Minimarket Bukan Ancaman Pasar Tradisional
A
A
A
Perkembangan ekonomi dan sosial di kota besar menimbulkan perubahan gaya hidup masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, termasuk cara berbelanja. Kini kebanyakan masyarakat memilih berbelanja di toko modern.
Kendati toko modern seperti minimarket terus berkembang, bukan berarti menjadi ancaman bagi pedagang di pasar tradisional. Sebab, pasar tradisional, walau berada di tengah kota besar, telah memiliki segmen tersendiri. Hanya, ke depannya pasar tradisional ini mesti menyesuaikan diri supaya tidak dianggap sebagai lokasi belanja yang kotor.
Di Jakarta misalnya, di tengah gempuran pertokoan modern atau minimarket, pasar tradisional tetap eksis. Sebagian telah berkembang menjadi pasar tematik. Di pasar seperti itu produk tertentu memang dijual. Kelompok perdagangan di luar tema itu tidak ada di tempat lain. Sebagai contoh, Pasar Rawa Bening di Jatinegara, Jakarta Timur, kini telah berkembang menjadi pasar batu akik di Jakarta, se-Indonesia.
Kendati ada beberapa pasar lain mencoba memasarkan produk serupa, namun image masyarakat menentukan bahwa pasar batu akik berlokasi di Rawa Bening. Anggapan serupa juga berlaku bagi Pasar Glodok dan Mangga Dua sebagai pusat elektronik, serta Pasar Tanah Abang sebagai pusat grosiran. Direktur Teknik PD Pasar Jaya Lutfi Rachman mengungkapkan, sebagian beberapa pasar yang besar telah berkembang dengan baik.
Bahkan, keberadaan pasar itu menjadi ikon di Jakarta. Kendati demikian, masih ada juga pasar tradisional yang kondisinya masih miris karena belum direvitalisasi. Upaya revitalisasi selama ini telah dilakoni oleh PD Pasar Jaya selaku pengelola pasar milik Pemprov DKI Jakarta. Pasar yang dikelola itu umumnya pasar tradisional.
“Tahun lalu kami telah merevitalisasi pasar rakyat. Tahun ini juga sedang dirancang untuk kegiatan serupa. Tapi, masih menunggu persetujuan anggaran dari Pemprov DKI selaku pemilik PD Pasar Jaya,” ujar Lutfi. PD Pasar Jaya saat ini mengelola 153 pasar. Dari jumlah tersebut, 61 unit kondisinya baik, 73 unit tidak baik, dan 19 rusak ringan. Terhadap pasar yang rusak atau tidak baik, tetap diusahakan akan direvitalisasi.
Pada 2014 sebanyak lima pasar yaitu Pasar Manggis dan Pasar Pesanggrahan (Jakarta Selatan), Nangka Bungur (Jakarta Pusat), Kampung Duri (Jakarta Barat) dan Kebon Bawang (Jakarta Utara) bakal direvitalisasi. Revitalisasi ini dibiayai oleh anggaran CSR pihak swasta yang mendapat hak build operation and transfer (BOT) atas revitalisasi Pasar modern Benhil.
Lantas pada 2015 PD Pasar Jaya juga akan melakukan revitalisasi 10 pasar tradisional yang didanai dari anggaran penyertaan modal pemerintah (PMP) Pemprov DKI Jakarta yang dicairkan pada APBD 2014 sebesar Rp170 miliar. Ke-10 pasar tersebut tersebar di lima wilayah, salah satunya di Jakarta Pusat yaitu Pasar Petojo Ende, Sumur Batu.
Sementara, Sekjen Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran mengatakan, sejak beberapa tahun terakhir sejumlah pemerintah daerah di Indonesia merevitalisasi pasar tradisional yang dimilikinya. Pasar tradisional tersebut ditata sedemikian rupa sehingga bangunannya terkesan modern dan tidak jorok.
Langkah strategis tersebut diharapkan bisa kembali meningkatkan minat masyarakat belanja di pasar tradisional. Sayangnya, revitalisasi yang dilakukan pemerintah daerah belum mencakup pengelolaannya. Kendati secara fisik pasar tradisional telah terlihat modern, pengelolaannya cenderung tidak berubah. Akibatnya, pedagang pasar yang berharap perubahan fisik berdampak pada penjualan justru gigit jari. “Pengelolaannya tidak maksimal,” katanya.
