Dunia Ramai Sensor Kicauan Twitter

Senin, 16 Februari 2015 - 09:51 WIB
Dunia Ramai Sensor Kicauan...
Dunia Ramai Sensor Kicauan Twitter
A A A
Jejaring sosial Twitter mengeluarkan laporan tahunan terkait transparansi negara terhadap penggunaan Twitter.

Hasilnya, Turki berada di urutan teratas sebagai negara dengan penyensoran terbesar “kicauan” di Twitter. Hal ini dibuktikan dengan tingginya jumlah permintaan pemblokiran konten oleh Pemerintah Turki.

Sejak didirikan pada 2006 silam oleh Jack Dorsey, popularitas jejaring sosial Twitter terus menanjak, terutama sebagai media promosi gratis. Twitter yang awalnya dibuat dengan tujuan hanya untuk mengirim dan membaca pesan teks dengan jumlah karakter terbatas terus dimanfaatkan hingga akhirnya nyaris tanpa batas, kecuali dalam hal jumlah karakter yang bisa ditulis.

Twitter yang cenderung lebih mudah digunakan dibanding media sosial lainnya pun segera menjadi buruan publik, terutama kaum muda. Twitter kemudian menjadi sebuah senjata mematikan yang bisa membuat seseorang terlihat begitu menakjubkan, namun juga sebaliknya, menyedihkan.

Melihat begitu besarnya kekuatan yang bisa dihasilkan oleh jejaring sosial berlambang bebek ini, kini tidak sedikit para pejabat publik di berbagai belahan negara menggunakan media ini, baik untuk melakukan kampanye atau untuk kepentingan propaganda. Hampir semua para pesohor dunia memanfaatkan media Twitter. Tak terkecuali Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama yang kerap bercuit di Twitter.

Bahkan karena cuitannya ini, Obama dianggap dekat dengan anak muda. Obama bukan sekadar memanfaatkan Twitter selama masa kampanye pemilihan presiden. Hingga saat ini pun, dia masih aktif menggunakan jejaring sosial tersebut. Pada Hari Valentine 14 Februari kemarin, melalui akun Twitternya, Obama mengucapkan selamat Hari Valentine untuk sang istri, Michelle Obama. Twitter adalah layanan yang bisa dimanfaatkan untuk semua keperluan dalam berbagai aspek.

Dari kampanye politik, media belajar, promosi hingga media komunikasi darurat. ”Sayangnya, Twitter kerap dihadapkan pada sejumlah masalah besar seperti kontroversi, keamanan dan privasi, gugatan hukum, serta penyensoran,” tulis Clive Thompson dalam artikelnya, IIm So Totally, Digitally Clise to You, yang dilansir The New York Times Magazine. Kontroversi, keamanan dan privasi serta gugatan hukum mungkin hanya berdampak pada perseorangan atau individu, namun masalah penyensoran bisa memberi efek domino pada masyarakat.

Penyensoran kerap kali dilakukan demi sejumlah alasan politis, terutama melibatkan pihakpihak yang tengah berpolemik. Misalnya pada Maret 2014 silam, kala Turki menerapkan kebijakan penyensoran Twitter. Hal itu dilatarbelakangi kecurigaan pemerintah oposisi tentang adanya fitnah lewat Twitter yang menuding pemerintahan Perdana Menteri Tayyip Erdogan dipenuhi praktik korupsi.

Kicauan tersebut menggemparkan dunia dan mengundang kecaman di tingkat nasional maupun internasional. Erdogan pun menilai Twitter pada akhirnya hanya digunakan sebagai alat untuk mencemarkan nama baik dan merugikan pemerintah. Walhasil, saat itu Erdogan mengambil keputusan tegas dengan memblokir layanan Twitter.

Namun karena dianggap sebagai kebijakan ilegal, dua bulan kemudian larangan itu pun dicabut kembali. Jika di Turki permintaan penghapusan konten berkisar perihal pencemaran nama baik, di Rusia permintaan penghapusan konten lebih banyak berkisar tentang promosi obat ilegal dalam upaya menekan demonstrasi nonkekerasan. Sementara di Jerman, kebencian dan diskriminasi menjadi dalih pemerintah Jerman untuk menghapus sejumlah konten.

”Namun kami menolak beberapa permintaan untuk membungkam kritik Pemerintah Rusia,” bunyi pernyataan pihak Twitter dilansir Dailymail. Selain Turki yang mengalami peningkatan pesat, AS juga ternyata mengalami peningkatan permintaan penghapusan konten yang tinggi yakni sebesar 29%, namun tak satu pun dari 32 usaha permintaan penghapusan konten tersebut dipenuhi pihak Twitter.

Sedangkan, negara-negara yang tidak mengajukan permintaan penghapusan pada semester kedua tahun lalu di antaranya adalah Australia, Kolombia, Siprus, Hong Kong, Indonesia, Irlandia, Italia, Norwegia, Uni Emirat Arab dan Venezuela. Laporan yang diterbitkan secara berkala ini bentuk transparansi Twitter terhadap penggunanya.

”Komunitas global layak mendapat transparansi dari pemerintah dan penyedia layanan, karena itu sudah sepantasnya kami memperlihatkan seluruh laporan ini kendati menimbulkan banyak implikasi,” tutup laporan tersebut.

Rini agustina
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8200 seconds (0.1#10.140)