar itu padam seketika saat seseorang di antaranya bertanya realistis: siapa yang mau jadi Supeni?
Yang bermimpi jadi tokoh muda nekat seperti Supeni di era Kemerdekaan bisa jadi banyak. Tapi keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan gugatan praperadilan Budi -atas status tersangka yang disematkan Komisi Pemberatasan Korupsi- menjadikan masa lalu terlalu rumit untuk masuk dalam politik nasional kontemporer.
Di satu sisi, putusan itu meruntuhkan palang hukum terakhir yang menghalangi Presiden Joko Widodo dari melantik Budi otomatis. Tapi, di sisi lain, pelantikan Budi membawa risiko runtuhnya kepercayaan publik pada komitmen presiden dalam soal pemberantasan korupsi.
Ibarat badai, apa mau dikata: landskap politik terlanjur mendekati perfect storm. Bahkan eks Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa sudah saatnya orang banyak sama berdoa demi keselamatan bersama. “Ya Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa,” katanya di Twitter. “Pemimpin, bangsa dan negara kami tengah Engkau uji sekarang ini. Tolonglah kami.”
Orang bisa saja mencibir. Toh, dalam 10 tahun pemerintahan, Susilo memang dekat dengan gambaran sebagai ‘raja drama’. Tapi faktanya tak terbantahkan: Presiden Jokowi, begitu dia kerap disapa, sedang terjepit. Di Senayan sejak awal pekan ini, partai-partai yang selama ini memberi keluasan dan permakluman memilih menaikkan tempo tekanan. “Sebaiknya Presiden Jokowi segera melantik Budi Gunawan karena (dia) sudah bebas dari tersangka," kata bos Golkar, Aburizal Bakrie.
Suara dari kubu partai berkuasa, PDI Perjuangan, dan koalisi di belakangnya tak usah ditanya. Dari hari pertama, mereka lah yang berkeras mendorong presiden melantik Budi dan seperti tak peduli dengan urusan penilaian orang banyak.
Ahmad Syafii Maarif, sesepuh Tim 9, gugus penasehat independen yang menelorkan rekomendasi pembatalan pengangkatan terkait kasus Budi, terang-terangan meminta presiden melawan semua tekanan dan menuruti keinginan publik. "Dilantik atau tidak dilantik pasti punya risiko,” katanya. “Jadilah rajawali, jangan tiru kelelawar. Kelelawar itu siang matanya redup, kalau rajawali itu tajam."
Harapan presiden bisa terbang dan melihat dari ketinggian itu ada benarnya. Toh, dari sisi manapun, politik terlanjut pekat. Lepas kemenangan Budi di sidang prapengadilan, gelombang serangan polisi –atau begitulah menurut tudingan sebagian kalangan, pada Komisi naik beberapa oktaf. Dari Makassar, Sulawesi Selatan, polisi menetapkan bos Komisi Abraham Samad sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen kependudukan (Abraham menampik tudingan ini).
Tak hanya itu. Kepala Badan Reserse Kriminal, Budi Waseso, mengumumkan rencana memeriksa 21 orang polisi yang bekerja di Komisi. Tuduhannya? Cukup serius: melarikan senjata. Polisi juga ingin memeriksa penyidik cemerlang Komisi, eks perwira polisi Novel Baswedan, dalam sebuah kasus lama; saat dia masih jadi kepala reserse di Bengkulu pada 2004.
Kasus yang serupa, pada 2012, sempat memicu perseteruan terbuka antara polisi dan Komisi. Intervensi Presiden Susilo kala itu berhasil mendinginkan keadaan dan menyelamatkan Novel dari jerat institusinya sendiri.
Mempertaruhkan Pemerintahan
Bagi Syafii Maarif, presiden tak lagi punya banyak waktu. Sementara yang dipertaruhkan di meja politik kian tinggi: nasib Komisi, reputasi dan keutuhan polisi dan kepercayaan publik pada pemerintahan secara keseluruhan.
Dalam sebuah rekomendasi anyar pada Selasa malam, Tim 9 secara khusus meminta presiden melindungi keselamatan pimpinan KPK dari jerat kriminaliasi. Tim juga meminta presiden mencari calon kepala polisi yang baru, senyampang mencoba berabgai cara agar Komjen Pol Budi Gunawan “bersedia untuk mengundurkan diri dalam pencalonan Kapolri demi kepentingan Bangsa dan Negara”.
Sumber-sumber SINDO Weekly menggambarkan sejumlah tokoh politik yang terafiliasi pada partai berkuasa maupun pesohor yang berjasa pada presiden dalam Pemilu 2014, relatif bebas mengakses ruang kerja presiden untuk kepentingan lobi ini dan itu. Lobi dan desakan inilah yang, menurut sumber, menjelaskan kenapa sejumlah keputusan presiden seperti kena gunting dari dalam.
Contoh: terganjalnya rencana awal presiden mengukuhkan keberadaan Tim 9 via sebuah Keputusan Presiden. Padahal, Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, sudah sempat menyatakan surat segera terbit. Sumber lainnya menggambarkan lingkaran dalam kekuasaan belakangan relatif berhasil ‘mengisolasi’ presiden dan mencegah akses lobi kelompok yang menginginkan presiden mendengar pandangan lain terkait sosok kontroversial Budi Gunawan.
Presiden dikelilingi politisi, dapat tekanan dan lobi dari sana sini, soal yang wajar. Pelik baru muncul bila presiden -meski bukan bos partai dan tak punya basis politik yang riil- lupa kalau dia punya kuasa lebih dari semua orang di sekelilingnya. (Alfian Hamzah)
Selengkapnya baca SINDO Weekly No.413/Tahun 3, Terbit Kamis 19 Februari 2015
(hyk)