Padahal seharusnya, lanjut dia, revitalisasi mencakup pengelolaannya. Sehingga, tujuan akhir dari revitalisasi pasar yakni kembali meramaikan aktivitas jual-beli di pasar tradisional terealisasi. Menurut Ngadiran, pengelolaan pasar tradisional yang tidak baik akan berdampak pada penghasilan pedagang.
Untuk itu, pengelola pasar tidak boleh pasif dalam aktivitas marketing -nya agar masyarakat tetap datang dan berbelanja di pasar tradisional. Apalagi, pengelola pasar mengenakan biaya sewa kepada pedagang. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta berpendapat, sepinya pasar tradisional tidak ada kaitannya dengan kehadiran minimarket.
Sebab, minimarket itu memiliki pasar tersendiri dan hanya melayani konsumen yang ada. Cara mereka melayani karena memanfaatkan peluang atas perkembangan lifestyle (gaya hidup) . “Di luar negeri pasar tradisionalnya tetap tumbuh dan ramai, karena pemerintahnya merawat pasar itu dengan baik. Pemerintahnya tidak asal membangun, tapi lebih memerhatikan kebutuhan pasar,” terangnya.
Menurutnya, pasar tradisional tidak semuanya pantas direvitalisasi. Sebab, upaya pengubahan kondisi bangunan membuat ciri khas dari pasar itu hilang. Akibatnya, mengurangi animo dan ikon dari pasar itu sendiri. “Jadi, jangan asal membangun saja,” tandasnya.
Anggota Komisi VI DPR Hendrawan Supratikno mengatakan, minimarket sering disalahkan karena “matinya” pasar tradisional, padahal keduanya memiliki konsumen yang berbeda, meski mereka bersaing dalam usaha. “Tetapi, sering keduanya saling memerlukan karena memiliki pasar wilayah yang berbeda,” jelas Hendrawan.
Menurut Hendrawan, pengelolaan pasar tradisional harus dilakukan secara modern, agar bisa bersaing dengan pasar modern. “Kesan kumuh, panas, tidak nyaman yang telah melekat di pasar tradisional harus diubah,” pungkasnya.
Ilham Safutra/ Robi ardianto/Hermansah
Kendati toko modern seperti minimarket terus berkembang, bukan berarti menjadi ancaman bagi pedagang di pasar tradisional. Sebab, pasar tradisional, walau berada di tengah kota besar, telah memiliki segmen tersendiri. Hanya, ke depannya pasar tradisional ini mesti menyesuaikan diri supaya tidak dianggap sebagai lokasi belanja yang kotor.
Di Jakarta misalnya, di tengah gempuran pertokoan modern atau minimarket, pasar tradisional tetap eksis. Sebagian telah berkembang menjadi pasar tematik. Di pasar seperti itu produk tertentu memang dijual. Kelompok perdagangan di luar tema itu tidak ada di tempat lain. Sebagai contoh, Pasar Rawa Bening di Jatinegara, Jakarta Timur, kini telah berkembang menjadi pasar batu akik di Jakarta, se-Indonesia.
Kendati ada beberapa pasar lain mencoba memasarkan produk serupa, namun image masyarakat menentukan bahwa pasar batu akik berlokasi di Rawa Bening. Anggapan serupa juga berlaku bagi Pasar Glodok dan Mangga Dua sebagai pusat elektronik, serta Pasar Tanah Abang sebagai pusat grosiran. Direktur Teknik PD Pasar Jaya Lutfi Rachman mengungkapkan, sebagian beberapa pasar yang besar telah berkembang dengan baik.
Bahkan, keberadaan pasar itu menjadi ikon di Jakarta. Kendati demikian, masih ada juga pasar tradisional yang kondisinya masih miris karena belum direvitalisasi. Upaya revitalisasi selama ini telah dilakoni oleh PD Pasar Jaya selaku pengelola pasar milik Pemprov DKI Jakarta. Pasar yang dikelola itu umumnya pasar tradisional.
“Tahun lalu kami telah merevitalisasi pasar rakyat. Tahun ini juga sedang dirancang untuk kegiatan serupa. Tapi, masih menunggu persetujuan anggaran dari Pemprov DKI selaku pemilik PD Pasar Jaya,” ujar Lutfi. PD Pasar Jaya saat ini mengelola 153 pasar. Dari jumlah tersebut, 61 unit kondisinya baik, 73 unit tidak baik, dan 19 rusak ringan. Terhadap pasar yang rusak atau tidak baik, tetap diusahakan akan direvitalisasi.
Pada 2014 sebanyak lima pasar yaitu Pasar Manggis dan Pasar Pesanggrahan (Jakarta Selatan), Nangka Bungur (Jakarta Pusat), Kampung Duri (Jakarta Barat) dan Kebon Bawang (Jakarta Utara) bakal direvitalisasi. Revitalisasi ini dibiayai oleh anggaran CSR pihak swasta yang mendapat hak build operation and transfer (BOT) atas revitalisasi Pasar modern Benhil.
Lantas pada 2015 PD Pasar Jaya juga akan melakukan revitalisasi 10 pasar tradisional yang didanai dari anggaran penyertaan modal pemerintah (PMP) Pemprov DKI Jakarta yang dicairkan pada APBD 2014 sebesar Rp170 miliar. Ke-10 pasar tersebut tersebar di lima wilayah, salah satunya di Jakarta Pusat yaitu Pasar Petojo Ende, Sumur Batu.
Sementara, Sekjen Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran mengatakan, sejak beberapa tahun terakhir sejumlah pemerintah daerah di Indonesia merevitalisasi pasar tradisional yang dimilikinya. Pasar tradisional tersebut ditata sedemikian rupa sehingga bangunannya terkesan modern dan tidak jorok.
Langkah strategis tersebut diharapkan bisa kembali meningkatkan minat masyarakat belanja di pasar tradisional. Sayangnya, revitalisasi yang dilakukan pemerintah daerah belum mencakup pengelolaannya. Kendati secara fisik pasar tradisional telah terlihat modern, pengelolaannya cenderung tidak berubah. Akibatnya, pedagang pasar yang berharap perubahan fisik berdampak pada penjualan justru gigit jari. “Pengelolaannya tidak maksimal,” katanya.
Padahal seharusnya, lanjut dia, revitalisasi mencakup pengelolaannya. Sehingga, tujuan akhir dari revitalisasi pasar yakni kembali meramaikan aktivitas jual-beli di pasar tradisional terealisasi. Menurut Ngadiran, pengelolaan pasar tradisional yang tidak baik akan berdampak pada penghasilan pedagang.
Untuk itu, pengelola pasar tidak boleh pasif dalam aktivitas marketing -nya agar masyarakat tetap datang dan berbelanja di pasar tradisional. Apalagi, pengelola pasar mengenakan biaya sewa kepada pedagang. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta berpendapat, sepinya pasar tradisional tidak ada kaitannya dengan kehadiran minimarket.
Sebab, minimarket itu memiliki pasar tersendiri dan hanya melayani konsumen yang ada. Cara mereka melayani karena memanfaatkan peluang atas perkembangan lifestyle (gaya hidup) . “Di luar negeri pasar tradisionalnya tetap tumbuh dan ramai, karena pemerintahnya merawat pasar itu dengan baik. Pemerintahnya tidak asal membangun, tapi lebih memerhatikan kebutuhan pasar,” terangnya.
Menurutnya, pasar tradisional tidak semuanya pantas direvitalisasi. Sebab, upaya pengubahan kondisi bangunan membuat ciri khas dari pasar itu hilang. Akibatnya, mengurangi animo dan ikon dari pasar itu sendiri. “Jadi, jangan asal membangun saja,” tandasnya.
Anggota Komisi VI DPR Hendrawan Supratikno mengatakan, minimarket sering disalahkan karena “matinya” pasar tradisional, padahal keduanya memiliki konsumen yang berbeda, meski mereka bersaing dalam usaha. “Tetapi, sering keduanya saling memerlukan karena memiliki pasar wilayah yang berbeda,” jelas Hendrawan.
Menurut Hendrawan, pengelolaan pasar tradisional harus dilakukan secara modern, agar bisa bersaing dengan pasar modern. “Kesan kumuh, panas, tidak nyaman yang telah melekat di pasar tradisional harus diubah,” pungkasnya.
Ilham Safutra/ Robi ardianto/Hermansah
(ftr)